logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Skandal Prima

Anneke melempar tasnya dan duduk di sofa sambil menguraikan rambutnya yang terikat pita.
Dia memeriksa ponselnya dan mengecek pesan masuk. Ada sekitar lima puluh pesan wa yang belum dia balas.
Hembusan angin malam terasa karena dia sengaja membuka jendela kamar. Dia menggulir beberapa nomor kontak yang dia akan pilih untuk dibalas terlebih dahulu.
Matanya menangkap nomor asing. Ternyata Arfan sang supir mengirimnya pesan.
"Neng Anneke saya perlu bicara tapi tidak di sini, kalau berkenan."
Gadis itu mendengus, lalu tertawa sendiri. Dia belum juga mau membalas.
"Dia mau bicara apa?" batinnya sambil memencet tombol angka.
Kemudian dia langsung menelepon supirnya itu.
"Assalamu'alaikum, kenapa Mas?"
"Eh, Wa'alaikumsalam, ada hal penting dan saya sekarang sudah enggak kerja lagi."
"Tunggu, maksudnya Mas Arfan udah keluar?"
"Iya, saya keluar karena saya dicurigai membeberkan rahasia."
"Baiklah, besok kita ketemu di mana?"
"Di cafe seberang kompleks saja kalau terlalu jauh enggak enak, nanti orang rumah curiga."
"Ya sudah besok aku ke sana jam sepuluh pagi."
Sambungan terhenti, terdengar ketukan pintu dan Anneke segera membukanya.
Prima memberikan kotak berpita pada anak tirinya itu.
"Apa ini, Tante?"
Prima yang sudah tersenyum tiba-tiba terdiam. Anneke lalu membukanya.
Sebuah sepatu kets berwarna coklat muda.
"Terima kasih, Tante." ucapnya datar.
"Apakah kamu suka?"
"Ya, aku suka."
"Aku enggak kamu suruh masuk?"
"Oh, iya maaf, masuklah Tante."
Meskipun sedikit jengkel, wanita itu berusaha mengalah dan dia duduk di sofa empuknya.
"Kenapa kamu pulang lebih awal, padahal acaranya sampai setengah sepuluh 'kan?"
"Aku enggak terlalu suka berlama-lama di pesta apalagi malam hari."
"Baiklah, kalau begitu istirahatlah, aku keluar deh."
Anneke tersenyum dan kemudian menutup pintu lalu menguncinya.
Prima berbalik dan tersenyum sinis.
"Gadis tidak tahu diri, huhft!"
*****
Keesokan paginya dia sarapan bersama Prima dan Ayahnya.
Setelah itu dia membaca novel di halaman belakang dan memeriksa apakah benar yang dikatakan Arfan, supirnya itu bahwa dia telah dipecat.
Setelah wanita itu dan Ayahnya berangkat dia menghampiri pos satpam hendak menanyakan kebenaran itu.
Woko si satpam tengah menyesap rokoknya sambil melihat berita di televisi.
"Pak Woko, Mas Arfan mana?"
Woko terkejut lalu segera mematikan rokoknya yang hampir setengah.
"Eh, Neng Anneke, Mas Arfan dipecat kemarin sore. Tapi masih disuruh nganterin Neng terakhir kalinya."
"Kenapa emangnya apa dia buat masalah?"
"Kata Bu Prima sih dia ketahuan ngambil uang yang ada di dasboard, seratus ribu. Tapi maaf ya Neng, saya enggak percaya kalau Arfan berani mengambil, eh jangan bilang ibu Prima ya?!"
"Tenang saja, kalau begitu nanti tolong antar saya menemui Mas Arfan di cafe seberang.
Tapi tidak boleh kasih tahu siapa pun."
"Eh, i-iya, Neng beres."
*****
Pukul sepuluh lewat lima, mereka bertiga duduk di cafe.
"Loh, Pak Woko ikut?"
Anneke menjelaskan pada Arfan mengenai ikut sertanya Pak Woko.
"Jadi ini rahasia kita bertiga." ucap Anneke serius.
Woko dan Arfan mengangguk.
Arfan menceritakan peristiwa yang dilihatnya saat di Bogor, dan hal itu membuat wanita itu merasa takut diadukan.
"Baiklah, Mas Arfan semoga keadaan ini bisa berubah untuk sementara aku akan tetap mengawasi Tante Prima, kalau memang benar seperti itu suatu saat tanpa aku cerita pasti Ayah akan tahu."
"Ya, Neng, hati-hati saja. Saya bukan tidak terima dipecat tapi saya tidak terima dituduh mencuri."
"Iya, aku juga tidak percaya, lagi pula Mas Arfan sudah lama kerja di sini aku tahu kok."
"Ya sudah sebaiknya Pak Woko dan Neng Anneke segera pulang takutnya nanti dicurigai ada sesuatu."
"Iya, kebetulan Tante dan Ayah sedang ke kantor jadi kami leluasa pergi. Okay Mas kami pulang dulu. Semoga dapat pekerjaan lain."
"Ya, makasih Neng."
****
Menjelang siang Anneke tidak makan siang karena dia terbiasa makan jika benar-benar lapar.
Asisten rumah tangganya mengetuk pintu dan menyuruhnya untuk makan.
Gadis itu berjalan gontai dan membuka pintu.
"Aku belum lapar."
"Ya sudah, kalau begitu Bibi mau tidur ya, Neng?!"
"Ya Bibi istirahat aja."
Wanita berusia lima puluh tahun itu tersenyum dan kembali ke kamarnya.
****
Johan menikmati makan malamnya bersama Prima dan Anneke.
"Besok aku enggak pulang, oh ya sudah dibuat selebaran buat supir baru jadi kalau ada yang datang biar Pak Woko yang terima saja ya, sayang?!"
"Iya tapi pastikan yang jujur jangan kayak si Arfan enggak bisa dipercaya."
"Iya, tenang saja beres. Lebih baik kamu shopping aja sama Anneke."
Anneke yang sedang mengunyah hampir saja tersedak. Dia buru-buru meraih gelasnya.
Prima tersenyum lalu menyendok lagi makanan.
Anneke kembali ke kamarnya dan menghubungi Lilian. Lilian segera menemui tetangganya.
"Annek, kok aku lihat di depan kamu sedang cari supir, Mas Arfan keluar?"
"Dia dipecat sama Tante Prima."
"What? Kok bisa?"
"Dia dituduh mencuri. That's all."
Lilian memonyongkan bibirnya.
"Kok bisa dia mencuri? Emang berapa uang yang dicuri?"
"Seratus!"
"Seratus juta?"
"Nop, seratus rebu euy!"
"Haaa ..., cuma segitu bisa dipecat?"
"Ya kalau seratus juta bisa masuk penjara!"
"Wait, aku tahu mencuri itu salah, tapi aku kok kagak percaya begitu saja?"
Anneke mengetik dalam ponsel kemudian menyerahkannya pada Lilian.
"Oh ya Tuhan, sudah kuduga, ini hanya pengalihan isu!"
"Hahaha, Lili, kamu kebanyakan nonton berita politik, ngomongmu!"
"Hahaha, tapi ngomong-ngomong tumben nadamu naik terus Nona muda."
"Hehe, maaf terbawa suasana."
"Oh, ya mau daftar kuliah di mana?"
"Kemarin aku daftar di Universitas di Jakarta."
"Kenapa enggak di sini?"
"Enggak ah, lagi pula dekat bisa pulang juga hari Minggunya."
"Iya sih, tapi aku nanti aku enggak ada teman."
"Biasakan sendiri, nanti mati juga kita sendirian."
"Idih, ngomongnya kok gitu sih!"
"Haha, emang bener 'kan mati sendirian enggak ngegrup 'kan?"
"Huss, kamu ini, eh kita jalan-jalan Yuk, besok kita nge mall atau nonton ke bioskop."
"Hayuk, okay jam berapa?"
"Jam sepuluh aja biar enggak kemalaman kita pulangnya."
"Okay, ayo kita let's go deh."
****
Lilian kembali ke rumahnya saat orang tua Anneke pulang.
Sementara itu seorang pria asing melihat selebaran yang tertempel di tembok rumah Anneke.
Dia memperhatikan sekelilingnya lalu menyalakan kendaraannya. Sebuah mobil mini van bercat hitam melaju meninggalkan kompleks perumahan itu.
Sementara itu Prima berbicara dengan suaminya dan meminta izin untuk pergi ke Bogor. Anneke akan mengetuk pintu tapi saat mendengar pembicaan wanita itu dia mengurungkan niatnya.
Wanita cantik mengaku ingin menemui kedua orang tuanya. Karena tidak sempat bertemu saat mengunjungi pesta pernikahan sepupunya tempo hari.
"Lagi pula ayah dan ibu sudah tua, jadi biar aku yang ke sana ya, sayang?"
"Terserah kamu saja, tolong pijitin kakiku nih, pegal."
"Iya, makanya kalau kerja jangan terlalu capek, duduk terus juga enggak bagus."
"Ini juga buat kamu, supaya kamu bisa nyalon terus shopping."
Wanita itu tertawa dan mencium pipi suaminya. Lelaki itu terbahak-bahak karena istrinya menggelitik perutnya.
****
Anneke ke bawah untuk minum segelas susu hangat buatan Bi Dinah. Wanita tua itu melayani dengan baik anak majikannya, itu sebabnya Anneke sangat menyayangi asisten rumah tangga yang sudah bekerja saat dirinya kecil itu. Gadis itu senantiasa memberi hadiah padanya saat hari kelahirannya. Hal tersebut membuat ikatan erat pada keduanya.

Book Comment (91)

  • avatar
    Sahata Patio

    Good story :)

    8d

      0
  • avatar
    AchmadiBudi

    saya senang ini

    21d

      0
  • avatar
    SyuhadahSyuhada

    Wow

    13/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters