logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 KONDISI ROSA

Rosa terkejut melihat rumahnya tampak ramai. Sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. Para tetangganya tampak ngobrol di depan rumahnya.
“Cha, sini.” Mirna memanggil Rosa yang baru pulang mengajar.
“Dari kemarin ada mobil bagus kesini. Emang mereka siapa?” Tanya Fatim.
“Enggak tahu, Bu. Saya saja baru pulang.” Jawab Rosa. “Saya permisi.”
Rosa menghindari ibu-ibu yang suka rumpi dan bergosip di depan rumah. Semua tetangga pasti akan menjadi bahan rumpi mereka.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Rosa pelan. Dia sengaja masuk lewat pintu belakang. Lalu dia masuk ke kamarnya untuk berganti baju.
Tiba-tiba ibunya masuk ke kamarnya.
“Cha, ada yang nyariin kamu.” Kata ibunya.
“Siapa?” Tanya Rosa bingung.
“Temen kamu sama keluarganya. Ternyata papanya atasan bapak dulu. Sana keluar. Kamu udah ditunggu dari tadi.” Tangan kanan Rosa ditarik oleh ibunya, dan diajak keluar.
“Ini Ocha? Pantesan Novan ngebet banget.” Ucap mamanya Novan. Sedang Novan hanya senyum-senyum saja. Dia bangga dengan pilihannya.
Rosa tampak canggung.
“Kedatangan mereka punya maksud baik sama kamu. Pak Handoko ini bos Bapak waktu mengerjakan perumahan elit seberang jalan itu.” Ucap Pak Burhan menjelaskan.
“Kamu bagaimana?” Tanya Bu Burhan pada Rosa.
Rosa yang tidak nyaman dengan kehadiran orang asing meremas-remas ujung kerudungnya. Wajahnya seketika memucat.
Pak Burhan dan Bu Burhan yang sudah faham tentang kondisi Rosa, sangat sedih melihat Rosa begitu tertekan saat itu.
“Berapa lama kalian saling kenal?” Tanya Pak Burhan yang membuat Novan tergagap.
“Ya sudah, kamu masuk dulu.” Bu Burhan mengantar putrinya ke dalam kamarnya.
Rosa merebahkan tubuhnya di kasur kapuk ukuran 1 x 2 meter. “Keringat dingin memenuhi wajahnya.”
“Kamu sudah kenal Novan?” Tanya Bu Burhan pada putrinya. Rosa hanya menggeleng.
Bu Burhan mengambilkan segelas air putih, lalu memberikan pada putrinya yang masih tampak pucat. “Kamu istirahat saja.”
“Maafkan kami, putri kami memang punya keterbatasan, jadi tidak bisa berlama-lama di sini.” Ucap Pak Burhan lirih.
“Rosa kenapa, Pak?” Tanya Novan penasaran.
“Dia kesulitan bertemu dengan orang asing. Jadi saya tadi Tanya, sudah berapa lama Nak Novan dan Ocha saling kenal?” jawab Pak Burhan.
“Beberapa waktu yang lalu Rosa datang ke rumah Antik. Antik itu teman kerja Rosa, tetangga depan rumah saya. Terus saya pernah menemuinya di halte bus, tapi dia menghindari saya waktu saya sapa. Jadi saya nekat ke rumahnya begini.” Jawab Novan.
“Ya begitulah Ocha. Dia tidak sama dengan orang lain. Dia kesulitan bersosialisasi dengan orang baru. Saya mohon maaf.” Ucap Pak Burhan.
“Kami yang salah. Kami fikir, mereka sudah kenal baik, sehingga kami ingin bersilaturahmi secara resmi. Ternyata baru sekedar suka-sukaan saja.” Ucap Pak Handoko malu karena sikap anaknya yang terburu-buru.
Novan mendelik kesal pada papanya. Mamanya mencubit paha Novan untuk tidak membuat ulah lagi.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya bersyukur bisa bertemu dengan Pak Burhan sekeluarga dalam keadaan sangat sehat. Itu sudah rezeki bagi saya.” Jawab Pak Burhan.
“Kalau begitu kami pamit. Lain waktu In Sya Allah kita bertemu lagi.” Kata Pak Handoko sambil berjabat tangan dengan kedua orang tua Rosa. Lalu mereka pergi meninggalkan rumah Rosa dengan mobil mewahnya.
“Aku enggak cuma suka-sukaan saja. Aku itu udah bener-bener jatuh cinta pada pandangan pertama sama Rosa.” Novan ngedumel sambil menyetir mobilnya. Kedua orang tuanya saling berpandangan.
“Kamu tahu kan, kondisi Rosa. Kalau kamu mendekatinya dengan cara ini, dia akan sangat menderita. Kamu menyukainya tapi hanya memikirkan egomu saja. Kamu hargai juga keterbatasannya itu. Dia ketakutan pada kedatangan kita yang tiba-tiba.” Ucap Pak Handoko yang menahan kesal pada anak tunggalnya.
“Van, kamu masih ingin serius dengannya?” Tanya Bu Handoko.
“Jelas itu. Sudah pasti.” Jawab Novan cepat.
“Tunjukkan ketulusanmu. Tunjukkan kamu bisa menerima semua kondisinya.” Ucap Bu Handoko menasehati putranya.
“Bagaimana caranya kalau dia saja ketakutan melihatku.” Tanya Novan bingung.
“Kamu fikir sendiri.” Jawab Pak Handoko singkat yang membuat Novan bungkam dengan kesal. Beberapa kali dia menyetir dengan emosi. Dia membunyikan klaksonnya dengan emosi.
“Van, hati-hati nyetirnya.” Pak Handoko memperingatkan.
“Ini udah hati-hati kok. Mobil itu aja yang lambat namun terus berada di tengah.” Jawab Novan kesal.
Kedua orang tua Novan hanya menghela nafas menghadapi sikap Novan.
Sejak saat itu, Novan sering berkunjung ke rumah Rosa setiap dia pulang kerja. Semua itu dia lakukan untuk bisa lebih dekat dengan Rosa.
Meskipun Rosa selalu mengabaikannya. Namun lama-lama Rosa terbiasa dengan kehadiran Novan di rumahnya.
Dia mulai tidak canggung ketika harus makan atau ngobrol bersama-sama anggota keluarga yang lain.
“Cha, kamu sama sekali enggak ada rasa buat Novan?” Tanya Bu Burhan pada putrinya di suatu malam setelah Novan pulang.
Rosa menggeleng.
“Dia sudah menunjukkan kesungguhannya pada kita. Bapak yakin, dia benar-benar menyukaimu. Apalagi tahu kondisi kita seperti ini, dia tetap mau dating berkunjung. Kamu coba beri dia kesempatan.” Kata Pak Burhan menasehati.
Rosa hanya terdiam, lalu pamit masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya, Rosa merasakan perih yang luar biasa. Sebenarnya ada seorang pria yang sempat dia sukai waktu dia praktek lapangan di desa. Namun dia bahkan belum pernah berkenalan.
Saat itu, Rosa dan teman-temannya mendapat tugas untuk bergotong royong bersama warga merenovasi jembatan yang sudah tidak layak pakai.
Mahasiswi yang hanya berjumlah 3 orang itu bertugas memasak di rumah ibu kepala desa, tempat kos dia selama praktek lapangan.
Saat istirahat siang, Rosa melihat ada satu lelaki desa yang menarik perhatiannya. Lelaki itu memilih menjalankan sholat dzuhur ketika yang lain memilih untuk ngobrol santai dengan tetangganya.
Lelaki itu bahkan bersikap sangat sopan dan lembut kepada ibunya yang sedang memasak bersama Rosa di dapur milik kepala desa.
Meski Rosa hanya berani mencuri pandang sekilas, dia merasa sangat bahagia saat itu. Namun sampai hari terakhir Rosa praktek lapangan, lelaki itu sudah tidak tampak lagi. Kabar yang dia terima, dia sudah pulang ke kota dengan istrinya.
Meskipun belum kenal, namun Rosa merasakan patah hati begitu dalam. Dia tidak menyadari ternyata perasaannya sedalam itu.’
Dia menyesali keterbatasannya yang tidak mampu bersosialisasi dengan baik. Seandainya waktu itu dia berani berkenalan, seandainya waktu itu dia berani bertanya pada ibunya, seandainya, seandainya. Rosa terus mengandai-andai.
Sejak kecil, Rosa minder dengan keterbatasannya ini, namun hari itu, dia merasa sangat kesal dengan keterbatasannya. Dia iri pada orang lain yang bisa dengan mudah bergaul, berbaur, dan ngobrol tanpa ada ketakutan dalam diri mereka.
Malam ini, Rosa menutup hari dengan isak tangis di atas bantalnya. Mengingat pedihnya menanggung perasaan sendiri yang terpisah karena keterbatasannya. Dia berdoa memohon dikuatkan hatinya.

Book Comment (159)

  • avatar
    Raden Ardy Isa Wisastra

    Bagus

    4d

      0
  • avatar
    Grant Mode

    mendapat kan diamon ff secara gratis

    7d

      0
  • avatar
    Muh Rifky Ananda Syafutra

    Menarik!

    8d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters