logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Ini Bukan Aku

Tante Banci, baru saja selesai mendandani kemudian pergi meninggalkan aku sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin.
"Ini bukan aku," bisikku lirih dalam hati.
Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi ini tidak sesuai dengan umurku, belum pantas rasanya berdandan seperti ini, jujur ... hati ini menolak.
Asmah masuk ke dalam kamar, mendatangiku, melihat dengan pandangan sedih.
"Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya. "Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku, kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini."
"Ini pegangan buatmu, entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."
Asmah memberikanku uang senilai dua ratus ribu rupiah.
"Semoga Tuhan membuatmu, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Di peluknya aku erat, berkaca-kaca netraku, mendengar doa baik dari sahabatku ini.
"Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."
Asmah lalu keluar meninggalkan kamar, cepat-cepat kusembunyikan uang pemberian Asmah kedalam pakaian dalam dan mengusap genangan air mata yang hampir saja luruh.
Teringat masa kecilku di rumah penampungan milik Mami Merry ini. Tante Banci yang mendidik kami, mengajarkan tentang segala hal, termasuk membaca dan menulis, sedang Mami Merry adalah monsternya.
Menghukum dan menghajar dengan caranya. Bahkan mengurung kami kedalam satu kamar kecil bila di anggap terlalu nakal, dan tidak memberikan makan selama dikurung di sana.
"Amira! Ayo berangkat. Pemenang tendermu sudah menunggu." Mami Merry sudah berada di depan pintu kamar, memerintahkan untuk segera bersiap.
Aku melangkah perlahan menuju pintu keluar kamar, Mami Merry menahanku sesaat.
"Ingat, Amira? Kamu sudah dibayar mahal untuk ini. Berikan pelayanan yang terbaik, jangan permalukan aku di depan klien!" ucapnya tegas.
Aku hanya mengangguk pelan. Monster besar ini selalu terlihat menakutkan, kami semua takut padanya.
"Anak pintar," ujarnya. "Handphone terbaru dan uang sepuluh juta akan segera jadi milikmu, jika Kamu tidak mengecewakan klienku." Di cengkamnya keras kedua bahuku.
Tante banci dan kedua bodyguard Mami Merry sudah menunggu di dalam mobil, mobil yang akan membawaku ketempat takdir yang baru, takdir yang harus kujalani nanti. Sampai di posisi ini, hanya pasrah yang bisa kulakukan.
"Tuhan ... aku tidak pernah mengenal Mu, tetapi jika benar Kau memang ada, maka tolonglah aku," Bisikku, lirih dalam hati.
Mobil yang membawaku meluncur ketengah pusat kota, gemerlap lampu-lampu jalan dan tingginya gedung-gedung megah, cukup mengagetkan dan membuat terpesona, karena selain di rumah penyekapan, aku tidak pernah pergi kemanapun.
Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya Tante Banci mengingatkan tentang ilmu-ilmu maksiat yang pernah diajarkannya, membuat dua bodyguard yang mengawal kami terkadang tertawa terbahak-bahak.
Aku terus berdoa kepada Tuhan yang tidak pernah kukenal, tetapi entahlah ... hatiku meyakini jika Dia memang ada.
Sampailah kami di tempat parkir sebuah restoran cepat saji, mobil yang membawaku di parkirkan di situ dan tante banci mencoba menghubungi seseorang dengan gawai yang dibawanya.
[Om, eike sudah di tempat yang om bilang nih ]
Entahlah, apa isi percakapan mereka, hanya suara Tante Yusnia saja yang terdengar.
Satu bodyguard turun dari mobil, sedangkan yang satunya lagi tetap di belakang kemudi.
Tidak lama sebuah mobil sedan mewah datang dan terparkir di samping mobil kami, tante banci segera turun dan menghampirinya, kemudian membuka pintu samping tempat dudukku. "Turun Amira, pemenang atas tubuhmu sudah siap membawamu." Jantungku berdebar kencang, turun perlahan dan mendekati pintu sedan mewah tersebut.
"Buktikan jika Kau memang ada,Tuhan."
Seorang pria peranakan paruh baya menyambutku, tubuhnya besar seperti Mami Merry, dengan wajah dan kulit tubuh seperti pria keturunan pada umumnya, dan aku pun duduk di sebelahnya. Jantungku masih berdebar kencang, pria paruh baya itu menatapku dengan pandangan mata yang terpesona. "Mantap ini," ujarnya. Sedikit terdengar percakapannya dengan tante banci, jika dia sudah mentransfer sejumlah uang ke Mami Merry, tetapi masih tetap memberikan beberapa lembar uang kepada Tante Yusnia dan dua orang bodyguard.
"Ini buat lo Olang makan-makan."
Bos besar itu lalu menepuk bahu sopir pribadinya, dan mobil pun bergerak perlahan menjauh, tetapi masih terlihat olehku, tante sedang membagikan uang pemberian si bos kepada kedua bodyguard tersebut.
Aku terdiam terpaku, rasa takut menghinggapi seluruh tubuh. Gemetar rasanya, jijik dengan pria bertubuh besar ini, tetapi aku bisa apa? Dalam hati aku terus berdoa pada Tuhan yang tidak pernah kukenal, berharap Dia mampu menolongku keluar dari jalan nista ini.
"Lo Olang cantik," kata bos besar itu, sembari menyentuh daguku dan dihadapkan ke arah wajahnya.
"Semoga lo juga bawa hoky besar buat owe."
Sedan mewah itu melaju menuju pusat kota, udara dingin dalam mobil membuatku mengiggil, rasa takut semakin menyergap, membayangkan jika nanti harus melayani nafsu birahi pria besar di sampingku ini.
Mobil tiba dan memasuki sebuah bangunan megah dengan taman-taman indah, sebuah tulisan nama besar sebuah hotel terpajang di atas gedung megah tersebut, dan berhenti tidak jauh dari tulisan "Lobby".
"Ayuk turun," ajak pria besar itu kepadaku, dan aku mulai mengikuti apa maunya.
Berdiri terdiam di samping mobil. Menatap nanar gedung megah di depanku. Meremang mata ini. Kuremas keras pakaian yang kukenakan dan perlahan memasuki gedung tersebut.
"Mungkin memang Tuhan, menginginkan aku menjadi seperti Asmah dan yang lain." Bathinku berkata lirih. Tuan besar itupun menggenggam tanganku, melangkah bersama menuju ke dalam lobby. Langkah takdir sudah membuatku sampai di tempat ini, dan aku sudah berhenti berdoa.
Ruangan yang di sebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama, lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang, dengan bangku-bangku besar super mewah yang empuk, aku dengan bos gendut menunggu di situ.
Tidak lama seorang pria datang menemui kami, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti.
"Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.
Aku hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkan aku di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.
""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat hatiku.
Menoleh kearah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang, berdiri perlahan, sudah bulat tekad untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry.
"Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakangku, dan cukup membuatku terkejut.
Sedan mewah yang membawaku, menuju ke arah luar kota, dan sepertinya pria yang tadi bertemu bos gendut juga mengikuti dengan membawa kendaraan sendiri.
Melewati seperti jalan pegunungan, tetapi ramai kendaraan. Dengan banyak orang-orang berkumpul di sepanjang pinggir jalan. "ke puncak" itu yang tadi bos gendut bilang kepada sopir pribadinya.
Sepanjang perjalanan, si bos terus saja menelpon dengan bahasa yang tidak aku mengerti, sepertinya sedang berbicara dengan pria yang di lobby hotel tadi, sesaat dia berhenti menelpon dan menoleh kearahku.
"Lu udah makan?" tanya si bos. Aku menggeleng, dan memang belum masuk makanan apapun sejak dari siang tadi.
"Lu mau makan apa?" tanya si bos lagi.
"Apa saja tuan," jawabku pelan.
"Jagung bakal saja yah, bial bisa makan di jalan," tawarnya, dengan logat yang sedikit cadel. Aku hanya mengangguk.
Mobil pun menepi sesaat, dan sopir bergegas turun, setelah si bos memberikan uang kepadanya tadi. Tidak beberapa lama sopir bos kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan jagung yang baru dibelinya kepada tuan gendut. Dia pun memberikan satu jagung kepadaku, dan mobil kembali bergerak ke arah atas puncak.
"Nama lu siapa?" tanya si bos, aku belum menjawab, sembari menghabiskan sisa kunyahan jagung di mulutku.
"Amira tuan...." Bos Gendut semakin mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Lu olang cantik ... sayang...." Segera dia kembali duduk seperti semula, aku yang sempat merasakan takut, sedikit kembali merasakan tenang.
Kendaraan yang membawaku, mulai memasuki halaman sebuah rumah besar dengan banyak pepohonan taman, juga terdapat kolam renang pas di ujung tembok halaman memanjang hingga hampir mendekati pintu masuk rumah.
Akupun segera turun, dan mendadak hawa dingin menyergap tubuh kecilku yang berbalutkan pakaian minim seadanya, menggigil langsung badan ini. Menatap dalam rumah ini sesaat.
"Apakah rumah ini akan menjadi saksi hilangnya sebuah kehormatan." dalam diam, lirih berbisik ke hatiku sendiri.
Tidak beberapa lama, mobil yang dikendarai pria yang tadi berbincang di lobby pun tiba, dan pria itu segera turun mendekati.
"Jadi ini hadiah yang akan kamu berikan?" tanya pria itu kepada bos besar.
"Iya, bagaimana menurutmu." Bos besar memegang tanganku, dan mengajak masuk kedalam rumah itu.
"Cantik, masih perawan?" tanyanya lagi.
"Di jamin." Bos besar tertawa terbahak-bahak.
"Buat owe saja jika begitu," ucap pria itu, sembari matanya menatapku dengan penuh nafsu.
"Jika bukan buat mendapatkan kakap besar, mending buat owe sendiri," jawab bos besar, dan tangannya mulai menyentuh tubuhku.
"Semoga keperawanan anak ini mendatangkan cuan yang besar buat kita." Sekarang pria itu yang tertawa lepas. Tangannya pun ikut menjamah tubuhku, dan aku hanya bisa terdiam, merintih pedih dalam hati.
"Aku berada di antara Singa dan Serigala." hatiku mengeluh, dan takdir masih bermain-main dengan jalan hidupku.

Book Comment (284)

  • avatar
    L U X YOpet

    mantap undang gua dong

    6d

      0
  • avatar
    timRadenk 97

    bagus sekali

    10d

      0
  • avatar
    YusriHelmi

    menanti kelanjutan ceritanya

    19d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters