logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Bertemu Yogi

"Re, itu bapakmu sudah pulang," kata ibu dari balik pintu kamar.
Aku bergegas menemui bapak yang baru saja pulang dari Shoroom.
"Baru pulang pak?" 
"Iya Re, kamu kapan datang?"
"Tadi sore Pak," jawabku lemah.
"Mana Reza sama Yogi? Mereka gak ikut?"
Aku terdiam, namun Ibu langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Loh, bisa bisanya dia bertingkah seperti itu? Apa dia gak ingat apa yang telah kita lakukan untuknya?"
"Memang! Putri kita disakiti oleh pria seperti itu. Ibu sangat tidak terima pak!"
"Memang apa alasan sebenarnya Re? Kenapa dia ingin menikah lagi?"
Akhirnya aku ceritakan semua tentang keinginannya memiliki istri seorang wanita karir.
"Dasar, lelaki macam apa itu? Hanya memandang istri dari penampilan! Dia itu sebenarnya yang kurang bersyukur bisa mendapatkan Reina." Ibu terlihat kesal.
"Sudah Re, kamu gak usah mikirin dia lagi? Kamu lebih baik fokus pada hidupmu. Gak penting mikirin lelaki yang tak punya hati begitu," kata Bapak.
Bapakku termasuk tipe orang yang tegas dan tidak mudah diremehkan. Dia tidak menyukai orang yang berani mengusik kehidupan keluarganya, termasuk putrinya.
"Aku sudah mulai bekerja sebenarnya, Pak, Bu," jelasku.
Bapak memandangku kemudian bertanya serius. 
"Hanya gara-gara Yogi menginginkan istri seorang wanita karir kamu bela-belain langsung cari kerja, Re?"
"Bukannya begitu, Pak. Aku tidak mengharapkan dia kembali lagi padaku. Aku cuma mau buktiin sama dia jika aku bisa hidup tanpa dia, aku juga bisa sukses tanpa adanya dia, Pak."
"Kamu kerja di mana, Re? Kenapa mendadak langsung dapat pekerjaan. Memangnya kapan Yogi pergi? Apa mungkin dia sudah lama pergi dan kamu baru menceritakan ini sama kami?"
"Tidak Bu. Mas Yogi baru pergi kemarin. Jika saja nomerku tidak diblok, mungkin aku juga masih ragu menceritakan ini sama kalian," sahutku.
"Apa kamu masih mau melindungi suamimu itu? Kelakuan suami brengsek seperti itu masih ingin kamu tutupi?" Ibu kembali berkata dengan nada kesal.
"Iya Bu. Bagaimanapun juga dia tetap suamiku. Orang yang kupilih menjadi pendamping hidupku."
"Tidak lagi sekarang, Re. Kamu juga punya harga diri! Jangan menjadi wanita lemah yang cepat sekali memaafkan kesalahan suami. Apalagi karena kelakuannya yang brengsek seperti itu," Kini bapak kembali angkat bicara.
"Iya Pak. Sekarang aku tidak lagi mengharapkannya. Walaupun suatu saat dia ingin kembali padaku, aku akan menolaknya."
"Benar itu!! Kamu harus punya prinsip!" kata Bapak meyakinkan.
Bapak pergi setelah menyampaikan semua pendapat serta kekesalan terhadap menantunya itu.
"Jadi kamu mau nginep sini kan?"
"Iya Bu. Tapi besok aku harus kerja."
"Kamu kerja di mana sebenarnya, Re? Kerjaan halal kan?"
"Ibu tidak usah khawatir. Walaupun aku merasa terhimpit dan membutuhkannya, namun aku tetap masih punya akal sehat, Bu. Bukankah kalian sudah susah payah menguliahkanku?"
"Iya kamu benar, Re. Memangnya kamu kerja apa sih sebenarnya?"
"Alhamdulillah aku mendapat jabatan sebagai staff akuntansi di sebuah perusahaan Bu."
"Wah hebat itu. Memang itu kan yang kamu inginkan dari dulu? Makanya kamu ngambil jurusan itu saat kuliah."
Aku mengangguk. Kemudian kuceritakan semuanya tentang betapa berjasanya Fida padaku.
"Oh jadi Fida yang mengajakmu?"
"Iya Bu. Ibu masih ingat kan?"
"Iya, dia yang dulu selalu kamu ceritakan kan? Dia baik sekali Re."
"Benar Bu. Dia memang baik," ujarku tanpa menceritakan apa yang telah kulakukan padanya semasa kuliah.
"Ya udah tidur sana, istirahat! Masalah rumah tanggamu jangan terlalu dipikirkan. Ibu yakin Reza juga akan baik-baik saja sama papanya."
"Iya Bu," kataku kemudian berjalan ke dalam kamar. 
_____________
"Ini Ibu siapin bekal. Biar kamu gak usah jajan," kata Ibu ketika kami sedang sarapan.
"Terimakasih Bu."
"Apa kamu senang dengan pekerjaan ini Re?" bapak kemudian bertanya.
"Iya Pak. Aku senang dengan pekerjaan ini. Apalagi manajer di sana sangat baik, membuatku semakin betah."
"Syukurlah kalau begitu. Kamu naik taksi?"
"Iya Pak. Sebenarnya aku kemarin dijemput Fida, hari ini juga dia akan menjemputku. Tapi karena aku disini mungkin dia akan berangkat duluan."
"Ya udah suruh anter Diki saja. Apa masih tidur anak itu, Bu?" tanya Bapak yang memang belum melihat Diki.
"Iya, akhir-akhir ini dia suka telat bangun. Gak tau kenapa? Mungkin tugas kuliahnya lagi banyak kali." Ibu menebak.
"Kamu bangunin aja adikmu itu. Suruh antar kamu dulu sebelum berangkat kuliah, lagian kuliahnya juga masuk siang kok sepertinya," lanjut Bapak.
"Gak usah Pak. Aku naik taksi aja. Lama kalau harus nunggu dia bangun. Belum lagi mandinya, lama banget."
"Ya udah kalau kamu memang mau naik taksi aja."
Usai sarapan aku segera berangkat. Tidak lupa berpamitan dengan bapak dan Ibu.
"Hati hati Re! Nanti pulang kesini lagi kan?"
"Sepertinya aku pulang kerumah aja ya Bu. Kapan-kapan aku kesini lagi."
"Pulang kesini saja. Di rumah gak ada temannya, kamu pasti kesepian dan merasa sedih lagi," kata Ibu melanjutkan.
"Tidak Papa Bu. Aku sudah biasa kok."
"Beneran? Jika kamu merasa kesepian telpon Ibu ya. Biar Ibu suruh Diki kesana temenin kamu."
"Iya Bu, jangan khawatir. Reina Udah dewasa juga," kataku kemudian berjalan meninggalkan mereka.
Setelah hampir Sepuluh menit aku menunggu sebuah taksi lewat di depanku. Taksi itu berhenti, aku berjalan mendekat untuk membuka pintu.
Tanpa ku tau tiba-tiba saja seorang laki-laki membuka pintu taksi yang belum sempat kubuka itu.
"Maaf saya buru-buru!" kata laki laki itu kemudian masuk begitu saja mengambil taksi yang sebenarnya untukku.
"Tapi saya juga buru-buru. Ini taksi saya! Saya duluan yang mendapatkannya," kataku mencoba merebut lagi.
"Maaf, Mbak, mbak bisa nunggu taksi setelah ini. Saya darurat," kata lelaki itu kemudian menyuruh sopir taksi untuk segera berjalan.
Aku yang masih di luar akhirnya mengalah juga. Walaupun sebenarnya tetap merasa sedikit kesal.
"Nunggu lagi deh. Telat juga ini," gerutuku.
Lima menit kemudian sebuah mobil berhenti di depanku yang masih merasa kesal.
"Re? Kok masih disini?" kata orang itu yang ternyata adalah pak Rendi.
"Eh , iya Pak. Ini saya lagi nunggu taksi, semalam saya nginep di rumah Ibu saya," kataku mencoba menjelaskan.
"Ya udah ayo bareng saya aja kalau gitu. Lagian ini udah siang, kamu akan terlambat jika masih harus menunggu taksi lagi," ujar pak Rendi
Karena takut terlambat akhirnya aku menerima tawaran dari pak Rendi.
"Kenapa terlihat begitu kesal?" tanya pak Rendi setelah mobil berjalan.
"Iya pak. Tadi sebenarnya saya sudah dapat taksinya, malah diserobot orang," gerutuku.
"Mungkin dia buru-buru kali," Pak Rendi berkata lembut.
"Iya dia sih bilangnya gitu. Tapi saya kan juga buru-buru Pak. Saya juga bisa terlambat ini," kataku kesal.
"Jangan begitu Re. Mungkin saja dia lebih terburu-buru dari kamu. Ada masalah yang lebih penting dari masalahmu mungkin?!" ujarnya bijaksana. 
Ternyata ini alasan Fida selalu memuji Pak Rendi. Dia lelaki yang baik hati, lembut dan perkataannya pun baik. Lelaki seperti ini yang seharusnya dipertahankan. Bukan lelaki seperti Mas Yogi. Lelaki brengsek yang sudah membuatku sakit hati karena ucapannya.
"Nanti siang saya ada meeting dengan klien. Kamu ikut saya ya, Re," kata pak Rendi.
"Oh baik, Pak."
"Saya ajak kamu karena sekretaris saya tiba-tiba minta cuti hari ini. Lagian kamu pasti bisa menggantikannya satu hari," sambung Pak Rendi.
"Baik Pak." 
"Kamu ke ruangan saya setelah makan siang ya."
"Baik Pak."
_____________________
"Maaf tadi aku gak jemput kamu Re, habisnya aku kesiangan."
"Iya Da, gak papa. Lagian semalem aku nginep di rumah Ibu kok," jawabku membuat Fida akhirnya tidak merasa bersalah.
"Kamu kesana? Ada apa? Apa tante sakit?"
"Tidak Da. Cuma kangen aja," kataku beralasan.
"Oh, sama Mas Yogi juga? Nginep?"
"Iya nginep." Jawabku singkat.
"Nanti pulangnya bareng aku kan? Aku anterin sampai rumah sebagai ganti yang kemarin," kata Fida selanjutnya.
"Santai aja. Kemarin aku diberi tumpangan sama pak Rendi kok," jawabku membuat Fida langsung melongo. Dia juga langsung berhenti mengunyah roti yang baru saja dia masukkan ke dalam mulutnya. Matanya melotot dan wajahnya mendekati wajahku.
"Serius???!!!!"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Baru kali ini Pak Rendi kasih tumpangan lo, Re. Kamu serius, mimpi kali."
"Yeeee, kamu gak percaya. Beneran!" kataku meyakinkan.
"Sumpah?!"
"Tanya aja sendiri sama orangnya kalau nggak percaya," kataku kemudian melanjutkan makan.
"Jangan-jangan Pak Rendi naksir kamu, Re?"
"Huss, kamu. Aku sudah bersuami Da, sudah punya anak juga. Gak baik ah ngomong gitu".
"Ya kan siapa tau," ucapnya lagi.
Aku masih cuek dengan semua yang dikatakan Fida. Tidak mungkin lah seorang Pak Rendi menyukai bawahannya sepertiku.
"Udah ayuk kembali kerja," ajakku setelah mendengar suara bel berbunyi.
"Cie Pak Rendi," ledek Fida lagi.
"Kamu ya Da, awas ya!" 
Fida berlari sambil sesekali menoleh kebelakang dan terus meledekku. 
"Dasar Fida. Tidak berubah," gumamku. 
Aku berjalan menuju ruangan Pak Rendi, seperti yang dikatakannya pagi tadi jika aku harus ke ruangannya setelah makan siang.
"Selamat siang Pak," sapaku yang melihat Pak Rendi sudah berada di ruangannya.
"Iya Re. Kita langsung berangkat saja ya! Kamu sudah makan kan?"
"Sudah Pak."
"Tolong bawa dokumen ini ya," katanya seraya menyerahkan sebuah Map berwarna kuning.
"Kita bertemu klien di kafe dekat sini saja. Sky garden cafe, kamu tau kan?" tanya pak Rendi kemudian.
"Tau Pak, Baik Pak."
Aku mengikuti setiap langkahnya. Dia benar benar sangat berwibawa, terlihat juga dari caranya berjalan.
______________
"Kamu tunggu di sini sebentar ya, Re. Saya ke toilet sebentar," kata Pak Rendi setelah kami duduk dimeja nomer sembilan.
"Baik Pak."
Tak lama setelah pak Rendi pergi, seorang pria yang tak asing lagi bagiku masuk dan duduk dikursi nomer lima, Mas Yogi. 
Apa yang dia lakukan disini? Kenapa dia sendirian ? Di mana Reza? 
Aku bermaksut mendekatinya, tapi kemudian Pak Rendi kembali dari toilet.
"Apa klien kita belum datang?"
"Belum Pak."
"Kamu mau kemana tadi?" tanya pak Rendi yang sempat melihatku berdiri namun kemudian duduk kembali saat melihatnya datang.
"Itu Pak. Lelaki di meja nomer lima, dia suami saya."
Pak Rendi langsung melihat ke meja yang kutunjuk.
"Kamu mau menghampirinya?"
"Sepertinya iya Pak. Saya mau menanyakan alasan dia memblokir nomer sata," jelasku.
Pak Rendi kemudian mengijinkanku untuk menghampiri mas Yogi. Setelah mendapat ijin dari pak Rendi, aku pun bergegas menghampirinya.
"Mas Yogi!" Sapaku yang mengagetkannya.
"Kamu??"
_______________

Book Comment (153)

  • avatar
    NurFaizah

    betui

    2d

      0
  • avatar
    Annisa Rahmadanny

    cantik banget

    8d

      0
  • avatar
    91Yappe

    5.0

    13d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters