logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 10 Tak Bisa Kabur

“Kau pikir bisa kabur dariku, perempuan licik?” ucap Max dengan nada kemenangan. Kepala Gabriella spontan menggeleng menolak panggilan itu.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang pesan itu. Percayalah!”
“Ssst! Tidak usah panik. Tenang saja! Kontrak yang telah ditandatangani tetap berlaku. Hanya saja, kau tidak akan bisa jauh dariku selama belum mengungkapkan siapa bosmu.”
Sang gadis menghela napas lelah.
“Aku serius, Tuan. Aku tidak tahu siapa orang ini. Dia sedang menjebakku.”
Max mengangguk-angguk sambil mengerutkan sebelah sudut bibir.
“Baiklah. Tidak apa-apa kalau kau masih belum mau mengaku. Masih ada beberapa hari sebelum kompetisi. Kau pasti akan memberikan nama orang itu kepadaku sebelum itu.”
Gabriella terus menggeleng walau tak mengucap kata. Lidahnya terlalu kaku untuk digerakkan.
“Silakan nikmati makan malammu. Aku mau tidur.”
Max menggeser meja agak ke kiri lalu berbaring di sisi kanan ranjang. Tanpa memedulikan raut protes Gabriella, ia memejamkan mata dan tidur.
“Ck, apa yang salah dengan otak pria ini? Bagaimana mungkin dia menuduhku seperti itu? Ah, sekarang apa yang harus kulakukan?”
Bola mata Gabriella bergerak-gerak mencari jawaban. Hingga pada suatu titik, tatapannya tertuju pada jarum infus yang tadi hampir mengoyak kulitnya.
Tanpa pikir panjang, sang gadis mencabut selang itu dari tangannya, lalu kembali mendarat di atas lantai.
“Akh ...” erangnya tertahan. Setelah meringis sejenak, ia mulai merangkak menuju pintu.
“Aku harus keluar dari rumah ini dan mencari bantuan. Pria ini benar-benar sudah gila.”
Belum sempat tangannya menyentuh tuas pintu, tubuhnya terangkat ke dalam gendongan sang CEO. Mata Gabriella spontan terbelalak ketika bertatapan begitu dekat dengan Max.
“Kau mau ke mana, Nona? Sudah kubilang bahwa kau tidak akan bisa keluar dari sini?”
Sang CEO berjalan membawa Gabriella ke ranjang.
Begitu melihat meja makan dan baki telah disingkirkan, tangan sang gadis spontan mengepal. Kasur yang bersih itu tampak sangat luas dan mengerikan.
“Apa yang mau kau lakukan?” tanya Gabriella dengan suara bergetar.
“Ini salahmu. Sudah kusuruh kau untuk makan, tapi malah mencoba kabur. Jadi sekarang, kau harus temani aku tidur.”
Jantung sang gadis langsung berdegup cepat.
“Kau bilang tidak sudi meniduri gadis sepertiku?” sanggah Gabriella dengan suara tercekik.
“Ya, memang.”
Max menurunkan sang gadis ke atas ranjang, lalu dengan sigap berbaring memeluknya seperti guling.
“Tapi aku terpaksa menahanmu seperti ini. Aku tidak punya tali untuk mengikatmu.”
“Lepaskan! Kau tidak berhak menahanku!”
Gabriella meronta mendorong tangan kekar yang melingkar di depan perutnya.
“Diamlah! Aku mau tidur.” Max hanya bergeming sembari memejamkan mata.
“Engh ...” desah Gabriella mengerahkan tenaga. Sia-sia, ia masih terlalu lemah. Alhasil, setelah dua menit penuh perjuangan, gadis itu kelelahan dan berbaring diam sambil mengatur napas.
“Kumohon, Tuan, lepaskan aku. Aku haus dan ingin mengambil minum. Aku janji tidak akan kabur,” ucapnya selang beberapa saat.
“Kalau begitu, tahan hausmu hingga besok pagi.”
“Jahat sekali,” gumam Gabriella seraya memejamkan mata. Kerongkongannya terasa gersang.
“Begitulah rasanya saat kau memberiku kopi pedas dulu,” timpal Max tanpa pikir panjang. Ia hanya mengatakan apa yang terlintas dalam benaknya.
“Baiklah, aku minta maaf,” tutur Gabriella mengharapkan kelonggaran.
“Permintaan maaf diterima,” sahut Max sebelum kembali diam.
“Itu saja? Kau tidak mau memberiku air?”
Setelah berdecak, sang CEO akhirnya mengambilkan segelas susu. Gabriella langsung menenggak habis minuman itu.
“Sekarang aku mau ke toilet,” ujarnya setelah menurunkan gelas dari bibir.
“Pergi saja sendiri. Aku mau tidur.” Max kembali berbaring dan memejamkan mata.
Menyaksikan respon semacam itu, Gabriella diam-diam tersenyum. Untuk yang ketiga kali, ia menjatuhkan diri dari kasur lalu merangkak menuju meja tempat sang CEO meletakkan baki.
“Ck, berapa kali pria itu meniduriku? Kenapa rasanya sakit sekali setiap menggerakkan kaki?” keluh sang gadis seraya menggigit bibir bawahnya.
Begitu tiba di kaki meja, Gabriella menoleh ke belakang. Sang pria sama sekali tidak bergerak. Tanpa membuang waktu, ia mengulurkan tangan ke atas, mencoba meraih sesuatu.
“Di mana ponselku? Bukankah tadi ada di dekat sini?” batin Gabriella seraya terus meraba-raba. Ia sempat melihat ponsel itu ketika sang CEO membawanya kembali ke kasur.
“Apakah kau mencari ini?” tanya Max sukses mengejutkan sang gadis. Laki-laki itu telah duduk di atas ranjang sambil menggoyang-goyangkan ponsel putih.
Setelah tersenyum miring, ia memasukkannya ke dalam saku celana dan kembali berbaring. “Ambil sendiri kalau kau bisa.”
Gabriella pun mendesah pasrah. Pria itu benar-benar sulit dikalahkan.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, gadis itu merangkak naik ke atas ranjang. Begitu ia berhasil, tidak ada apa pun yang dilakukan. Ia hanya memandang Max dengan tampang datar.
“Laki-laki ini ... kenapa dia begitu menyebalkan?” batin Gabriella sebelum tertunduk dan larut dalam pikiran.
“Apakah aku tidak bisa kembali ke kehidupan lamaku? Tapi, meskipun rumahku sudah hancur, masih ada impian Mama yang harus kuwujudkan. Aku harus bisa keluar dari sini.”
Setelah berdiam diri beberapa saat, Gabriella akhirnya kembali menegakkan kepala. Tangannya terangkat dan dilambaikan tepat di atas wajah Max. Pelupuk laki-laki itu bergeming.
“Aku harus bisa,” batinnya seraya memeriksa getaran pada jemari.
Sedetik kemudian, tangannya terulur menuju saku celana sang pria. Dengan hati-hati, ia menyelipkan jari ke dalamnya.
“Apa kau sedang merayuku?” tanya Max tiba-tiba. “Kau ingin membangunkan naluriku?”
Gabriella terkesiap dan spontan mempercepat gerakan. Ia berhasil menjepit ponsel. Namun, begitu hendak menarik, sikunya sudah lebih dulu disentak hingga tubuhnya jatuh ke dalam dekapan sang pria.
“Hei, lepaskan aku!” pekiknya dengan suara bergetar. “Aku hanya ingin mengambil ponselku. Tidak ada maksud untuk menggodamu.”
“Kalau kau terus bergerak-gerak, kuanggap kau merayuku.”
Seketika, Gabriella terdiam. Dengan kerut alis melukiskan gelisah, ia menahan kepanikan.
“Sudahlah, tak ada gunanya kau mengambil ponselmu. Password-nya sudah kuubah.”
Gabriella meringis dalam diam. Meski badannya menempel pada perut Max, wajahnya masih menjaga jarak dari dada sang pria.
“Tidurlah! Jangan sampai aku mengulangi kesalahan kemarin.”
Max menekan belakang kepala Gabriella. Ia kini dapat merasakan kehangatan pipi sang gadis di balik kaos tipisnya.
Mendapat ancaman seperti itu, Gabriella tidak berani berkutik. Gadis itu berusaha untuk tetap diam sampai ia lelah dan memejamkan mata.
“Hm? Dia benar-benar tertidur?”
Max membuka mata dan mengintip. Selama beberapa saat, ia mengamati sang gadis hingga mulutnya tiba-tiba mendengus samar.
“Kenapa aku jadi lembut kepadanya? Tidak, tidak. Aku tidak boleh terpengaruh olehnya.”
***
Keesokan harinya, sang CEO membawa surat jual beli yang telah ditandatangani oleh Gabriella kepada Herbert. Namun malang, respon positif yang diharapkan gagal didapat.
“Surat ini tidak mampu mengubah pandangan dewan direksi terhadapmu, Max. Justru, mereka akan semakin yakin kalau kau bersekongkol dengan perempuan itu.”
Alis sang CEO berkerut mengumbar protes. “Kenapa begitu? Bukankah dengan begini, masalah terselesaikan?”
“Kenapa baru sekarang gadis itu menandatangani surat ini? Hm? Apa mungkin karena perintah darimu? Tidak mungkin gadis yang dikabarkan bersikeras mempertahankan rumahnya mendadak berubah pikiran di saat kau terdesak.”
Max menghela napas tak percaya.
“Jadi, surat ini tidak ada artinya bagi perusahaan?”
“Tentu saja ada. Serahkan kepada Sebastian. Biar dia yang memprosesnya, sedangkan kau ... masih memiliki waktu enam hari untuk mencari bukti konkret.” Herbert mendorong map ke hadapan Max.
Tangan sang CEO terkepal erat. Setelah direnggangkan, dengan hati yang panas, ia mengambil map dan membawanya keluar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa jerih payahnya masih dianggap kurang.
“Kalau begini, tidak ada jalan lain. Gadis itu harus segera mengaku,” batin Max sembari mengeluarkan ponsel.
Setelah menekan tombol darurat, kontak sang sekretaris otomatis terhubungi.
“Halo, Bas? Apakah kau masih menyimpan kontak interogator profesional itu?” tanya sang CEO sembari berjalan menuju mobil.
“Sharp Knife, maksudmu?”
“Ya, aku lupa siapa namanya.”
“Untuk apa, Max? Apa kau mau menyewa jasanya untuk menginterogasi Gabriella?” Nada suara Sebastian terdengar khawatir.
“Ya, tentu saja. Memangnya kenapa?”
“Apa kau yakin? Dia terkenal kejam ketika sedang bertugas.”
Langkah Max terhenti dan bola matanya bergerak-gerak tak menentu. Selang keheningan sejenak, ia menarik napas cepat.
“Ya, itulah yang kubutuhkan. Mungkin gadis itu harus diberi tekanan yang besar baru mau bicara.”

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters