logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Visible

Visible

Triana Masda


Prolog dan bab 1 : Kelas sebelas

PROLOG
***
Di TAHUN 2021
   Kecelakaan mobil pada tanggal 11 Desember 2012
Tiga orang tewas dan dua lainnya luka-luka.
     Pada pagi hari tadi sekitar pukul 07.00 WIB terjadi sebuah kecelakaan mobil di jalan Cempaka 01 di daerah Jakarta. Kecelakaan itu menewaskan 3 orang dan dua lainnya luka-luka. Diperkirakan kecelakaan ini terjadi, karena salah satu mobil mengalami rem blong dan menabrak mobil yang waktu itu melintas di jalan. Saat ini para korban sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat di Jakarta.
     Ia menutup kesal laptop yang menayangkan berita beberapa tahun lalu. Bagaimana tidak kesal? Ia sudah mencoba mencari tahu tentang kecelakaan itu berkali-kali. Dengan menemui reporter yang waktu itu menayangkan berita itu, atau menanyai korban yang masih hidup waktu kecelakaan itu. Mengunjungi rumah sakit yang diberitakan dan hal lain yang juga ia lakukan. Namun hasilnya nihil. Ia tidak bisa menemukan petunjuk satu pun. Tentang orang yang juga jadi korban pada kecelakaan itu. Seolah menghilang tanpa jejak. Dan ia sendiri tidak tahu harus mencari kemana lagi.
   Kertas koran berserakan di meja. Tampak tidak rapi dan susunannya tidak beraturan. Ia memang mencari berita itu dari banyak sumber. Namun beritanya tak begitu banyak dan lebih menerangkan tentang kronologi kecelakaan dari pada korbannya. Mungkin karena teknologi pada tahun itu dan tahun sekarang sangat berbeda. Sekarang lebih mudah mencari informasi. Tapi berita kecelakaan waktu itu sedikit sulit untuk mendapatkan informasi.  Karena memang sekarang hal-hal semacam itu seolah tidak penting. Banyak orang yang lebih suka dengan kepopuleran dan kenarsisan. Mencoba cara agar bisa viral di sosial media. Membuatnya sedikit frustasi dengan keadaan sekarang.
   Ia mengangkat salah satu tangannya dan memijat pelipisnya. Seolah mencoba menenangkan pikirannya atau supaya ia dapat ide lain. Walau hasilnya masih sama saja. Ia sudah kehabisan akal. Tak tahu harus melakukan apa lagi. Apa ia harus pasrah? Apa ia harus mengikhlaskan? Tidak. Pasti ada celah untuknya. Tapi apa?
   Ia berdiri. Berjalan menuju balkon kamarnya. Menatap pemandangan di luar kamarnya. Malam memang gelap. Tapi di luar tampak terang dengan cahaya lampu yang menyinari jalanan. Mobil dan motor sesekali melintas di jalan depan rumahnya. Tapi ia tidak memfokuskan pikirannya pada jalanan atau mobil yang melintas. Ia memikirkan bagaimana caranya ia bisa menemukannya. Meskipun pastinya peluangnya hanya kecil dan juga pastia ada konsekuensinya. Tapi ia tidak peduli. Ia sudah menekadkan dirinya dari awal. Kalau ia memang harus menemukannya.
   Semilir angin terhembus. Menerpa wajah dan juga rambutnya. Tapi itu  tidak menghilangkan tekadnya. Ia masih berdiri di tempatnya tanpa gentar. Tatapan matanya terlihat serius.
   "Dimana pun lo, gue harus temuin lo."
***
1. Kelas sebelas
Aku tak mengerti suatu hal dibalik sebuah ketidaksengajaan
Karena diriku sendiri sudah banyak merasakan
Tapi apa mungkin hal itu menjadi awal sebuah kisah yang telah diskenariokan?
***
     Ranna mengayuh sepedanya. Memarkirkannya dan segera berjalan menuju mading sekolah untuk mengetahui letak kelas barunya. Ya, Ranna baru saja liburan kenaikan kelas dan sekarang ia sudah naik kelas sebelas. Dua Minggu lebih ia menikmati liburan sekolahnya.  Meskipun terkadang liburan memang tidak begitu menyenangkan untuknya. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya ia punya waktu istirahat lebih lama.
     Ranna berjalan menuju mading sekolah. Di sana hanya ada seorang cowok berdiri sambil melihat pengumuman yang ada di mading. Tapi kemudian cowok itu menoleh ke arah Ranna. Ranna sedikit kikuk. Cewek itu berusaha tersenyum padanya. Namun cowok itu hanya meliriknya singkat dan dingin. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ranna bahkan sampai mundur satu langkah saat melihat tatapan cowok itu yang begitu tajam.
     Cowok itu lalu berlalu. Melewati Ranna. Setelah kepergian cowok itu, Ranna menghembuskan nafasnya pelan dan memilih melihat pengumuman yang ada di mading.
     "Hay, Ranna!" Shinta datang sambil tersenyum. Ranna membalas senyumannya. Shinta itu teman Ranna dari kelas sepuluh. Tapi mereka berdua beda kelas. Awalnya Shinta dulu yang menyapanya dan Ranna dulu hanya sekedar membalasnya singkat. Tapi tidak tahu kenapa semakin lama mereka semakin dekat. Mungkin karena Shinta itu orang yang asyik. Gampang nyambung kalau diajak ngomong. Shinta juga banyak yang kenal di sekolah ini. Awalnya Ranna tidak ingin terlalu dekat. Tapi cewek itu selalu mendekatinya. Jadi  Ranna akhirnya menerimanya sebagai teman dekatnya. Walau ada hal lain yang membuatnya kadang tidak suka dengan Shinta. Tapi semua hal itu wajarkan. Setiap orang pasti memiliki sisi lain yang tidak disukai orang lain. Ranna pun tidak mempermasalahkannya.
"Hay, Shin. Ada apa?"
"Kita sekelas Ran. Gue seneng banget," ujar Shinta. Cewek itu terlihat senang menurut Ranna.
"Masak sih?!"
"Iya! Lo lihat aja tuh dimading!" Shinta menunjuk mading. Tepatnya pada kertas yang tertempel di sana.
Ranna melihat mading. Benar. Ranna dan Shinta satu kelas. Nama Shinta  ada dibawah namanya. Hanya tersekat satu nama.
"Iya kita sekelas. Eh, nama panjang lo siapa Shin? Gue pingin tahu. Shinta Haー" belum sempat Ranna selesai membacanya. Shinta sudah menariknya menjauh.
"Udahlah! Nggak usah mikirin nama. Yang terpenting itu kita sekarang bisa sekelas. Yeay!" Shinta merangkul Ranna senang. Ranna hanya mengangguk menanggapinya.
"Shinta!" Suara panggilan dari belakang mereka membuat keduanya berhenti. Shinta menoleh. Begitu pula Ranna. Melihat seorang cewek berlari menghampirinya.
"Ada apa Luk?" Tanya Shinta. Ketika cewek itu berada di hadapannya.
"Gue sekelas sama lo lagi, Shin." ujar cewek itu sedikit ngos-ngosan karena baru saja berlari.
"Oh ya! Baguslah kalau gitu. Gue bisa dong minta bantuan lo?!"
"Bantuan apa?"
"Bantuan buat nyontek," Shinta tertawa tanpa dosa dan dihadiahi  toyoran dari cewek itu.
"Eh iya, lupa. Luk kenalin ini temen gue, Ranna.  Dan Ranna, ini Luluk temen sekelas gue," Shinta memperkenalkan.
Luluk tersenyum. Dia mengangkat tangannya untuk bersalaman.
"Kenalin, gue Luluk."
Ranna ikut tersenyum. Dia juga mengangkat tangannya untuk membalas salaman dari Luluk.
"Ranna," Setelah mengucapkan itu mereka melepas jabatan tangan mereka.
"Ran, gue kasih tahu ya. Luluk ini lebih tua dari kita. Dia itu umurnya setahun lebih tua dari gue," ungkap Shinta.
"Ehー" Luluk bersiap ingin membalas namun Shinta kembali berucap.
"Tapi dia pintar kok! Tenang aja kali Luk, gue nggak jatuhin lo banget kok," Shinta menyelanya sambil nyengir.
"Berarti gue dua tahun dibawahnya dong?" ujar Ranna. 
"Loh, lo nggak seumuran sama Shinta?" Tanya Luluk.
"Dia lebih muda setahun dari gue. Dia mah sekolahnya kecepatan," sela Shinta.
"Ya udah kalau gitu gue panggil Kak Luluk aja ya?" Ujar Ranna sambil tersenyum.
"Nggak usah! Luluk aja, kita kan seangkatan."
"Jangan Kak. Nanti gue malah nggak sopan sama yang lebih tua."
"Udahlah, Luk! Lo emang pantes dipanggil kakak. Lo kan emang tua!" Shinta tertawa setelah mengucapkan itu. Luluk merengut tapi tidak lama dia kembali tersenyum.
"Ya udah deh. Nggak papa. Tapi kalau bicara sama gue bahasanya santai aja. Lo gue aja, biar lebih nyambung!"
"Iya."
"Kita masuk kelas aja yuk. Keburu bel," ajak Shinta sambil menarik kedua temannnya itu.
Ranna tersenyum. Mungkin ini awal yang indah. Tidak ada salahnya jika dia berteman dengan mereka. Mereka  sepertinya baik. Dia tidak akan salah. Lagi.
***
Ranna baru keluar dari toilet. Berjalan di lorong sendirian menuju kantin. Tadi kedua temannya ia suruh pergi lebih dulu ke kantin, karena ia ingin ke toilet sebentar. Ranna menghentikan langkahnya saat melihat tali sepatunya lepas. Ia sudah berniat untuk jongkok dan membenarkannya. Namun suara seseorang mengurungkan niatnya. Membuat tubuhnya tegak kembali.
"Hay, Ranna!" Seseorang memanggilnya dan menghampirinya.
"Echa." Ujar Ranna sambil tersenyum pada cewek yang baru saja menghampirinya.
"Mau kemana Ran?" Tanya Echa.
"Mau ke kantin. Tapi tadi ke toilet dulu."
"Tumben ke kantin. Biasanya kalau nggak gue ajak paksa, lo pasti nggak mau. Sekarang udah punya temen baru. Gue nggak diajak."
"Nggak gitu Cha."
"Oke, oke. Santai aja kali. Gue juga becanda. Lagian ya Ran. Gue kasih tahu. Kita tuh sekelas lagi."
"Hah? Masak iya?"
"Ini nih. Mentang-mentang udah punya temen baru yang lama dilupain." Echa pura-pura memasang wajah kesal.
"Serius Cha?"
"Iya. Lo kira gue bohong. Ini tuh beneran. Gue juga awalnya nggak tahu kalau kita sekelas lagi. Tapi tadi gue baca pengumuman di mading. Eh ternyata beneran."
"Gue seneng kalau gitu." Ranna tersenyum senang. Echa itu teman sekelasnya dari kelas sepuluh. Cewek itu baik dan mudah berbaur. Beda dengan Ranna yang sedikit pendiam. Ranna mungkin dekat dengan Echa tapi tidak terlalu dekat banget. Karena Echa punya teman yang lebih dekat darinya.
"Gue juga. Eh, gue mau ke toilet dulu ya Ran. Kebelet nih."
"Eh, iya." Echa pergi. Meninggalkan Ranna sendirian di lorong. Cewek itu kembali melangkahkan kakinya. Tanpa ia sadari. Ia lupa untuk membenarkan tali sepatunya yang lepas. Hingga tanpa sengaja ia menginjak sendiri tali sepatunya. Membuat tubuhnya limbung dan nyaris saja jatuh. Jika tidak ada orang yang dengan sigap memegangi tangannya.
Ranna seperti jantungan saja. Hampir saja ia mencium lantai yang keras itu. Ranna mendongakkan kepalanya. Menatap siapa yang sudah membantunya. Matanya menangkap tatapan mata yang dingin serta ekspresi wajah yang datar, membuat Ranna segera melepaskan tangannya dari cekalan tangan cowok itu. Ranna mundur satu langkah. Memberi jarak agak jauh.
"Makasih Kak." Ranna tahu siapa yang menolongnya. Cowok yang tadi pagi ia temui di depan mading. Ia juga tahu kalau cowok itu kakak kelasnya. Meskipun Ranna sedikit tidak peduli dengan sekitarnya ia juga pasti tahu soal cowok ini. Bagaimana tidak? Cowok ini adalah ketua OSIS di sekolahnya. Cowok yang dikenal selalu berekspresi dingin dan datar. Orang yang sering muncul di podium sekolah. Ranna juga tahu namanya. Namanya Afriyan. Tapi Ranna tidak tahu nama lengkapnya. Ia pikir tidak penting juga.
"Sekali lagi makasih Kak udah bantuin."
Cowok itu tidak menjawab. Membuat Ranna kikuk di tempatnya. Ah, lebih baik ia pergi saja. Toh, ia juga sudah mengucapkan terima kasih padanya.  Jadi tidak ada yang perlu ia lakukan lagi.
"Kalau gitu aku pergi dulu kak." Ranna sudah melangkahkan kakinya. Namun suara cowok itu menginterupsi dirinya. Menghentikan kakinya yang bersiap melangkah lagi.
"Tunggu."
Ranna mundur satu langkah lagi.
"Ada apa ya kak?"
Cowok itu menatap Ranna. Membuat Ranna seketika diam di tempatnya. Cowok itu diam beberapa detik. Sebelum akhirnya mengucapkan pertanyaan yang membuat Ranna tak percaya.
"Siapa nama lo?"
***

Book Comment (54)

  • avatar
    Mamakalling11

    1000

    23d

      0
  • avatar
    Gladis Anasa Gladis

    yee

    31/07

      0
  • avatar
    RiopratamaJudika

    gak ada

    12/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters