logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 LUKA ANTIK

Siang itu, sepulang sekolah. Antik dan beberapa guru berjalan ke arah parkir kendaraan mereka. Mereka bercerita dan bercanda satu sama lain.
“Hari Sabtu jadi kan?” Tanya Bu Katiya antusias. “ Aku lagi boring di rumah. Suamiku ke luar kota terus. Bête di rumah sendirian.” Ucapnya sedih.
“Jadi dong. Kita me time bareng. Bagaimana ibu-ibu yang lain?” Tanya Antik.
“Aku mau nitipin anak aku ke eyangnya dulu. Habis itu aku nyusul deh.” Jawab Bu Mei. Dia juga sudah lama ingin jalan-jalan tanpa ketiga anaknya yang terasa merepotkan.
“Asyik. Rame-rame nih.” Kata Bu Katiya.
“Iya. Mumpung tanggal muda.” Jawab Bu Mei.
“Ayo bu, pada ikut. Asyik lo, bareng-bareng sekali-kali.” Antik mengajak guru-guru yang lain.
“Maaf, aku pengen ikut tapi suamiku kalau Hari Sabtu libur. Enggak bisa kemana-mana tanpanya.” Jawab Bu Farida.
“Aku udah janji sama anak-anak mau ke rumah neneknya. Maaf ya.” Jawab Bu Eno.
“Ya udah kita bertiga aja.” Ucap Antik semangat.
“Siapa itu?” Tanya Bu Mei. “Kayaknya terlalu muda untuk seorang wali murid deh.” Bu Mei menunjuk ke arah halaman parkir.
Semua mata tertuju pada lelaki yang baru turun dari mobilnya. Lelaki dengan postur tinggi tegap, atletis, badan mirip sugar dady. Lelaki itu melepas kaca mata hitamnya dengan elegan, pandangannya menyapu halaman sekolah, mencari sosok yang dia harapkan.
Antik mendelik terkejut. Dilihatnya Novan berjalan ke arah mereka. Senyumnya merekah saat melihat Antik, namun dia berusaha jaga image di dalam lingkungan sekolah Rosa.
“Dia temen aku, bentar ya.” Antik segera berlari ke arah Novan. Wajahnya tampak sangat sumringah.
“Ngapain kamu kesini? Mau jemput aku? Kok enggak bilang? Aku kan bawa mobil.” Tanya Antik sambil tersenyum manja. Tidak biasanya Novan memberinya kejutan seperti ini.
“Aku mau jemput Rosa. Kamu bawa mobil, kan?” Jawab Novan sambil berjalan ke arah Rosa yang baru keluar dari kantor.
Novan tidak ingin menjatuhkan harga diri yang dia jaga di hadapan Rosa. Dia ingin mendapat nilai plus dari Rosa. Gadis pujaannnya.
Antik melihat punggung Novan yang kokoh berjalan melewatinya.
“Udah lama nunggunya? Aku beres-beres berkas dulu, maaf ya.” Tanya Rosa pada Novan.
“Enggak, baru sampai kok. Yuk.” Novan membawakan tas jinjing yang berisi berkas milik Rosa. Rosa mengikuti Novan dan naik ke mobil Novan.
“Saya duluan ya.” Ucap Rosa berpamitan.
Antik syock dengan jawaban Novan. “Jemput Rosa? Kok bisa? Bukankah mereka tidak saling kenal? Bukankah waktu itu aku tidak memperkenalkan mereka? Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Novan jemput Rosa? Sejak kapan mereka kenal?” Antik bertanya-tanya dalam hati.
“Siapa sih itu? Pacar Bu Rosa ya?” Tanya Bu Mei pada Antik yang membuat Antik semakin kesal.
“Katanya temen Bu Antik? Kok sama Bu Rosa?” Tanya Bu Katiya.
“Nggak tahu.” Jawab Antik kesal. Perasaannya campur aduk menjadi satu. Rasa bencinya kepada Rosa semakin besar. Tidak di tempat kerja, tidak dalam hubungan asmara, Rosa selalu mengunggulinya. Gayanya yang sok baik tapi sebenarnya sangat licik itu membuat Antik merasa sangat muak.
Rosa melewati Antik dan guru-guru yang lain dengan senyum manisnya membuat Antik semakin kesal.
Antik masuk ke dalam mobilnya dan menangis histeris. Apa hubungan mereka berdua. Kenapa mereka seolah sudah mengenal lama. Antik berteriak marah. Melempar tas yang sejak tadi ditentengnya.
“Dasar jalang. Sok alim tapi hatinya busuk. Bisa-bisanya dia tebar pesona sama Novan. Pasti cuma mau hartanya saja. Kenapa harus Novan? Kenapa bukan lelaki lain. Kenapa harus merebut lelakiku juga?” Antik mengumpat sepuasnya. Dia memukul-mukul setir mobilnya dengan keras hingga tak sengaja membunyikan klakson. Air matanya deras mengalir. Dia menjerit marah. Kenapa harus Rosa yang dipilih Novan?
“Awas aja. Aku akan hancurkan kalian. Kalian enggak boleh lebih bahagia dari aku. Dan kamu Rosa, kamu akan merasakan penderitaan tiada akhir. Aku akan pastikan itu. Kamu sedang menjemput neraka dengan kedua tanganmu.” Ancam Antik. “Ingat ya Novan, kalau aku tidak bisa memilikimu, aku tidak akan biarkan siapapun memilikimu.”
Antik melajukan mobilnya dengan kencang penuh emosi. Dia menangis dan berteriak sepanjang jalan. Kemarahan yang selama ini dia tahan semakin membuncah. Tangisnya semakin pecah.
Sesampai di rumah, Antik masih tampak kesal. Dia menunggu Novan dan hendak meminta penjelasan. Sejak kapan mereka saling kenal? Bagaimana bisa Novan menjemput Rosa di sekolah? Seberapa dekat hubungan mereka? Kenapa mereka tidak memberitahunya kalau mereka saling kenal? Apa hubungan mereka? Kenapa harus Rosa? Kenapa bukan dirinya? Apa kurangnya dirinya disbanding Rosa? Apakah perasaan Rosa melebihi perasaannya? Berbagai pertanyaan sudah Antik siapkan di kepalanya. Namun Novan belum tampak pulang.
Antik mondar mandir di dalam kamarnya, sesekali dia melongok ke arah rumah mewah di seberang rumahnya. Dia menggigit kasar kuku-kuku tangannya, dia terlihat sangat cemas.
Antik tidak ikhlas Novan bersama perempuan lain, apalagi perempuan itu adalah Rosa. Meski tidak begitu mengenal Rosa, Antik tidak menyukainya. Dia bahkan membencinya setiap kali mendengar nama itu.
“Mbaaaaaak.” Antik berteriak dari dalam kamarnya.
Pembantu yang sudah ikut dengan keluarganya dua tahun ini tampak lari tergopoh-gopoh.
“Iya, Non.” Dia melongok masuk ke kamar anak dari majikannya.
“Buatin spageti pakai beef sama keju sekarang.” Ucap Antik kasar.
“Iya, Non.” Jawab Mbak Idah pembantu Antik.
“Nggak pake lama.” Antik semakin teriak.
“Iya, iya, Non.” Mbak Idah berlari dari kamar Antik menuju dapur. Dengan sigap dia memasak spageti pesanan putri majikannya.
Usia Mbak Idah baru 17 tahun saat dia mulai bekerja di rumah keluarga Antik. Meskipun masih muda, dia sangat tekun dan tidak bermalas-malasan.
Dia sudah terbiasa dengan perangai majikan dan anak-anaknya. Dia juga sudah sangat maklum dengan sikap putri bungsu majikannya yang manja dan suka berteriak seperti ini. Meskipun jauh lebih muda dari Antik, dia tetap harus faham dan sabra menghadapinya.
“Ini, Non, spagetinya.” Mbak Idah menyerahkan piring penuh spageti dengan topping beef dan keju melimpah dan sangat menggoda.
Mbak Idah memang sudah banyak kemajuan. Dia belajar banyak makanan kesukaan keluarga majikannya. Dulu Mbak Idah yang hanya bisa memasak masakan desa, sekarang masakan khas berbagai negara dan makanan kekinian sudah mulai dia kuasai.
Antik menyumpit spageti dengan kasar. Hatinya terasa teriris-iris sakit sekali. Lalu tiba-tiba menangis keras hingga membuat Mbak Idah berlari ke kamarnya.
“Ada apa, Non? Ada yang salah sama rasanya? Enggak enak? Aneh?” Tanya Mbak idah khawatir.
“Pahiiiit.” Kata Antik sambil menangis keras. Diusapnya air mata yang menetes di pipinya.
“Kok pahit?” Mbak Idah mengingat-ingat bahan-bahan yang dia gunakan tadi. Bahannya masih baru, belum kadaluarsa. Tidak ada bahan yang membuat rasanya menjadi pahit.
Namun Antik semakin keras menangis.
“Saya ganti yang baru ya, Non.” Kata Mbak Idah ketakutan.
Namun Antik menggeleng dan menangis lagi dengan lebih keras.
Mbak Idah mulai faham, bahwa kesalahan bukan pada rasa spageti yang dia sajikan, namun perasaan putri majikannya yang sedang tidak baik-baik saja.
“Saya permisi, Non.” Mbak Idah berjalan menuju dapur, membiarkan anak majikannya menangis keras. Dia seolah tidak mendengar supaya tidak menambah kemarahannya.

Book Comment (159)

  • avatar
    Raden Ardy Isa Wisastra

    Bagus

    4d

      0
  • avatar
    Grant Mode

    mendapat kan diamon ff secara gratis

    7d

      0
  • avatar
    Muh Rifky Ananda Syafutra

    Menarik!

    8d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters