logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 6

Aldo berusaha sekuat tenaga untuk menggandeng tangan Aarav dan membawanya tepat ke rumah. Di sana, dia segera mengetuk pintu.
Ana yang mendengar suara ketukan pintu itupun bangkit dari duduknya dan segera membuka pintu. Dia terkejut melihat Aarav dalam keadaan tidak sadarkan diri bersama Aldo.
"Apa yang terjadi pada nya?" tanya Ana sambil menatap Aldo.
Aldo hanya diam. Dia menggaruk pelan kepalanya kemudian menjawab, "Aarav mabuk, Bi. Dia habis meminum banyak."
Ana mengangguk pelan. Dia meminta tolong pada Aldo untuk membawa Aarav ke kamarnya karena dia tidak kuat memapah tubuhnya, sedangkan di sini sudah tidak ada orang lagi, ada yang tertidur, dan ada juga yang pergi. Hanya Ana lah yang ada di sini dan masih terjaga.
Setelah selesai membaringkan Aarav di ranjang, Aldo pun berjalan keluar kamarnya.
Ana tersenyum menatap Aldo.
"Makasih ya, Nak. Kamu baik banget udah mau nolongin Aarav," ucap Ana.
Aldo tersenyum kecil.
"Hehehe, biasa aja, Bi. Namanya juga temen. Oh ya, saya pulang dulu ya, Bi," pamit Aldo.
Ana tersenyum mengangguk.
"Iya, hati-hatilah di jalan.''
Aldo hanya diam dan mengangguk pelan. Dia lalu beranjak pergi dari rumah Aarav dan pulang ke rumahnya.
Meski pun Aldo kadang sempat cemburu pada Aarav karena melihat Tiara yang lebih mencintai Aarav daripada dia, namun baginya, Aarav sudah seperti saudaranya. Entah dia yang dicintai Tiara, atau bukan, itu akan tetap sama saja. Tidak ada yang lebih penting daripada melihat sahabatnya bahagia, sekalipun dengan cara yang menyakitkan seperti ini, mengorbankan cintanya.
Aldo mengembuskan napasnya berat, dia kembali melanjutkan perjalanannya.
***
Aarav masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Dia terus saja mengigau dan menangis sesenggukan.
Di sisi lain, Angga sedang ingin pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Saat dia akan kembali ke kamarnya, tiba-tiba dia mendengar suara.
"Mama? Papa? Kalian di mana? Aarav rindu kita yang dulu, hiks," ucap Aarav sambil meneteskan air matanya.
Diam-diam, Angga yang mendengar igauan Aarav dari balik pintu itupun merasa sedih. Dia juga ikut meneteskan air mata dan membuka pintu kamar.
Dengan pelan-pelan, Angga berjalan menghampirinya Aarav dan duduk di sampingnya. Dia lalu memegang dahi Aarav. Tubuhnya terasa panas sekali.
Angga menatap Aarav sekilas, kemudian beranjak pergi untuk membawa kompres dan menaruhnya di dahi Aarav untuk meredakan demamnya.
Aarav yang merasakan sesuatu di dahi nya, mengerutkan keningnya. Dia menggerak-gerakkan katup matanya berulang dan membuka mata secara perlahan.
Deg
Aarav terkejut melihat ayahnya ada di depannya. Dia menatap pria yang ada di depannya saat ini dengan tajam. Matanya memerah karena terus menangis, ditambah lagi dia habis minum.
"Kamu baik-baik saja kan' Sayang? Papa lihat daritadi kamu marah terus, ada masalah apa?" tanya Angga ramah berusaha menenangkan putranya.
Bukannya jawaban yang dia dapat, Aarav justru diam dan menatap Angga kesal. Matanya menjadi berkaca-kaca.
"Papa? Aarav kangen Mama. Kenapa sekarang Mama gak pernah pulang? Kenapa Papa gak pernah jemput Mama? Aarav sedih, Aarav kangen sama ... Mama, Papa. Tapi ... Papa sama Mama sudah berubah, gak pernah peduli sama Aarav. Aarav benci kalian," ucap Aarav dengan nada pelan namun tajam sambil menangis, membuat hati Angga tertusuk mendengarnya.
Angga meneteskan air matanya dan mengusapnya. Dia memegang pipi Aarav.
"Kamu jangan salah paham, Sayang. Papa masih peduli dan sangat menyayangi kamu," ucap Angga. Aarav hanya diam. Dia terus meneteskan air matanya kemudian tanpa sadar memejamkan mata dan tertidur di pangkuan Angga.
Angga yang melihat hal itu langsung membaringkan Aarav di ranjang dan tersebut kecil menatap sang putra. Tangannya membelai rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Beberapa waktu berlalu, Angga memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul 1 malam. Dia pun memutuskan untuk pergi dari kamar Aarav dan segera tidur.
***
Aarav terbangun dari tidurnya. Dia memegangi kepalanya yang terasa sakit sambil mengerutkan keningnya. Matanya melihat sekeliling ruangan sambil berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi tadi malam, tapi tak bisa.
Beberapa saat Aarav terdiam dalam lamunannya hingga suara alarm di sampingnya membuatnya menjadi kaget dan sadar.
Aarav lalu beranjak dari tidurnya dan segera keluar kamar.
Angga duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Dia menoleh dan tersenyum melihat Aarav.
"Selamat pagi. Kau mau kemana?"
"Keluar sebentar, Pa."
"Mau Papa antar?" Aarav memandangi ayahnya itu dengan kesal. Dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Gak usah. Aarav bisa sendiri," tolak Aarav kemudian pergi meninggalkan Angga begitu saja. Sedangkan Angga yang melihat sikapnya hanya bisa diam dan menggelengkan kepalanya. Dia kembali membaca korannya tersebut.
-----
Keesokan harinya, Angga berdiri di dapur sambil tersenyum melihat sekeliling ruangan. Tanpa sadar pikirannya tertuju akan sebuah meja dan sebuah kenangan akan masalalu kini kembali menghiasi kesunyian ini.
Dia melangkahkan kakinya menuju ke meja makan sambil terus mengingat istrinya dulu.
#Flashback
Vira sedang memasak makanan di dapur. Aroma bumbunya yang sedap itu begitu merasuk ke dalam supnya, dan membuat Angga tengah sibuk bekerja itupun menjadi tidak fokus gara-gara makanan.
Karena penasaran, dia pun berjalan mendekati arah aroma tersebut dan menemukan istrinya sedang memasak. Sambil tersenyum menatapnya, dia berjalan menghampiri Vira kemudian memeluknya dengan penuh cinta.
Vira tersenyum kecil. Dia berusaha menyingkirkan tangan pria tersebut, tapi sayangnya tidak berhasil. Sang suami justru semakin mempererat pelukannya, membuatnya tak nyaman karena sedikit mengganggu memasak.
Dia menolehkan kepalanya dan menatap Angga.
"Lepasin. Aku mau masak," pintanya. Tapi Angga menggeleng.
"Tidak bisa."
"Aku mohon. Nanti kalau makanannya tidak enak bagaimana?"
Angga tertawa kecil.
"Ya kalau tidak enak, itu bukan masalah. Kita kan bisa pergi ke restoran untuk beli makan?" usul Angga.
Vira menunduk. Dia kecewa mendengar perkataan Angga.
Melihat kesedihan di mata sang istri, Angga tertawa.
"Hei, kenapa sedih? Aku kan cuma bercanda. Kalaupun nanti makanannya tidak enak, aku juga akan tetap suka. Apa sih yang gak buat istriku ini?" ucap Angga mulai membucin.
Vira tersenyum kecil.
"Sudah-sudah. Aku ingin memasak," ujar Vira berusaha meminta Angga untuk pergi.
"Daripada aku di sana sibuk dengan perkejaanku yang hampir melelahkan, lebih baik aku di sini saja sambil menemani kamu!" Angga mengambil sebuah kursi dan duduk di samping istrinya yang sedang memasak sup itu.
Sedangkan Vira hanya diam dan tersenyum kecil. Dia lalu melanjutkan masaknya.
#flashback off
Angga tersenyum kecil. Tiba-tiba suara ponsel di sakunya membuatnya kaget dan tersadar dari lamunannya. Dia pun mengambil ponselnya dan mengangkat teleponnya.
"Iya, Pak. Aku akan datang," ujarnya lalu pergi dari dapur dan bergegas ke kantor.
***
Seorang gadis cantik terbangun dari tidurnya. Dia merenggangkan kedua tangannya dan menguap, tanda sedikit mengantuk. Dengan sedikit lesu, dia beranjak dari ranjangnya dan pergi keluar kamar untuk mengambil makanan. Andai kalau dia tak lapar seperti ini, tak mungkin dia mau bangun sepagi ini seperti biasa.
Di meja makan, gadis itu terkejut karena tak melihat makanan sama sekali. Sorot matanya berusaha mencari bungkusan makanan yang ada di sana, tapi tak kunjung ketemu.
"Ma ... Makanannya di mana? Aku lapar," ujar gadis itu sambil memegangi perutnya.
Mendengar keluhan sang anak, wanita paruh baya itu hanya diam dan tersenyum kecil.
"Maaf, Nak. Mama belum sempat masak tadi. Beras habis, Mama juga lagi gak enak badan, kamu makan di luar aja ya," sahut sang ibu dengan suara sedikit serak.
Gadis itu yang melihat wajah ibunya pucat segera berlari menghampirinya dan menolongnya dengan membawa sang ibu berbaring di ranjang. Dia memegangi dahinya yang terasa panas kemudian mengambil kompres untuk mendinginkan sekaligus meredakan demamnya.
Dia mengerutkan keningnya dan menatap ibunya cemas.
"Ma, kalau Mama tadi sakit, kenapa tidak bilang sama aku? Aku kan bisa masak buat Mama," tegur gadis itu.
Sang ibu hanya diam dan tersenyum kecil.
"Ibu tadi gak sempet bangunin kamu, kepala ibu udah terburu sakit. Ohya, daripada kamu masak, itu beras juga sudah habis. Lebih baik kamu beli makanan saja di warung, Mama juga sudah lapar sekali.."
Gadis itu tersenyum mengangguk.
"Baik, kalau itu mau Mama. Sebentar, Reina pergi dulu ya, Ma," pamit Reina pada ibunya.
Dia lalu beranjak meninggalkan sang ibu di kamar sambil mengeluarkan sepedanya untuk pergi ke warung dan membeli makanan.
Udara pagi ini terasa sejuk dan dingin. Reina mengayuh sepedanya sambil tersenyum memandangi bunga-bunga yang ada di taman.
Di tengah jalan, saat sedang asyik bersepeda, tiba-tiba ada sebuah mobil melaju kencang dan tidak sengaja menabraknya membuatku terjatuh dari sepeda.
Reina memegangi lututnya. Dia menolehkan kepalanya berusaha mencari seseorang yang baru saja melukainya seperti ini. Tapi tak menemukannya sama sekali.
***
Aarav turun dari mobil. Dia bergegas menghampiri Reina dan berusaha memastikan keadaannya.
"Kau baik-baik saja? Maaf aku tadi tidak sengaja," ucap Aarav.
Reina menatap Aarav kesal.
"Jadi Anda yang menabrak saya hingga terluka seperti ini?" Aarav menunduk.
"Dengar, aku minta maaf. Aku juga bilang, ini cuma kecelakaan biasa. Tolong jangan salah paham. Kalau aku tahu ada orang di sini, tidak mungkin aku menabraknya dengan sengaja..." jelas Aarav. Reina memutar bola matanya malas.
Karena cemas, Aarav berjalan menghampiri Reina dan berlutut di sampingnya. Dia memeriksa keadaan gadis itu di tangan, kaki, namun tak menemukan luka sama sekali.
Aarav menatap Reina sambil tersenyum.
"Tenang saja. Tidak ada luka sama sekali."
"Jelas saya terluka. Kalau bukan diluar, pasti di dalam."
Aarav mengalihkan pandangannya. Dia menatap sekelilingnya kemudian melihat arlojinya yang menunjukkan pukul 08.00 WIB, membuatnya semakin cemas saat tahu ia terlambat sekolah.
Tangannya merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan dompetnya kemudian mengambil uang dan memberikannya pada Reina.
Reina menatap yang diberikan Aarav sambil mengerutkan keningnya.
"Apa ini?"
"Dengar, aku mungkin tidak bisa menolongmu dengan membawaku ke rumah sakit. Jadi tolong terima ini, anggap uang ini sebagai permintaan maafku."
"Tapi?"
"Sudah cukup. Aku sudah terlambat, kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku," ujar Aarav kemudian pergi meninggalkan Reina begitu saja.
Reina yang melihat kepergian Aarav menjadi kesal. Dia mengembuskan napas, berusaha menenangkan diri kemudian bangkit dari duduknya sambil kembali mengayuh sepedanya meski dengan sedikit rasa sakit yang ada di kakinya.

Book Comment (34)

  • avatar
    Nia Fitriyani

    semakin penasaran untuk membacanya

    12d

      0
  • avatar
    WisnonoAgus

    cerita yang seru

    16d

      0
  • avatar
    RusmiyatiFransisca

    bagus

    04/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters