logo
logo-text

Download this book within the app

Part 03

“Bu Ana,” tegur Pak Edhy merupakan takmir mesjid di desa kami.
“Iya, Pak,” jawabku menunduk. Aku masih duduk di teras mesjid.
“Pak, kami sudah tidak punya rumah lagi. Ayah dan Mama sudah cerai,” ucap Harry dengan polos.
“Ma-maksudnya?” Pak Edhy mengernyitkan kening, tidak mengerti apa yang dikatakan Harry.
Padahal aku ingin merahasiakan ini, agar tidak menjadi buah pikiran Pak Edhy. “Maaf pak, kalau yang dikatakan Harry itu adalah bohong.”
“Mama, yang bohong Pak,” ucap Harry.
“Apa betul yang dikatakan Harry?” tanya Pak Edhy, menghakimiku.
“Cerai,” ucap Ridwan dari sudut teras mesjid sambil memasang sepatu.
“I-iya, Pak," jawabku tidak bisa berbohong menutupi masalah ini, karena Harry sudah mengatakan semuanya dengan lantang.
“Apa rencanamu untuk langkah selanjutnya?” tanya Pak Edhy.
“Aku juga bingung, Pak. Karena rumah yang selama ini kami tempati, sudah menjadi hak milik May.”
“Mey, siapa dia?” tanya Pak Edhy dengan penuh penasaran.
“Pacar selingkuhan Ayah, Pak,” jawab Harry.
“Astaghfirullohhaladzim, Harry,” ucapku menaikkan alis mataku sebelah memberi kode agar Harry tidak cerita lagi.
“Hm, untuk malam ini tidur di rumahku dulu, saja” ucap Pak Edhy sembari menawarkan.
“Apa maksudmu mau mengajak Bu Ana menginap di ....?”
“Astaghfirullohhaladzim, Harry,” ucapku menaikkan alis mataku sebelah memberi kode agar Harry tidak cerita lagi.
“Hm, untuk malam ini tidur di rumahku dulu, saja” ucap Pak Edhy sembari menawarkan.
“Apa maksudmu mau mengajak Bu Ana menginap di rumah kita?” tanya ibu Rani, istri Pak Edhy. Pak Edhy terkejut mendengar ucapan istrinya.
“Bunda, kita itu sebagai hamba Allah harus saling tolong menolong ketika ada yang membutuhkan uluran tangan kita,” jawab Pak Edhy mencoba menjelaskan.
“Terima kasih banyak Pak, alangkah baiknya aku dan Harry tinggal di pondok kecil yang berada di tepi Desa ini. Masih ada harta satu-satunya peninggalan alm. Ibuku dulu, Pak. Aku baru ingat pondok itu sekarang.”
“Aku harap Bu Ana dan Harry jangan menolak tawaran ini,” kata Pak Edhy.
“Abi, saya tidak mau menanggung malu dan membuat perkara bahan gosipan ibu-ibu tetangga kita. Abi tahu sendiri mulut tetangga kita kalau sudah mengghibah,” ucap Bu Rani.
“Astaghfirullohhaladzim, Bunda! Abi tidak pernah mengajari Bunda seperti ini,” jawabnya sembari mengelus dada bidangnya.
Aku menunduk dan memeluk Harry.
“Awas, kalau Abi berani membawa janda ini ke rumah kita, tunggu saja apa yang Bunda lakukan,” ancam Bu Rani. Beliau pergi meninggalkan kami.
“Bu Ana dan Harry, maafkan istriku, ya," Pak Edhy memelas dan menangkupkan kedua tangannya di dada.
“Aku dan Harry yang seharusnya minta maaf,Pak. Karena sudah membuat Pak Edhy bertengkar dengan ibu, istrinya beliau.”
“Bagaimana kalau Bu Ana dan Harry tinggal di kontrakan saya, di desa sebelah?” ucap Ridwan. Aku, Harry dan Pak Edhy terdiam mendengar ucapannya.
“Mohon maaf, bukan niat hati mau menolak tawaran Om. Terima kasih banyak sebelumnya,” ucapku menolak dengan lembut.
“Kebetulan rumah saya kosong, nngak ada yang nempatin,” jelasnya kembali dengan penuh harap, agar kebaikan yang ia tawarkan kuterima. Disela-sela perbincangan yang serius, ponsel miliknya bergetar di kantong celana.
“Pak, Bu Ana, dan Harry, saya buru-buru. Ada hal penting yang akan diselesaikan sekarang juga." Ridwan berlalu laksana tidak memiliki sopan santun pergi begitu saja. Setelah membaca isi pesan sms dari bawahannya. Sementara kami hanya diam membisu melihat ulahnya yang aneh.
“Oh iya, ini kartu namaku. Siapa tahu suatu saat Bu Ana butuh bantuan, tinggal telepon saja,” Ridwan memutar badannya kembali menghampiri kami dan menyodorkan kartu nama.
“Te-terima kasih, Om.” Aku menerima kartu nama itu dengan tangan gemetar. Sementara Pak Edhy bingung terlihat jelas dari raut wajahnya.
“Astagfirulloh, aku hampir lupa pamit, Assalamualaikum," ucap Ridwan dan nongol kembali, kemudian langsung pergi melaju menunggangi mobil mewahnya meninggalkan kami. 
Pak Edhy mengeleng-geleng kepala melihat ulah Ridwan sambil menjawab, “Waalaikumsalam.”
“Kenapa tidak menerima tawaran Om Ridwan, Ma?” tanya Harry menatap wajahku.
“Anak Mama sayang. Selagi kita masih bisa berusaha, jangan biasakan bergantung pada orang lain.” Kupandangi wajah buah hatiku dengan penuh kasih sayang sembari mensejajarkan wajahnya.
“Bu Ana, jangan sungkan datang ke rumah, kalau masih belum jelas tinggal dimana,” ujar Pak Edhy.
Mendengar suara beliau, aku langsung berdiri mengangguk. “Iya.” Kemudian aku menunduk kembali.
“Ayo, ke rumah. Takut keburu hujan," ajaknya sembari melangkah gontai. Suasana awan biru berubah seketika menjadi gelap. Langit ingin menangis seperti aku yang sedang dirundu nestapa.
“Iya, Pak,” ucapku dengan sedikit rasa takut gemetar.
Bagaimana aku bisa menerima tawaran Pak Edhy, sementara istri beliau sudah mengancam. Aku tidak mau laksana gunting dalam kehidupan Pak Edhy. Biarlah kutelan pahitnya luka lara yang ditorehkan oleh suamiku. 
*****
Aku dan Harry berjalan terus tanpa henti. Kenderaan lalu lalang membuat kami lebih waspada, karena takut  terjadi kejadian yang sama. Kutuntun Harry melangkah menuju gubuk kecil yang ada di sawah sebagai tujuan utamaku, tepat di sudut desa ini. Tiba saatnya melewati balai biasa tempat mamak-mamak nonggok suka hura-hura biasa disebut Manohara. Aku terhenti sejenak, sambil berpikir. Ingin menghindar lewat dari tempat itu. Akan tetapi, tidak ada lagi jalan pintas selain melewati balai tersebut.
“Selamat datang janda kembang,” ucap Bu Ati.
Mendengar perkataan Bu Ati, rasanya ingin mencabik-cabik mulutnya. Aku hanya bisa menahan emosi agar tidak terpancing dengan ucapannya.
“Janda kembang?” tanya Bu Ros dengan nada meninggi.
“Masa Bu Ros ketinggalan informasi, secara ibu 'kan host infotainment di group Manohara,” jawab Bu Ati.  
“Wak, dalam islam tidak boleh meng-ghibah,” ucap Harry spontan membela ibunya.
“Anak kecil masih seuumur jagung sudah sok-sok an ceramah. Tahu apa kamu soal agama islam,” hardik Bu Ros, tak mau kalah dengan bocah ingusan, sehingga ia terpancing emosi dan spontan menjewer kupingnya Harry.
“Sakit, Wak,” ucap Harry dengan lirih.

Book Comment (89)

  • avatar
    adnanewan

    best cerita ni..cerita lebih menarik

    23/08/2022

      1
  • avatar
    Alfryan Rifai

    sungguh mengharukan dan memberi motivasi untuk memuliakan kedua orang tua bahwa orang yang melawan orang tua akan durhaka karna orang tua lah yang melahirkan kita dan membesarkan kita bahkan sampai kita dewasa pun mereka selalu mendukung dan mendampingi kita sehingga kita bahagia sungguh luarbiasa pengorbanan orang tua tapi kita kadang sebagai anak tidak pernah untuk mengikuti perkataan orang tua karna orang tua itu menginginkan kebaikan untuk kita namun apa dayanya bila kita ingin dengan carase

    12/08/2022

      0
  • avatar
    Syechli AkbarFarrel

    bagus👍😎😜

    15/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters