logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Kabar Ta'aruf

(Malamnya di rumah Siska)
Kami bertiga berbaring di kasur yang sama. Kasur milik Sinta yang begitu besar dan nyaman hingga cukup untuk kami bertiga. Banyu dan Deri sudah pulang dari tadi. Mereka harus istirahat karena besok harus kuliah ditambah kerja part time.
Aku melihat ponselku yang tidak berbunyi sedari tadi. Tidak satu pun notifikasi masuk dari Valdi. Dua jam yang lalu aku sudah menghubunginya melalui pesan whatsapp.
Awalnya, aku ingin meminta maaf atas apa yang terjadi hari ini. Aku ingin memperbaiki suasana diantara kami. Akan tetapi, Valdi tidak menjawab satupun pesan yang ku kirim padahal whatsappnya sudah ceklis dua. Dia juga terlihat sedang online beberapa kali.
Apa Valdi sebegitu marahnya denganku? Apa mungkin hubunganku akan berakhir?. Aku terus memikirkannya.
Selain Valdi, sahabatku Anggi juga cukup berubah. Dia tidak lagi sering ke rumahku, dia juga jarang membalas pesan dan mengangkat telepon dariku. Sambil menatap langit-langit buatan di kamar Sinta, aku tak tahan lagi dan akhirnya bertanya tentang sikap Anggi.
"Guys, kalian ngerasa gak kalau Anggi agak berubah?"
"Emang kenapa Put? Kalau sama aku sih biasa aja,” jawab Sinta.
"Kalau kamu bagaimana, Da?" tanyaku.
"Kalau dengan aku sih biasa aja. Tapi yang aku lihat sih dia agak menghindar dari Putri,” jawab Ilda.
"Nah, kan. Ilda aja ngerasa gitu." Ternyata, tidak hanya aku yang merasakannya. Ilda juga mempunyai pendapat yang sama denganku.
"Emang kalian ada masalah apa sebelumnya Put atau pernah terjadi sesuatu diantara kalian yang kita gak tahu?” tanya Ilda.
"Gak ada Da, semua baik-baik aja kok. Aku aja sampai kebingungan dengan sikap Anggi. Apa mungkin aku punya salah, ya?” tanyaku. Aku tidak ingin berpikir negative, aku ingin meminta saran dari sahabat-sahabatku.
"Udah gak usah souzon dulu. Siapa tahu Anggi emang lagi sensitif aja,” jawab Ilda.
“Menurut aku sih ya lebih baik ditanya aja. Kali aja ada perkataan atau perbuatan yang buat Anggi tersinggung. Kita kan gak tahu ya isi hati orang,” sahut Sinta.
"Baik Bu uztadzah Sinta," ucapku dan Ilda bersamaan.
“Dasar ya kalian!” seru Sinta.
Sinta melempari ku dan Ilda dengan bantal. Kami puas tertawa karena Sinta. Diantara sahabat-sahabatku, Sinta lah yang paling tidak bisa serius. Suasana serius pun dia kadang bercanda. Aneh jadinya mendengar dia menasihatiku.
Aku dan Ilda pun membalas Sinta. Terjadilah perang bantal pada tengah malam itu dan tanpa ku sadari ada sebuah pesan masuk dari Valdi.
***
(Pagi, di rumah Putri)
Ah, badanku letih mataku juga ngantuk. Aku tidak bisa tidur di rumah Sinta, mereka terus mengajakku berbicara dan anehnya aku tak mengantuk di sana. Aku masuk ke rumah membuka pintu dan melihat Ayah Ibu duduk santai di ruang tamu.
Sekarang sudah jam 8 pagi. Mereka terlihat rapi sedangkan aku saja belum mandi.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Sudah pulang nak? Sinta gak ikut ke sini?” tanya Ibu.
Aku berjalan ke arah Ibu dan mencium tangannya lalu mencium tangan Ayah.
“Gak. Orang tua Sinta sudah diperjalanan mau pulang,” jawabku.
"Ah ngantuk,” timpalku kemudian menguap.
“Emang di sana gak tidur?” tanya Ayah.
“Mana bisa tidur, Yah. Sinta ngoceh terus, Ilda juga cerita melulu,” jawabku. Aku tidak kesal dengan mereka malah aku merasa senang walau hanya mendengar ocehan dari Sinta dan Ilda.
"Ya sudah, Putri tidur saja dulu. Ayah sama Ibu mau pergi dan kemungkinan akan pulang lagi sore hari. Nanti malam Ayah mau bicara sama kamu,” ucap Ayah.
"Ayah mau bicara? Bicara apa? Aku punya firasat buruk tentang ini,” batinku.
Aku masuk ke kamar setelah Ayah dan Ibu pergi. Sebelum tidur aku mengecek ponsel. Ku lihat ada satu notifikasi dan itu dari Valdi.
Buru-buru aku membukanya. Setelah ku baca, isinya benar-benar membuatku kebingungan.
“Sini aja, aku sendirian nih. Lagi sepi." Isi pesan itu.
Aku bingung mengartikan maksud dari pesan yang di kirim oleh Valdi ini. Apa maksudnya? Pesan ini sama sekali bukan balasan dari pesan yang ku kirim.
Ngantukku langsung hilang. Sekarang aku hanya bisa berpikir hal yang tidak baik. Aku terus mencoba menghubungi Valdi tapi tidak ada jawaban yang ku dapat.
Pacar mana yang tidak khawatir ketika menerima pesan seperti itu? Pikiranku sudah kemana-mana. Saat ini aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku juga tidak mungkin bercerita dan meminta tolong sahabat-sahabatku. Mereka nanti malah akan tambah tidak menyukai Valdi.
“Apa yang kamu lakukan semalam, Valdi? Semoga saja ini tidak benar,” batinku.
Aku tidak bisa kemana-mana karena aku pun tidak tahu alamat Valdi. Aku selalu menolak ketika Valdi mengajakku ke rumahnya karena rumah itu sangat sepi.
Aku terus memikirkannya hingga malam tiba. Ayah dan Ibu sudah pulang dan sesuai dengan apa yang Ayah katakan tadi bahwa Ayah ingin berbicara dengan ku.
"Sini duduk nak." Ibu menyuruhku duduk di dekatnya.
Jantungku berdegup kencang hingga kakiku lemas rasanya. Tidak biasanya Ayah dan Ibu seformal ini.
Ayah memberikan sebuah map dan memintaku untuk membukanya. Saat kubuka sebuah biodata lengkap beserta foto membuatku penasaran.
"Apa sebenarnya ini? Tapi foto itu terasa tidak asing untukku. Apa foto artis ya?" batinku bertanya-tanya.
"Bagaimana menurut Putri?" tanya Ayah.
Jujur saja aku bingung. Menuju kemana sebenarnya pertanyaan dari Ayah ini.
"Wajahnya lumayan, pendidikannya juga oke. Calon karyawan Ibu ya?" jawabku seadanya.
"Kalau ini memang calon karyawan Ibu ngapain juga nanya ke aku. Apa supir atau bodyguard untukku? Tapi buat apa? Gak mungkin dong karena Ayah pengen aku gak jalan lagi sama Valdi sampai nyewa bodyguard,” batinku.

"Calon kamu," jawab Ayah.
"Alhamdulillah, syukur bukan bodguard dari Ayah. Eh tunggu, CALON? becandaan Ayah gak lucu banget deh. Masa lagi-lagi..." batinku.
Aku tertawa geli mendengar jawaban Ayah." Calon apa sih hahahah."
“Maksud Ayah dia bakal jadi calon bodyguard Putri? Putri gak mau!” ucapku menentang.
“Dia memang akan menjadi bodyguard tetapi dalam artian lain,” ucap Ayah.
“Apa lagi maksud Ayah kali ini,” batinku.
"Ayah sama Ibu sepakat mau ta'arufin kamu sama dia. Seperti yang Ayah bilang sebelum-sebelumnya kalau cocok kita terusin, kalau enggak ya sudah berarti bukan jodohnya. Dia juga sudah ketemu kamu dan ngerasa cocok, sekarang tinggal kamu aja,” ucap Ayah.
“Ketemu? Kapan?” tanyaku tersentak. Aku bahkan tidak bertemu orang lain selain sahabat-sahabatku terkecuali orang gila di caffe itu tapi tidak mungkin dia, kan?
“Ya, mana Ayah tahu. Intinya kamu akan ta’aruf sama dia,” tegas Ayah.
"Putri gak salah denger, Yah?" tanyaku sambil memegang telinga.
"Enggak sayang, kamu beneran mau kami ta'arufin,” sahut Ibu.
"Serius? Putri? Yakin mau ta'arufin Putri?" tanyaku dengan mimik wajah tak yakin. Sepertinya Ayah dan Ibu sangat suka bercanda.
"IYA!” jawab Ayah dan Ibu dengan tegas dan kompak.
Aku tersandar lemah dan tidak berdaya.
“Tidakkkkkk!” batinku seakan berteriak.
Bersambung...

Book Comment (176)

  • avatar
    Wulann1Lintang

    sip

    30/07

      0
  • avatar
    ZaidiAinaa

    BESTTTTTT!!!

    11/07

      0
  • avatar
    NyllNyl

    konyol

    10/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters