logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Bekal Buat Pak Rendi

Kriiinnnnggggggggggg, tiba-tiba ponselku berbunyi saat aku hendak tidur. Aku mengambilnya kemudian kulihat siapa yang menelepon. Betapa kagetnya aku ternyata itu nomer Mas Yogi. Apa sekarang dia sudah tidak memblokir nomerku lagi?
"Mau apa lagi kamu?" kataku setelah mengangkatnya.
"Aku mau kita bercerai. Tadinya kupikir aku merasa kasihan sama Reza. Tapi sekarang sudah tidak lagi," lanjutnya.
"Baik jika itu maumu!" 
"Aku tidak menyangka kamu secepat itu menemukan penggantiku," katanya yang ternyata salah paham.
Karena aku tidak ingin terlihat masih mengharapkannya, aku tidak mengatakan kebenarannya. 
"Baik. Kapan kita sidang?" tanyaku lagi.
"Nanti ku kabari lagi!" katanya kemudian menutup telepon sebelum aku sempat bertanya tengang keadaan Reza.
Jika memang ini yang kamu inginkan, aku akan terima. Aku tidak ingin menjadi wanita payah yang menangisi kepergian suami brengseknya.
"Kita buktikan Mas. Siapa yang akan menang!" kataku malam itu. Aku sudah tidak peduli dengannya. Sekarang lebih baik memang kita berpisah. 
"Akan ku ambil Reza suatu saat nanti," gumamku.
Hari semakin larut. Aku bergegas tidur agar besuk tidak kesiangan dan terlambat ke kantor.
Sebuah pesan masuk ke ponselku. Ternyata Fida. Dia mengatakan bahwa besuk dia akan menjemputku.
( Pinjami aku sepatumu ya, Re. Sepatuku kotor, yang satu lagi basah. )
( Ada nih warna putih tapi. ) Ku ketik balasan pesan untuknya kemudian kutekan tombol kirim.
Fida sudah tidak membalasnya, dia pasti sudah tidur. Aku segera memejamkan mata untuk menyusul Fida. Mungkin dia sudah bermimpi indah sekarang.
"Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?" kata pak Rendi di depanku sambil berlutut dan memegang sebuah kotak kecil yang berisi cincin berlian nan elegan.
Semua orang di kantor berteriak histeris. Mereka menyuruhku untuk menerima lamarannya.
"Terima! Terima! Terima!" Suara semua orang sambil bertepuk tangan.
Aku merasa bahagia saat itu. Tapi kemudian Reza datang, dia memintaku untuk tidak menerima lamaran itu.
"Jangan Ma! Reza mohon! Reza tidak mau punya Papa baru!" katanya membuat seluruh ruangan menjadi hening. 
Pak Rendi bangkit kemudian memegang bahu Reza. Dia membisikkan sesuatu yang membuat Reza akhirnya menerimanya.
"Baiklah. Aku mau! Aku mau dia jadi Papaku."
Semua orang kembali bertepuk tangan, termasuk Fida. Aku merasa bahagia. Reza kini bersamaku dan aku menemukan kebahagiaan untuk diriku sendiri.
Tiba-tiba dalam suasana bahagia itu mas Yogi datang dan menyeret Reza bersamanya.
"Kamu harus ikut Papa. Kamu gak boleh bersama Ibumu yang penghianat itu!!! Ayo Reza!!!" katanya sambil menyeret Reza keluar.
"Reza! Mas Rendi tolong Reza Mas! Tolong Mas!! Reza!!! Reza!!!"
Tiba tiba aku terbangun dan duduk di ranjangku. Astaga semua ini ternyata hanya mimpi. Kenapa aku memimpikan Pak Rendi? Padahal sedikitpun aku tidak memikirkannya tadi.
Kulihat jam masih pukul 04.00, masih terlalu pagi jika aku bangun sekarang. Tapi sepertinya aku sudah tidak bisa melanjutkan tidur kembali.
"Masak aja lah buat bekal," kataku yang akhirnya bangun juga.
Aku masak lumayan banyak sehingga berniat untuk membawakan bekal juga buat pak Rendi.
"Ishhhh, apa-apaan aku ini? Kenapa berniat membawakan makan buat pak Rendi segala," ucapku kemudian meletakkan lagi makanan yang sudah hampir ku masukkan ke dalam tas itu.
"Tapi dari pada mubazir dan gak ada yang makan gak papa kali ya aku bawain juga." Akhirnya kumasukkan juga tempat nasi itu ke dalam tas.
Kubawakan juga bekal buat Fida, tak lupa aku mengirim pesan padanya agar dia tidak usah membawa bekal dari rumah.
( Aku masak banyak. Kamu gak usah bawa bekal ya. )
Tak lama kemudian Fida langsung membalas pesan yang kukirim untuknya.
( oke my best. )
Kumasukkan bekal itu ke dalam tasku yang memang sedikit kecil. Untungnya kemarin  tidak ada dokumen yang ku bawa pulang sehingga walaupun kecil, namun semua kotak nasi itu masuk ke dalam tas.
"Re!" teriak Fida yang baru saja sampai.
"Oke , wait!" kataku kemudian berlari mengambil sepatu putih yang akan dipinjamkan padanya.
"Ini, muat kan ya?" tanyaku setelah masuk ke dalam mobilnya.
"Nomer tiga puluh delapan kan?"
"Heem. Masih hafal aja, ini bekalmu juga udah kubawain khusus untuk nona Fida yang baik hati," ujarku.
"Kan ukuran kita sama, Re. Kamu gimana sih! Wih kayaknya enak nih opor ayam buatanmu."
"Pasti dong. Chef Reina," kataku kemudian tertawa.
_______________
"Semalam Mas Yogi telpon, Da," ceritaku ketika kami berjalan di koridor kantor.
"Ngapain telpon? Minta maaf?"
"Bukan. Dia mau kita bercerai!"
"Bagus dong, Re. Kamu bisa bebas dari laki-laki seperti Mas Yogi. Kamu bebas menentukan jalan hidupmu sekarang," lanjutnya.
"Iya sih. Tapi aku masih kepikiran Reza, Da. Bagaimana perasaannya ya jika tau orang tuanya akan bercerai?"
"Iya juga sih, Re. Tapi menurutku pasti dia akan mengerti seiring berjalannya waktu kok," lanjut Fida.
Aku menggangguk. Entah apa yang nanti akan terjadi. Yang terpenting buatku sekarang aku ingin bebas dari laki-laki brengsek seperti mas Yogi.
"Nanti pulang sendiri lagi gak papa ya, Re. Mas sofyan ngajak makan di luar. Aku langsung menemuinya setelah pulang kerja."
"Iya gak papa, Da. Santai," jawabku.
Fida berjalan ke ruangannya setelah itu.
"Sampai nanti, Re," katanya kemudian masuk ke dalam ruangannya.
"Oke," jawabku yang juga masuk ke ruanganku. Ku bersihkan meja yang sedikit berdebu dan ku sapu lantai yang sedikit kotor itu.
"Kamu ngapain, Re?" tanya pak Rendi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu yang masih terbuka itu.
"Em, ini, Pak. Lantainya kotor jadi saya sapu sedikit."
"Kan udah ada OB. Kamu tu kerjanya ya ngurusin laporan keuangan, bukan malah nyapu kaya gini," katanya lalu tersenyum.
"Mungkin karena terlalu lama bekerja sebagai Ibu rumah tangga kali ya, Pak. Ada yang kotor sedikit tangan ini langsung ambil sapu," kataku sedikit malu.
"Ya udah, beresin tuh! Bersihin sekalian! Pasti nanti OB nya senang karena sebagian pekerjaannya sudah dikerjakan staff," kata pak Rendi kemudian tertawa.
Aku ikut tertawa kecil, walaupun sebenarnya aku tidak tau apa sebenarnya yang lucu. Selesai menyapu Pak Rendi baru masuk ke ruanganku.
"Ini dokumen baru. Tolong kerjakan ya," katanya sambil menyerahkan beberapa Map padaku.
"Banyak banget," kataku dengan nada keras sehingga membuat pak Rendi mengernyitkan keningnya.
"Apa?" katanya dengan tersenyum.
"Eh enggak, Pak. Maaf," kataku yang baru sadar dengan perkataanku barusan.
"Ini kamu kerjakan selama seminggu, Re. Kamu kira disuruh selesai satu hari?"
"Syukurlah," jawabku lega.
"Ya udah kerjakan! Jangan nyapu lagi," ledeknya.
"Baik pak," kataku malu.
Pak Rendi meninggalkanku setelag itu. Aku segera mengerjakan pekerjaan yang baru saja ku dapatkan darinya.
"Buseettt deh ini. Seminggu selesai nggak ya?" tanyaku pada diri sendiri.
"Oke. Konsentrasi Re! Konsentrasi," gumamku. 
Hanya pekerjaanlah yang bisa membuatku melupakan masalah pribadiku. 
Baru mengerjakan beberapa dokumen, aku teringat jika aku membawa bekal untuk pak Rendi. 
"Kenapa aku nggak kasih barusan waktu pak Rendi kesini aja sih," kataku memarahi diriku sendiri.
Aku kemudian berjalan menuju ruangan pak Rendi, aku berniat memberikan bekal yang telah ku bawakan untuknya.
Tok... tok... tok... Ku ketuk pintu ruangannya. 
"Masuk aja, Re," kata pak Rendi yang mengetahui jika aku yang datang.
"Maaf mengganggu, Pak," kataku setelah masuk ke ruangannya.
"Tidak papa, Re. Ada apa? Apa ada yang ingin ditanyakan soal pekerjaanmu tadi?"
"Bukan, Pak," ujarku.
"Lalu?"
Kuberikan tupperware berwarna hijau itu padanya.
"Ini saya bawain bekal makan siang, Pak. Saya tadi masak terlalu banyak. Sayang kalau gak ada yang makan," kataku seraya menyodorkan tupperware pada pak Rendi.
"Kok jadi ngerepotin gini, Re. Tapi makasih ya," katanya seraya mengambil tupperware itu.
"Semoga suka ya, Pak," kataku kemudian keluar dari ruangannya.
Kuperhatikan wajahnya sedikit dari luar karena tirai jendelanya terbuka. Dia tersenyum setelah membuka tupperware itu. 
Aku pun terus tersenyum sepanjang jalan. Fida yang melihatku melewati ruangannya pun langsung keluar dan menghentikan langkahku.
"Kamu kenapa? Senyum-senyum sendiri?" tanya dia yang melihatku tersenyum sendiri.
"Gak papa," jawabku singkat sambil terus berjalan. 
"Dasar Aneh," kata Fida yang masih bisa ku dengar dari kejauhan.
_________________

Book Comment (153)

  • avatar
    NurFaizah

    betui

    2d

      0
  • avatar
    Annisa Rahmadanny

    cantik banget

    8d

      0
  • avatar
    91Yappe

    5.0

    13d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters