logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 7. Berlabuh

"Aku hanya ingin, kita berproses menjadi lebih baik dari hari kehari tanpa ku memikirkanmu. Dan tanpa dikau memikirkanku, biarlah Allah hang menentukan semuanya."
-Adnan Khairi Al-Haqqi--
Adnan  gemas dengan tingkah Sarah, lalu berjalan keruang tengah. Untuk menemui Nadya yang ssdang duduk disofa, matanya terbelak, dia ingat kejadian tempo hari, ketika Adnan menolong seorang wanita.
"Assalamualikum ukhty, kenapa nangis? Nama ukhty siapa?" Adnan menatap iba Nadya.
"Lah, lo Mas ustadz sombong itu kan? Yang udah nolongin gue?" Nadya melotot kaget.
"Masya Allah ukhty, masih ingat dengan saya?" Adnan mengingatkan Nadya, perihal kejadian waktu itu.
"Ingatlah Mas ustadz sombong, lo kan orang yang nggak mau gue ajak kenalan." Nadya bersikap angkuh, sembari duduk tenang di sofa.
Adnan tersenyum tipis, rupanya Nadya salah paham dengan perkataannya waktu itu.
"Bukannya saya tidak mau ukhty ... Tetapi, saya tidak akan menyebutkan nama saya kesembarangan orang." jelas Adnan, seraya menundukan pandangannya.
"Maksud lo gue sembarangan orang gitu?" ketus Nadya.
"Ukhty nggak boleh gitu, kalau ukhty mau tahu nama saya, nama saya Adnan Khairi Al-Haqqi." Adnan memperkanalkan dirinya pada Nadya.
"Boleh juga ni orang, ganteng banget. Ah! Bikin gue deg-degan aja. Coba aja kalau dia jadi calon imam gue." Nadya berangan-angan, agar Adnan menjadi miliknya.
Beberapa menit kemudian, setelah lama berkenalan. Adnan memandang Nadya sedari tadi hanya memperhatikan dirinya. Cepat-cepat Adnan mengalihkan pandangannya. Tak lama itu Adnan melihat ke arah jam tangannya sudah pukul 10:00 wib.
"Maaf ukhty saya harus ceramah dulu di Masjid, saya pamit assalamualaikum." Adnan hendak melangkahkan kakinya keluar. Tetapi, Nadya menahannya.
"Wa'alaikummussalam. Tunggu! Gue mau ikut dong, tapi masjidnya dimana? Gue kan nggak tahu. Kan gue masih baru Mas, please!" Nadya memohon dengan pupy eyesnya. Sembari memegang lengan Adnan.
"Masya Allah ukhty, kalau mau ikut em ... Bajunya tolong diganti, pakai jilbab yang sopan, dan baju gamis." Adnan mdnasehati Nadya. Sembari menepis tangan Nadya dengan pelan.
"Apa dia benci sama gue? Sampai dia nepis tangan gue gitu aja?" seru Nadya dalam batinnya
"Kalau ukhty tidak punya bajunya, coba tanya sama Umi. Siapa tahu Umi punya bebarapa. Maaf saya nggak bisa lama-lama, karena waktunya mepet, assalamaulaikum." Adnan pamit melangkahkan kakinya ke masjid.
Sarah muncul di waktu yang tepat, kebetulan Nadya tidak punya pakaian gamis, kerudung .Kebanyakan pakaian Nadya dress, higheels, sepatu boots, sneakers. Sehingga Nadya tidak tahu apa itu gamis?
"Eh, Nadya kok nggak ikut ke pondok? Mau Umi perkenalkan?" Sarah bertanya—menawarkan pada Nadya.
"Sebenarnya ... Nadya nggak punya jilbab Umi. Kata Mas Adnan Nadya harus pake jilbab, karena pakaian Nadya nggak sopan." Nadya menunduk malu.
"Yasudah, sini Umi bantu pilihkan, bebas kamu maunya pilih yang mana." Sarah menyodorkan bebarapa pakaian Muslim pada Nadya.
Nadya mengenakan kerudung merah jambu, Nadya memang cantik. Sampai semua orang terpesona melihat Nadya mengenakan kerudung. Begitupula dengan Adnan, dia yang melihatnya seketika terpesona. Baik santri perempuan maupun laki-laki.
"Masya Allah, kamu cantik sekali Nak, kan umi sudah bilang ... Kalau kamu berkerudung pasti cantik." puji Sarah—yang terlihat menyayangi Nadya.
"Makasih Umi." Nadya tersenyum.
"Sama-sama, yuk sayang! Kita ke pesantren, sebentar lagi Adnan ceramah lho, sekalian kenalan sama temen-temen baru kamu." Sarah mengajak Nadya pergi ke pondok.
"Iya Umi."
Setelah sampai pondok khusus puteri. Nadya berkenalan dengan teman-teman barunya.
"Nah, udah sampai ini teman se-pondok kamu, ayo kenalan. Umi ada perlu sebenatar. Umi pamit ya? Assalamualikum." Sarah berpamitan, dan langsung pergi meninggalkan Nadya bersama teman barunya.
"Wa'alaikummussalam, iya Umi." Nadya mengangguk.
Ketiga orang perempuan tersentum ramah pada Nadya. Mereka menyambut Nadya dengan hangat.
"Hay Nadya, aku Siti Hasanah, umurku 17 tahun ... Kalau kamu mau, kita bisa jadi sahabat kok." Perempuan berjilbab biru itu tersenyum—menyapa Nadya hangat.
"Assalamualaikum, ana Sintia Zikra, umur ana 18 tahun. Dan ana rasa kita bisa jadi teman baik." usul Sintia, sekaligus berkenalan.
"Hay Nadya, saya Musdalifah Tyas Mirasih, umur saya 24 tahun. Nggak usah sungkan karena perbedaan usia." Musdalifah tersenyum
"Wa'alaimummussalam, halo semuanya. Jadi gue baru disini, gue harap kalian bisa jadi sahabat baik gue. Dan sebenarnya, gus terpaksa masuk pesantren ini, karena paksaan bokap gue. Tapi, demi Mas Adnan. Gue bakalan betah disini!" Nadya berseteru pada teman barunya.
"Subhanallah ukhty, nggak baik seperti itu ... Kalau kita niat menimba ilmu, jangan karena laki-laki, niatkan ibadah pada Allah." Musdalifah menasehti Nadya, sembari menatap Nadya tak suka.
Nadya tak menanggapi ucapan Musdalifah. Nadya menanggapnya sebagai radio rusak.
"Iyalah gimana lo aja. Oo, ya! Kalian mau ikut gue liat ceramah Mas Adnan?" tanya Nadya—Nadya ingin mengajak teman barunya.
"Hah? Mas Adnan?" bengong sintia.
"Ustadz Adnan maksud dari Nadya itu." Siti menjelaskan apa yang dimaksud Nadya.
"Oo!Iya, yaudah yuk, teh Musdalifah juga mau ikut?" Sintia mengajak Musdalifah.
"Nggak, kalian duluan aja." tolak Musdalifah secara halus.
"Oke, kita pamit ya ... Teh Musdalifah? Assalamulaikum." mereka bertiga pamit berlalu.
"Wa'alaikummussalam, silahkan." jawab Musdalifah.
Perjalanan menuju masjid, santri laki-laki berkumpul di luar menatap Nadya, lalu memuji Nadya kagum. Adnan terpesona, dia memang mengagumi Nadya. Namun, ia tak bisa mengungkapkannya. Karena, ia sudah mempunyai calon isteri yang harus ia jaga hatinya. Masih didepan Masjid, banyak sekali orang yang memuji Nadya. Terkecuali Adnan, bukan berarti ia tidak terpesona. Hanya saja, Adnan sudah mempunyai pendamping untuk hidupnya kelak.
"Hay adek manis berkerudung cantik, mau kemana? Mau masuk ya? Kenalan dulu dong." seorang laki-laki datang mendekati Nadya.
"Masya Allah, cantik sekali ya perempuan itu. Kayaknya dia murid baru deh." ucap seorang perempuan di sebrang.
"Ada apa ribut-ribut diluar?" Adnan bertanya dengan heran, karena terjadi keributan kecil diluar.
"Bukan apa-apa ustadz, kita cuman mengagumi anak baru itu, yang jilbabnya merah jambu. Masya Allah cantik sekali, andai kalau dia jadi isteri saya, pasti saya beruntung ustadz." kata Roby saudara sepupu Adnan.
"Sudah-sudah, silahkan masuk semua, kita ceramah." Adnan membubarkan kerumunan di masjid.
"Baik ustadz." Roby terlihat memelas.
"Nad lihat, dari tadi banyak yang muji kamu, ternyata kamu cantik banget. Lihat ustadz Adnan aja sampai ngelirik kamu." puji Siti, ia tercengang melihat perubahan Nadya.
"Bener banget Nad, siapa tahu jodoh kamu ustadz Adnan." Sintia mencoba mendukung Nadya.
"Kalian bisa aja deh, jangan buat gue tersipu malu." Nadya terlihat salah tingkah.
"Kita serius Nad, doain aja siapa tahu jodoh." Sintia menepuk pelan bahu Nadya.

Book Comment (328)

  • avatar
    3Zyntaa

    cerita nya seru bgt🫂🙌

    18d

      0
  • avatar
    AllBang

    👍👍

    20/09

      0
  • avatar
    HiguanaMumud

    mah

    17/09

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters