logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Calon Adik Baru

Seperti biasa setiap aku pulang terlambat pasti mbah kung marah. Tapi aku tidak ambil pusing, diam itu hal yang paling ampuh agar kemarahan mbah kung berhenti.
"Bukannya jawab malah tersenyum," tambah Mbah kung tapi dari suaranya sudah tidak semarah tadi.
"Sudahlah mbah, kamu itu orang naik sepeda kan emang lama. Apalagi cuaca panas seperti ini," bela Mbah Putri. "Sana ganti baju terus makan Rin!" tambah Mbah Putri lagi.
Selesai makan dan shalat aku menonton TV. Rutinitas setiap hari yang kadang menurut ku membosankan. Mau bermain ke rumah teman pasti nanti mbah kung marah marah lagi. Kan tidak baik buat kesehatan beliau.
Hari berganti hari kini tiba hari minggu dimana sekolah libur. Dan hari ini mbah Putri ngajak ke rumah ibu. Ya, kata si mbah ibu lagi tidak enak badan. Tidak hanya itu, aku juga ingin meminta uang untuk membayar iuran sekolah. Sudah tiga bulan aku telat bayar uang SPP dan besok hari terakhir untuk membayar. Dan jika aku tidak membayarnya maka aku tidak di izinkan untuk mengikuti ujian tengah semester.
"Ayo Rin, sudah siap belum?" tanya si mbah yang sudah siap.
"Ayo, mbah," jawabku seraya mengeluarkan sepeda motor mbah kung.
"Buah yang tadi di meja sudah kamu bawa?"
"Sudah kok mbah, sudah di dalam jok motor. Ada lagi tidak mbah?" Beliau menggeleng sebagai jawaban.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah baru Ibu. Setelah memarkirkan sepeda motor dan mengambil buah aku segera menyusul si mbah yang sudah masuk duluan.
"Assalamualaikum," salamku ketika masuk rumah. Buah yang tadi aku bawa aku taruh di meja makan.
"Ayah," sapaku ke Ayah Yogi dan mencium tangannya dengan takzim.
"Bawa apa tadi kamu Rin?" tanya ayah Yogi melihat ke kantong plastik di atas meja.
"Buah apel Yah, saya permisi lihat Ibu dulu ya Yah," pamitku dan ingin segera berlalu dari Ayah Yogi.
"Masukkan ke kulkas saja!" perintah beliau dan segera ak pindahkan ke dalam wadah buah yang aku bawa tadi untuk di masukkan ke dalam kulkas.
"Bu, bagaimana keadaanmu?" tanyaku setelah masuk kamar tak lupa aku mencium tangan beliau dengan takzim.
"Aku masih pusing dan mual. Tadi kada
Mbah mu, kalian bawa buah, mana?"
"Aku taruh di kulkas bu, ibu mau makan? Aku ambilkan dulu kalau begitu,"
"Sama buatkan teh juga, jangan yang manis!"
"Iya bu, tunggu sebentar bu,"
Selesai aku memotonh buah dan membuat teh hangat kini aku kembali ke kamar ibu. Dan dengan hati-hati aku taruh nampan yang berisi teh juga buah yang sudah aku potong-potong di atas nakas.
"Nana, kamu sudah periksa ke dokter? Kata dokter kamu sakit apa?" tanya mbah Putri dan kini aku yang berganti memijit kaki beliau.
"Sudah Bu, tidak perlu cemas. Kata dokter aku hamil, jadi wajar kalau aku pusing dan mual,"
"Kamu hamil? Alhamdulillah... kata dokter berapa minggu? Kamu harus jaga kondisi dan kandunganmu. Jangan capek-capek kalau gitu,"
"Tentu itu Bu, Mas Yogi juga sangat perhatian kok dia tidak mengizinkan ku untuk bekerja yang berat. Ibu kesini kok tumben bawa bawa. Ada apa?"
"Bukan ibu yang beli, tapi Karina yang membelikan itu buat kamu. Dia khawatir karena dengar kamu sakit. Katanya juga ada yang ingin dia sampaikan,"
"Ah.. masak Rina, ibu jangan bohong. Darimana juga dia dapat uang?"
"Iya bu, mbah bohong. Aku yang beli tapi pakai uangnya si mbah," ucapku berbohong karena buah itu aku beli dari uang jajan ku.
"Itu baru aku percaya, terus kamu mau ngomong apa?"
"Emmm... Bu, kemarin aku di panggil BP karena belum bayar SPP. Dan katanya kalau besok aku tidak bayar aku tidak boleh mengikuti ujian tengah semester,"
"Berapa bulan?" ucap Ibu dingin.
"Tiga bulan Bu, kan ibu belum memberiku uang selama tiga bulan,"
"Hmm, nanti aku bilang ke Mas Yogi. Kalau dia ada uang nanti aku kabari, kalau tidak ada ya minta sama mbah mu dulu," kata Ibu santai.
"Ibu juga tidak ada uang Na, kalau ada tidak usah aku suruh Rina minta kamu," sahut Si mbah yang memang tidak punya uang.
Sebenarnya aku ada tabungan tapi hanya cukup untuk membayar satu bulan. Terus kalau ibu juga tidak ada uang aku harus cari kemana?
Ibu keluar kamar, dan menemui ayah Yogi sepertinya beliau ingin memberitahu beliau tentang uang iuranku.
"Riiiiin...!" teriak Ibu.
Aku yang duduk di ruang tamu sama mbah Putri ssgera menemui ibu dan ayah sambungku di belakang.
"Iya bu,"
"Aku akan ngasih uang iuran itu. Tapi dengan syarat," ujar Ayah Yogi yang terlihat tidak suka.
"Apa syaratnya Yah?"
"Selama tiga bulan kamu harus bantu aku memgurus kambing kambing ini. Bagaimana bisa?"
"Tapi..."
"Kalau tidak mau ya sudah, sana minta ayah kandung mu. Aku kan tidak wajib membiayai kamu. Lagian juga ibu kamu lagi hamil, kami butuh tabungan untuk biaya persalinannya,"
"Baik Yah, aku akan membantu ayah. Asal aku bisa membayar uang SPP dan mengikuti ujian,"
"Bagus kalau gitu, tiap pagi kamu harus kesini sebelum berangkat sekolah dan sore setelah pulang sekolah. Tapi aku tidak ingin kamu tinggal di sini, mengerti?"
"Iya Yah, mulai besok aku akan kesini sebelum berangkat sekolah. Kalau begitu aku pamit pulang dulu. Sekali lagi terimakasih yah, sudah mau memberi aku uang untuk membayar iuran," kataku dan meninggalkan mereka setelah mencium kedua tangan orang tuaku.
Ku hampiri mbah Putri yang masih duduk di teras. Ternyata beliau lagi mengobrol sama ibunya Ayah Yogi. Setelah berpamitan dengan beliau aku mengajak mbah Putri pulang.
"Gimana tadi Rin, ayah Yogi mau memberi uang?" kata mbah Putri seakan tau kalau mereka sulit untuk memberiku uang.
"Dikasih tapi besok mbah,"
"Mau diantar ke rumah?" Aku menggeleng sebagian jawaban. Kini aku bingung bagaimana caranya menyampaikan apa yang diminta Ayah Yogi tadi.
"Terus? Mau diantar ke sekolah langsung?" Lagi-lagi aku menggeleng sebagai jawaban.
"Besok aku ke rumah beliau mbah, buat ambil uang sekalian bantu bantu ibu,"
Mbah Putri kaget mendengar penuturanku, beliau tidak menyangka mereka akan tega. Tapi detik kemudian mbah menguatkan agar aku sabar dan mendoakan mereka agar bisa menyayangiku suatu saat nanti.
Malam telah berganti, suara adzan subuh pun sudah berkumandang. Segera aku bangun shalat subuh dan membersihkan rumah. Aku hanya menyapu bagian dalam dan luar rumah. Jam masih menunjukkan pukul 04.45 segera aku berpamitan pada mbah Putri untuk pergi ke rumah ibu. Ya untuk mempersingkat waktu aku naik motor.
"Assalamualaikum," ucapku saat melihat rumah ibu yang masih tertutup rapat. Tak lama kemudian pintu di buka.
"Waalaikumsalam, sudah datang saja. Sana langsung bersihkan rumah dulu baru bersihkan kandang!" kata Ayah Yogi dengan mata yang masih mengantuk.
Tanpa menunggu waktu lama aku segera melakukan semua pekerjaan ku. Pukul 05.45 semua sudah selesai.
"Bu, aku pamit pulang dulu," Pamitku sambil menunggu ayah memberikan uang SPP yang telah dijanjikan kemarin. Tapi beliau masih asyik main game, apa ayah lupa atau pura-pura lupa?

Book Comment (118)

  • avatar
    JoniWar

    bacaanya mantap

    6d

      0
  • avatar
    fikriansyah anggaraAngga

    cerita nya bagus

    21d

      0
  • avatar
    AmaliaYamizatul

    Bagus ceritanya kak

    23d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters