logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Debat

"Lo ... kalian kok balik? Enggak jadi pergi ke makam?" tanya Naya, mama Leon.
"Bagaimana kita mau pi jalan, Ma. Kita su panggil taxi baru. Ehh ... Cewek rese ini, malah ngajak debat, dia bilang taxi itu becak. Di kota besar becak itu ya sepeda motor roda tiga, malah ngotot bilang taxi itu becak."
"Kalian ini, gitu aja kok di perdebatkan sih?"
"Tante, di Medan itu memang becak."
"Pele ... Cukup su, bosan sa dengar itu!" Leon menggerutu, pria tampan itu bergegas masuk ke dalam kamarnya seraya memainkan ponsel lalu membanting pintu sedikit kuat.
"Sudah ... sudah ... besok saja ya, ke makamnya? Kamu sabar sama Leon, dia memang suka gitu."
"Aku rindu, mama sama papa, Tante."
"Iya, tante tahu. Tante juga kangen sama mama papa kamu. Udah istirahat dulu di kamar. Tante mau siapin makan siang dulu, sebentar lagi papanya Leon pulang."
"Iya deh, Tante."
Celine masuk ke dalam kamarnya, gadis itu masih kesal dengan Leon yang tak punya akal untuk mengantarkan Celine ke makam orang tuanya.
"Sebentar-sebentar, masak sih, cuma ada satu becak aja di sini? Ga mungkin, seharusnya tadi Leon itu ngajak aku nunggu becak berikutnya. Kenapa harus langsung pulang? Ihhh ... Ga bisa, gimanapun harus jadi pergi."
Celine melangkah keluar dari kamarnya, gadis itu bergegas menuju kamar Leon. Kamarnya tertutup. Namun, tak di kunci.
"Leon!!" teriak Celine memekakan telinga Leon.
"Isshhh ... Apaan sih? Main nyelonong aja!"
"Tadi kenapa kamu ngajak aku langsung pulang? Seharusnya kita masih bisa menunggu becak berikutnya! Nggak cuman satu saja kan ada becak?"
"Becak lagi, becak lagi. Sono pulang ke Medan cari becak di sono." Leon nampak begitu kesal, ia mendelik ke arah Celine sesaat kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Hiikkksss ... Hikkssss .... Tante, Leon marah sama aku?" Celine terisak, ia menghampiri Naya seraya mencoba menahan tangisnya.
"Astaga, Leonnnnnnn!!" teriak Naya sembari memeluk Celine.
"Apa sih, Ma?"
"Koe pu hati kemana ha?"
"Hati? Ya di sini to," jawab Leon sembari menunjuk dadanya sendiri.
"Koe jadi laki-laki jang cuma bisa pake pikiran saja, koe pake juga koe pu hati itu!"
"Maksud mama apa sih?"
"Koe apakan Celine?"
"Tra ada yo."
"Tra ada, tra ada, baru kenapa dong menangis?"
"Mama tanya deng dia to, sa mana tahu kenapa dong menangis."
"Pele ... Koe pu otak itu koe bawa ke mana kah? Koe yang su bikin dong menangis, koe sadar ka ti?"
"Astaga, Mama ... Sa ada bikin dong menangis kenapa? Sa diam-diam saja yo."
Celine terpaku, ia berkali-kali melirik Naya dan Leon secara bergantian. Gadis itu bingung dengan percakapan keduanya.
"Celine, kamu diapain sama Leon?" tanya Naya kemudian.
"Tadi, tadi Leon bentak aku ...." ucap Celine pelan.
"Baku tipu saja koe, Celine. Kapan sa ada bentak koe, ha?"
"Ta– itu ta– tadi," sungut Celine.
"Sudah, sudah ... koe juga, Leon, mengalahlah pada wanita. Ingat, Celine masih berduka, hargai perasaannya."
"Terus? Sa harus apa, Ma? Gendong dia, cup, cup dia, begitu kah?"
"Masih saja koe, paham ka ti?"
Leon terdiam, ia sadar akan apa yang sudah ia lakukan, diam-diam ia memandang gadis cantik yang masih sedikit terisak dalam duduknya.
"Apa iya, aku sejahat itu? Dia masih berduka, tapi aku sudah memperlakukannya kurang baik. Dia juga salah sih, kenapa coba memperebutkan nama taxi dan becak? Astaga, becak lagi. Aku jadi benci dengan becak," gumam Leon dalam hati.
"Celine, aku minta maaf." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Leon.
Celine menoleh, ia menatap Leon. "Kok ganteng sih dia?" gumamnya dalam hati.
"Hei, Celine, kamu dengar aku? Aku minta maaf." Leon membuyarkan lamunan gadis itu.
"Ehh, iya ... Anu ... Iya, aku maafin."
"Kok gugup? Kamu menghayal?"
"Enggak kok." Wajah Celine memerah, bisa-bisanya gadis itu memikirkan wajah Leon yang memang tampan.
"Sudah, kalian baikan. Jangan bertengkar lagi, oke?" Naya mendekatkan Celine kepada putranya, mereka bersalaman.
***
"Belum jam makan siang, jadi ke makam ya?" Celine berbicara perlahan, ia takut Leon membentaknya lagi.
"Celine, kita pi besok saja yo? Cari taxi susah, tunggu sa pu ban motor baik lagi, baru kita jalan."
"Sapu ban motor? Sapu ban motor bagaimana Leon? Kok ban motor di sapu?" Celine tak paham dengan ucapan Leon.
"Astaga bukan sapu, Celine. Maksudku tunggu besok, aku selesai memperbaiki ban motorku, baru kita jalan. Soalnya cari taksi sulit, jarang ada taksi yang lewat di depan. nggak apa-apa kan kalau besok? Besok aku anterin deh, aku janji kok."
"Oh jadi maksudnya gitu? Kalau ngomong sama aku jangan pakai bahasa Papua dong, aku nggak paham. Pakainya bahasa Indonesia yang baik dan benar saja," ucap Celine seraya manggut-manggut.
Celine keluar dari kamar Leon. Gadis itu memikirkan beberapa bahasa yang digunakan oleh Leon dan juga mamanya tadi.
"Bahasa Papua aneh dan unik, kadang sepotong-potong, kadang dipenggal, ada yang ucapan dirubah, entahlah," gumamnya seraya mengangkat kedua bahunya, kemudian ia menghampiri Naya yang sibuk menghidangkan makanan di meja makan. Gadis itu turut membantunya.
"Sudah, Celine ... Biar Tante saja, sedikit lagi sudah mau selesai kok. Nanti kita makan bersama ya, tunggu papanya Leon pulang dulu."
"Aku jadi nggak enak, Tante. Aku sudah ngerepotin Tante di sini."
"Kamu itu nggak ngerepotin tante, kamu itu kan calon menantu kesayangan tante." Naya kemudian membelai lembut pucuk kepala Celine.
"Calon menantu lagi, tapi Celine sudah punya pacar, Tante."
"Pacar dari mana? Tidak boleh lo, menentang keinginan orang tuamu, mereka sudah nggak ada, jadi kamu harus bisa memenuhi permintaan terakhir mereka."
"Benar itu, kata Mama, Celine. Kamu harus memenuhi keinginan terakhir kedua orang tuamu," ucap Leon yang tiba-tiba muncul menyusul Celine di meja makan.
"Idih, sok deh, paling juga kamu sudah punya pacar."
"Sudah dong, kan pacar aku uda ada di sini."
"Tuh kan, Tante. Leon sudah punya pacar juga." Celine tersenyum penuh kemenangan.
"Celine cantik, pacar aku ya kamu!" celetuk Leon.
"Jangan ngaku-ngaku ya!" hardik Celine.
"Ada apa ini? Kok ribut-ribut?" tanya Rendy yang baru saja masuk. Ayah Leon itu baru saja pulang untuk makan siang di sela-sela ia menjalankan tugas dinasnya.
"Biasa, Pa. Calon suami istri, belajar bertengkar dulu sebelum menjalankan bahtera rumah tangga."
"Mama ...."
"Tante ...."
Celine dan Leon bersamaan melirik ke arah Naya. Keduanya tampak begitu kompak.
"Kalian kompak yah?" sindir Naya seraya mengulum senyumnya.
"Papa lapar, kita makan siang dulu, berdebatnya bersambung dulu ya?" Seraya tersenyum Rendy sudah duduk di sebelah Naya kemudian menyenggol pelan lengan istrinya itu.

Book Comment (130)

  • avatar
    RahmatianiNaila

    sangat baguss👍

    20d

      0
  • avatar
    KmuuuSayang

    asli

    27d

      0
  • avatar
    CeesRa

    sangat seru

    19/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters