logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Diblokir

"Di depan berhenti ya, Pak," kataku pada pak Rendi.
"Oh rumahmu daerah sini ya, Re?"
"Iya pak. Masih naik angkot sekali lagi," jawabku kemudian.
"Saya anterin aja kamu sampai rumah, gimana?" kata pak Rendi menawarkan.
"Gak usah, Pak. Nanti ngerepotin. Saya naik angkot aja" jawabku tidak ingin merepotkan.
"Gak papa, ayo saya antar saja."
"Beneran gak ngrepotin, Pak, saya malah jadi sungkan ini," ujarku lagi.
"Sudah. Tidak usah sungkan, saya tidak merasa direpotkan kok," kata Pak Rendi membuatku akhirnya menyetujuinya.
"Oh ya Re, dulu kamu pernah bekerja kantoran ya? Kok kamu langsung bisa menyesuaikan diri gitu di kantor. Tidak banyak bertanya juga. Sepertinya sudah paham dengan pekerjaan yang harus kamu kerjakan" lanjutnya.
"Sebenarnya sebelum menikah saya sempat bekerja, Pak." 
"Oh."
"Setelah menikah saya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga saja. Karena menurut saya suami saya adalah suami yang bertanggung jawab. Selain itu saya ingin membuat keluarga saya bangga pada suami saya itu," ceritaku.
Pak Rendi masih terdiam dan mendengarkan.
"Namun ternyata keputusan saya salah. Dia lebih suka pada wanita karir, Pak. Wanita yang tidak hanya bekerja di rumah saja. Seandainya dia tau betapa capeknya jadi ibu rumah tangga, mungkin dia tidak akan setega itu," lanjutku.
"Dia berpikir Ibu rumah tangga itu enak. Hanya duduk-duduk di rumah, menunggu suami pulang dan meminta uang ketika uang bulanannya habis," lanjutku.
"Sudah lah Re, gak usah dibahas lagi," katanya menghentikanku. Dia paham jika aku mulai tak kuasa menahan air mata ini.
"Besok dijemput Fida lagi?" tanya dia mengalihkan pembicaraan.
"Iya Pak. Dia teman baikku," jawabku sambil menyeka air mata yang sudah berada di pelupuk mata.
Setelah berjalan sekitar satu kilo akhirnya kami sampai jugq di gerbang perumahanku.
"Kamu tinggal di perumahan ini?"
"Iya, Pak." 
"Oh," jawab Pak Rendi Mangut mangut.
"Ya udah sampai sini saja, Pak. Gak enak sama tetangga kalau lihat bapak nganter saya sampai rumah. Lagian mereka tidak tau jika saya sedang ada masalah dengan suami saya." 
"Oh, tentu. Saya antar kamu sampai sini saja biar gak nambah masalah ya," jawabnya sangat bijak.
Aku turun, tak lupa ku ucapkan terimakasih pada pak Rendi yang sudah rela mengantarku pulang.
"Terimakasih pak."
"Iya sama-sama. Saya langsung jalan ya," katanya kemudian.
Aku mengangguk, mobil berbalik arah kemudian melaju dengan cepat meninggalkanku yang masih berdiri sendiri.
Aku berjalan seorang diri menuju rumah. Baru sehari ditinggal Mas Yogi dan Reza namun rasanya udah lama sekali aku tidak bertemu dengan putra kesayanganku itu.
Akan ku hubungi mas Yogi walaupun rasanya sangat sulit bagiku melakukan itu. Namun demi menanyakan kabar putraku itu, aku akan menghilangkan rasa marah dan benciku padanya untuk sesaat.
Kakiku melangkah dengan cepat agar segera sampai dirumah. Akan kutelepon Mas Yogi sesampainya di rumah.
_____________
Usai mandi aku segera mengambil ponselku untuk menghubungi mas Yogi. Kucari nomernya di dalam ponsel kemudian menghubunginya.
"Loh kok gak bisa? Kenapa suara operator mulu ini," gumamki.
Kucoba beberapa kali namun hasilnya tetap sama. Kemudian kuputuskan untuk mengirimnya pesan lewat whatsap.
Lebih baik ku kirim pesan saja, mungkin sekarang handphone nya sedang mati. Jika aku kirim pesan pasti dia akan membacanya nanti, pikirku.
Kubuka menu whatsap kemudian berusaha menulis pesan untuknya. Namun ternyata aku juga tidak bisa mengirim pesan untuknya. Disana tertulis jika nomerku sudah diblock.
"Apa apaan sih kamu Mas!!" 
Hatiku kini mulai khawatir. Aku bahkan tidak mengetahui kemana mereka pergi. Sekarang jalan satu-satunya untuk menanyakan kabarpun kamu putus.
Aku menangis sesenggukan, sungguh aku benci kamu, Mas. Kamu tega memisahkan ibu dengan anaknya. 
Saking merasa sakit karena di perlakukan seperti ini, sampai-sampai aku mengucap kata yang tidak sepantasnya ku ucapkan.
"Aku yang akan langsung meminta kamu buat ceraikan aku ketika kita bertemu nanti. Baik aku sudah sukses ataupun belum. Aku tidak sudi punya suami yang kejam seperti ini!!!" gerutuku.
Aku menangis sendirian. Tidak ada seorangpun yang mengetahui. Bahkan Ibu dan bapakku. Aku tidak ingin mereka tahu.
Tapi jika memang mas Yogi sudah tidak mengingginkan keluarga kami utuh dan kembali seperti dulu, mungkin seharusnya aku memberi tahu orang tuaku saja.
_____________
Sore itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi kerumah orang tuaku. Akan aku ceritakan semuanya yang terjadi. Karena percuma saja kututupi semuanya jika pada akhirnya kami harus bercerai juga.
Kutelepon Diki, adikku untuk menjemputku. Rumahku dengan orang tuaku tidak terlalu jauh sebenarnya, namun karena sekarang mood ku lagi gak bagus mendingan ku suruh dia untuk menjemputku dari pada naik taksi.
"Iya Kak. Kenapa?" tanya Diki dari ujung telepon.
"Bisa jemput kakak dirumah gak? Mau ke rumah Ibu sekarang," ujarku.
"Bentar aku lagi gak di rumah. Paling lima menit lagi aku pulang." 
"Lha memangnya kamu dimana? Kamu pergi gak bawa mobil?"
"Bawa kak. Ya ntar aku mampir kesitu, sekalian jemput kakak."
"Cepetan ya." 
"Ya, lima menit lagi. Nanggung ini, katanya kemudian menutup teleponku.
Entah apa yang sebenarnya sedang dia kerjakan, akupun tidak tau.
Aku menunggu hampir setengah jam dirumah, namun belum juga adikku itu datang.
"Gimana sih? Katanya sebentar kok lama banget!" Gumamku dengan nada kesal. 
Ketika aku sudah kesal dan ingin membatalkan untuk pergi, akhirnya adikku Diki itu pun tiba.
"Maaf kak lama, jalanan macet banget," katanya dengan nafas terengah-engah.
"Kamu dari mana aja sih? Lama banget! Katanya lima menit, ini sudah hampir satu jam!" kataku kesal.
"Iya maaf, kan aku sudah bilang jika jalanan macet," lanjutnya beralasan.
"Dari mana kamu? Jujur sama kakak.  Kenapa nafasmu ngos-ngosan gitu? Bukannya kamu naik mobil? Kaya habis lari-larian gitu," ucapku yang merasa penasaran.
"Gak papa kak. Ya udah yuk, berangkat!" katanya tanpa bertanya soal Mas Yogi ataupun Reza.
Diki masuk kedalam mobil kemudian aku mengikutinya. Kulihat wajahnya yang sedikit berkeringat dan terlihat kelelahan. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Kamu habis dari mana sih sebenarnya?"
"Dari rumah temen. Buat tugas kuliah," katanya terlihat jika dia sedang berbohong kali ini.
"Jangan bohong sama kakak, kamu dari mana?"
"Beneran," katanya dengan terus fokus menyetir.
Setelah lima belas menit akhirnya kami sampai juga di rumah tempat tinggalku semasa kecil itu.
Aku segera masuk untuk bertemu orang-orang tersayangku. Orang-orang yang tidak pernah menyakitiku sama sekali. 
"Ibu!!" Teriakku ketika melihat Ibuku.
"Reina? Tumben kesini?" 
Tanganku segera memeluknya. Ingin rasanya menangis melepas semua beban ini pada Ibu.
"Mana Reza sama Yogi?" 
Air mataku tiba-tiba jatuh membasahi pipiku. Seberapa kuatpun aku mencoba tegar  tapi sebenarnya hati ini tetap saja rapuh.
"Kamu kenapa Re? Ada masalah? Kenapa menangis?" 
"Bu, Mas Yogi, Mas Yogi jahat," kataku seraya menangis sesenggukan dipelukan Ibu.
"Yogi kenapa?" 
"Mas Yogi pergi ninggalin Reina," kataku sambil terus menangis sesengukan.
"Apa? Kok bisa? Pergi kemana? Trus di mana Reza?"
"Reza dibawa pergi olehnya juga." Air mataku semakin deras membasahi kedua pipiku.
"Pergi kemana? Bicara yang jelas? Ibu gak paham kalau kamu bicara sambil nangis." 
"Mas Yogi pergi ninggalin Reina, katanya dia mau menikah lagi."
"Dasar gila. Apa suamimu itu sudah gak waras sekarang?!" Ibu berbicara dengan nada kesal. 
"Sekarang mereka pergi kemana? Biar Ibu dan bapak yang susul dan jemput Reza!!" Suara ibu semakin marah.
"Reina juga gak tau mereka kemana Bu. Reina telpon nomernya sudah gak bisa. Sepertinya nomer Reina udah diblock sama Mas Yogi." 
Ibu semakin marah. Padahal dia belum tau alasan Mas Yogi meninggalkanku. Dia pasti akan lebih marah jika tau alasan sebenarnya yang tidak masuk akal itu.
"Baik Re. Untuk sementara kamu tinggal di sini dulu! Kamu gak usah khawatir!! Jika memang ini yang dia inginkan, Lepaskan!! Ceraikan dia!! Jangan mau dimadu!"
Aku hanya bisa terdiam dan menangis. Diki yang dari tadi berdiri di sana kemudian masuk kedalam kamar.
"Udah sana istirahat dulu! Gak usah terlalu dipikirin laki-laki seperti itu! Laki-laki gak tau diuntung! Itu sebabnya dari dulu ibu kurang suka sama dia!" Ibu kembali membahasnya.
Aku tidak berani membatah sedikitpun sekarang. Ibu memang sedikit tidak suka pada Mas Yogi dari awal kita kenalan. Ibu merestui kami menikah karena aku mati-matian meyakinkannya jika mas Yogi adalah pria yang baik.
"Sudah jangan sedih lagi! Ayo istirahat dulu sambil nunggu bapak pulang," kata Ibu saraya merangkul bahuku.
__________________

Book Comment (153)

  • avatar
    NurFaizah

    betui

    2d

      0
  • avatar
    Annisa Rahmadanny

    cantik banget

    8d

      0
  • avatar
    91Yappe

    5.0

    13d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters