logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 PENDEKATAN

Novan sudah lama menunggu di depan halte tempat biasa Rosa menunggu Bus, namun hingga satu jam berlalu, dia belum melihat kehadiran Rosa di sana.
Novan kembali ke sekolah Rosa, namun sudah tampak sepi. Pintu gerbang sekolah sudah ditutup.
“Udah sepi juga. Kemana dia?” Tanya Novan dalam hati. Dia melihat-lihat sekeliling, berharap menemukan sosok Rosa di sekitar sekolah.
Tampak seorang satpam sedang berjaga di posnya.
“Aku tanya satpam aja deh.” Ucapnya pada diri sendiri.
Novan turun dari mobilnya.
“Mau tanya, apa semua sudah pulang?” Tanya Novan. Satpam yang sedang duduk santai sambil melihat layar televisi tampak mendekat pada Novan.
“Sudah. Bapak mau jemput siapa?” Tanya satpam bingung. Dia belum pernah melihat lelaki yang berdiri di depannya.
“Gurunya juga sudah pulang?” Tanya Novan sambil celingak celinguk melihat sekeliling sekolah.
“Sudah semua, Pak. Tinggal cleaning service. Bapak nyari siapa?”
“Oh ya sudah.” Novan berlari menuju mobilnya.
Pak Satpam garuk-garuk kepalanya. “Siapa sih, ditanya sombong amat. Tapi pas sih sama gayanya. Orang kaya sih.”
Satpam sekolah melihat mobil yang Novan kendarai. “Mobil mahal.” Lalu dia mengangguk-angguk.
Novan bergegas menuju rumah Rosa, mungkin Rosa sudah pulang saat dia belum sampai di sekolah Rosa.
Novan memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Rosa. Banyak orang yang mengerumuninya, melihat mobilnya dan mengagumi wajahnya.
“Siapa itu?” Tanya Mirna, salah seorang tetangga Rosa.
“Enggak tahu.” Jawab Salmi.
“Mau nagih hutang ke rumah Pak Burhan kali.” Ucap Fatim.
“Kalau nagih hutang pasti lewat orang suruhan,… eeee apa itu yang gad gad?” Tanya Salmi.
“Body guard?” Jawab Fatim.
“Iya bener.” Ucap Salmi bangga.
“Body guard bukan tukang tagih Bu Salmi.” Jawab Fatim bingung.
“Lah apa namanya? Orangnya yang gede, keker, mukanya serem gitu. Terus nagihi hutang-hutang.” Tanya Salmi bingung.
“Kalo body guard itu cuma penjaga aja. Kayak artis-artis korea gitu, bawa body guard kemana-mana. Ato pak pejabat. Bukan penagih hutang.” Jawab Fatim menjelaskan.
“Terus apa namanya?” Tanya Salmi masih penasaran.
“Enggak tau. Udah diem aja.” Fatim kesel dengan pertanyaan Salmi. “Yang penting, dia siapa?”
“Permisi.” Ucap Novan saat sampai di depan rumah Rosa. Dia hampir tidak tega mengetuk pintu rumahnya. Sepertinya akan segera roboh bila dia mengetuk terlalu keras.
“Iya, mencari siapa?” Tanya seorang ibu yang muncul dari balik pintu. Kepalanya melihat dari atas ke bawah tubuh Novan. Dia belum pernah melihat lelaki yang ada di hadapannya. Apalagi dia membawa mobil mewah hingga membuat para tetangga mengerumuninya.
“Saya Novan, teman Rosa.” Jawab Novan. “Rosanya ada?”
“Ocha belum pulang. Dia jadi guru les privat. Mungkin sore baru pulang. Tidak telepon dulu?” Tanya Ibu Rosa.
“HP saya hilang, ini baru beli lagi, nomor Ocha juga hilang.” Jawab Novan berbohong. “Kalau boleh saya minta nomor Ocha lagi.”
“Iya, sebentar saya ambil HP dulu. Silakan masuk Nak Novan.” Ibu Rosa mempersilakan Novan masuk.
“Duduk dulu, Nak. Maaf rumahnya seperti ini.” Ibu Rosa membersihkan sofa usang dengan kain yang ada di atasnya. Sofa yang sudah kehilangan kulit dan busanya dan tampak kayu penyangganya itu tampak keras bila diduduki.
Novan sebenarnya enggan duduk di kursi yang sangat keras. Dia melihat sekeliling ruangan. Rasanya ingin segera keluar dari rumah itu. Tapi dia harus mendapat simpati yang baik dari keluarga Rosa demi mendapatkan Rosa.
“Ini Nak nomornya.” Ibu Rosa menyerahkan telepon selulernya pada Novan. Novan segera mengetik nomor Rosa dan menyimpannya.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Ayah Rosa masuk ke rumah. “Ada tamu?”
“Iya, temennya Ocha.” Jawab Ibu Rosa.
“Itu kayak mobilnya Pak Handoko?” Tanya Ayah Rosa.
“Bukan, mobilnya Nak Novan, teman Ocha.” Jawab Ibu Rosa.
“Oh mirip mungkin. Bapak udah kaget.” Ucap Bapak Rosa. Dia sempat merindukan sosok Pak Handoko yang sangat ramah pada pekerjanya.
“Saya anaknya Pak Handoko. Kok bapak kenal papa saya?” Tanya Novan.
“Kamu anaknya Pak Handoko? Sudah besar kamu ya? Bapak udah lama enggak ketemu papa kamu. Papa kamu sehat?” Tanya Bapak Rosa.
“Sehat, Pak.” Jawab Novan singkat. Papanya memang sempat terkena serangan jantung saat dia SMA. Namun sudah melakukan operasi sehingga sekarang tubuhnya sudah sehat.
“Sudah enggak kambuh lagi?” Tanya Bapak Rosa.
“Enggak. Bapak kok kenal saya papa saya?” Novan masih penasaran.
“Bilang saja, Pak Burhan. Pasti ayah kamu tahu. Salam ya buat papa kamu. Bapak permisi dulu, mau mandi habis dari kebon.” Pak Burhan permisi.
“Kalau begitu saya pamit ya, Bu. Nanti saya telepon Ocha.” Ucap Novan berpamitan.
Sesampai di rumah. Novan buru-buru masuk ke ruang kerja papanya. Dilihatnya papanya sedang serius membaca berkas-berkas yang dibawa Pak Budi, asistennya.
“Papa lagi sibuk?” Tanya Novan saat menemui papanya.
“Tumben kamu kesini. Ada apa?” Tanya Pak Handoko. Tidak biasanya anaknya masuk ke ruang kerjanya. Apalagi sekarang belum jam pulang kantor. “Pasti membolos lagi ini anak.” Fikir Pak Handoko.
“Papa dapat salam dari Pak Burhan.” Kata Novan.
“Pak Burhan? Kamu ketemu beliau di mana?” Tanya papa Novan sambil melepas kaca mata plusnya.
“Tadi Novan main ke rumah temen. Ternyata dia anak Pak Burhan. Dia mengenali dari mobil papa yang aku pake.” Jawab Novan.
“Sudah lama papa enggak denger kabarnya. Dia sehat?” Tanya Pak Handoko lagi.
“Iya. Papa kenal Pak Burhan dari mana?” Tanya Novan. Biasanya temann papanya adalah sesama pemilik saham, atau paling tidak teman sekolah. Tapi papanya sekolah di sekolah elit sejak TK, tidak mungkin satu sekolah dengan Pak Burhan.
“Kamu ingat, siapa yang membawa papa ke rumah sakit waktu pingsan pertama kali?” Tanya Pak Handoko.
Novan menggeleng pelan. Saat itu dia masih SMA, dia tidak tahu orang yang membawa papanya ke rumah sakit. Dia datang saat papanya sudah masuk ICU.
Saat itu Pak Handoko sedang melakukan survey proyek barunya. Tiba-tiba dia pingsan. Pak Burhan yang menjadi salah satu buruh yang akan mengerjakan proyek itu yang pertama kali melihatnya tergeletak di antara tumpukan bahan bangunan. Pak Burhan lalu menggendongnya ke rumah sakit terdekat.
“Seandainya tidak ada yang melihat papa pingsan, mungkin nyawa papa sudah tidak tertolong.” Ucapnya penuh syukur saat mengingat kejadian itu. Dia bahkan merasa sangat berhutang budi pada Pak Burhan.
“Aku mau minta tolong.” Kata Novan.
“Minta tolong apa?”
“Aku lagi deketin anaknya. Tapi dia kayak nolak gitu. Bantuin ya, Pa.”
“Kamu itu. Usaha sendiri dong.”
“Pa, dia udah pernah lihat rumah ini, udah pernah lihat mobil aku, tapi dia enggak bergeming sama sekali. Papa deketin lewat ayahnya biar dia mau sama aku. Ya, Pa.” Pinta Novan.
“Kamu itu ada-ada aja. Tidak semua perempuan ngiler kamu iming-imingi dengan hal-hal seperti itu. Kalau kamu tidak memperlihatkan ketulusan kamu, bagaimana dia bisa mau?”
“Jangankan melihat ketulusanku, Pa. lihat aku aja kayak ketakutan gitu.”
Pak Handoko tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini anaknya galau karena perempuan.
“Kok seru banget, ngobrolin apa?” Tanya Bu Handoko yang tiba-tiba masuk dengan membawa minuman dan camilan untuk suaminya.
“Anakmu, habis ditolak cewek.” Jawab Pak Handoko sambil tertawa.
“Kok bisa? Anak mama yang ganteng ini ditolak cewek. Memang dia se kaya apa sampai nolak kamu?” Tanya Bu Handoko.
“Dia anaknya Pak Burhan, yang dulu nolongin Papa.” Jawab Pak Handoko.
“Pantesan. Bapaknya aja dulu habis nolongin Papa enggak mau dikasih uang ucapan terima kasih. Dia malah bersyukur papa selamat karena itu artinya dia bisa tetap bekerja.” Jawab Mama.
“Dia nolak uang, Pa?” Tanya Novan kaget. Dia bingung, kok ada orang yang menolak uang. Dia yakin uang pemberian papanya tidak sedikit. Dengan ekonomi seperti itu seharusnya mereka langsung menerimanya.
“Iya. Padahal yang Papa tawarkan juga enggak sedikit. Dia malah bilang, bisa tetap bekerja sudah bersyukur. Ya pantes aja kalau anaknya juga enggak peduli dengan kekayaan yang kamu pamerkan.” Kata Papa.
“Berarti dia anak yang pantas jadi menantu kita, Pa. Dia bukan perempuan matrealistis.” Ucap Bu Handoko.
“Iya, kan. Bantuin ya. Please.” Novan memohon pada kedua orang tuanya.
“Kalau ada waktu, kita silaturahmi ke rumahnya.” Ucap Pak Handoko bijak. Dia juga menginginkan menantu yang baik untuk anaknya yang suka foya-foya. Mungkin dengan menikahi gadis itu bisa mengubah sikap Novan yang arogan.
Keesokan harinya, Novan tampak bersiul-siul di kantornya. Dia membayangkan betapa mudahnya mendapatkan perempuan yang dia mau.
“Kemarin galau. Sekarang senyum-senyum. Kenapa lagi? Udah diterima sama gadis itu?” Tanya Wira.
“Belum sih, tapi pasti dapet.” Jawab Novan mantap.
“Kok bisa?” Tanya Wira bingung. Jangan bilang kamu beli dia dari orang tuanya yang miskin. Kamu iming-imingi uang.
“No no no. orang tuanya juga enggak silau dengan uang.”
“Lalu?” Wira menggaruk-garuk kepalanya karena bingung.
“Papa aku kenal baik dengan ayahnya. Jadi pasti mudah kan untuk dapetin dia.” Jawab Novan optimis.
“Sama aja. Enggak membeli dengan uang, beli dengan persahabatan bapak kamu. Sama aja bukan usaha kamu sendiri. Hati-hati lo kalau mendapatkan gadis dengan cara yang curang, hasilnya tidak akan baik.”
“Kok kamu ngomong gitu? Harusnya seneng dong aku akan mendapatkan gadis yang aku suka.”
“Seneng. Kalau itu dengan usaha kamu sendiri.” Ejek Wira.
“Yang penting dapet.”

Book Comment (159)

  • avatar
    Raden Ardy Isa Wisastra

    Bagus

    4d

      0
  • avatar
    Grant Mode

    mendapat kan diamon ff secara gratis

    7d

      0
  • avatar
    Muh Rifky Ananda Syafutra

    Menarik!

    8d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters