logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 PENOLAKAN

Siang itu, Rosa berjalan kaki menuju halte tempat dia biasa menunggu bus sepulang kerja. Tiba-tiba sebuah mobil yang tidak dia kenali berhenti di hadapannya, lalu membunyikan klaksonnya.
Semua orang yang ada di halte melihat ke arah mobil yang ada di depan mereka, namun karena kaca yang berwarna gelap, tidak ada yang tahu siapa pemilik mobil mewah yang ada di dalamnya.
Rosa yang tidak merasa mengenali pemilik mobil itu tidak memperhatikan. Wajahnya tertunduk kembali melihat layar telepon seluler yang digenggamnya.
Sudah menjadi kebiasaan Rosa yang memainkan game kesukaannya, terutama saat-saat menunggu seperti itu. Sebenarnya bukan karena dia penyuka game. Dia hanya berusaha menutupi rasa takutnya berada di tempat ramai. Tempat ramai, di tempat asing apalagi di jalanan seperti ini membuatnya merasa dalam masalah besar. Dia merasa ketakutan tanpa sebab.
Dia sering menghindari tatapan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dia hanya menundukkan pandangannya dan memainkan telepon genggamnya.
Tiba-tiba Novan berdiri di depan Rosa.
“Hai Rosa.” Sapa Novan. Dia melambaikan tangan kanannya.
Rosa menengok ke kanan dan kirinya. Tidak ada orang di dekatnya? “Saya?” Tanya Rosa bingung.
“Iya. Kamu temen Antik, kan? Kenalin aku Novan.” Ucap Novan sambil mengulurkan tangannya.
Rosa ketakutan melihat sikap Novan yang sok kenal dengannya. Untungnya sebuah bis datang. Rosa langsung pergi meninggalkan Novan dan menaiki bus yang sudah berhenti di depan mobil Novan.
“Sialan.” Umpat Novan. “Sok cantik. Sombong banget sih, diajak kenalan tidak mau.”
Novan merasa diabaikan. Belum pernah dia diabaikan seorang perempuan seperti ini. Apalagi saat dia membawa mobil. Siapa yang mau menolak.
Namun Rosa berbeda dengan perempuan lain. Dia tidak peduli pada mobil yang Novan kendarai. Dan memilih meninggalkannya dengan naik bus. Bahkan tidak membalas sapaannya.
Rosa merasa terkejut dengan kehadiran Novan yang tiba-tiba. Apalagi dia tidak begitu pandai bergaul, dia tidak sanggup membalas sapaan Novan padanya.
Novan tidak kehabisan akal. Dia mengikuti bus yang ditumpangi Rosa dengan menggunakan mobilnya. Rasa penasaran Novan yang kuat dengan perempuan yang bernama Rosa, membuatnya ingin segera memiliki gadis itu.
“Aku harus dapetin gadis itu, bagaimanapun caranya.” Novan menginjak pedal gasnya.
Setengah jam setelah Novan membuntuti bus yang ditumpangi Rosa, bus berhenti di sebuah persimpangan jalan, Rosa turun dari bus, lalu berjalan menuju rumahnya. Novan masih membututi, dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah, lalu turun dari mobilnya dan mengikuti Rosa dengan berjalan kaki.
Rosa masuk ke dalam sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah yang luasnya kira-kira hanya 50 meter persegi. Atap genteng yang sudah berwarna coklat tua dengan banyak lumut menghiasnya. Beberapa genteng juga sudah tampak retak dan patah. Mungkin akan bocor saat hujan. Tembok batako yang tampak menjulang tanpa polesan apapun. Daun pintu dari triplek yang sudah mulai mengelupas satu per satu. Lantainya hanya semen kasar yang sudah mulai pecah-pecah.
“Harusnya gampang dapetin dia dengan kondisi seperti itu. Tapi kenapa dia nolak aku?” Tanya Novan dalam hati. “Mau sok jual mahal di depan aku?”
Novan pulang ke rumahnya. Dia sudah puas hanya dengan tahu rumah Rosa. Lain waktu dia harus mencari cara yang lebih tepat untuk mendekati Rosa. Dia tidak puas dengan penolakan yang dilakukan Rosa.
Novan mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Wira, teman satu ruangan dengannya yang risih dengan suara-suara yang ditimbulkan dari Novan, merasa terganggu.
“Ngapain sih, bro? Galau amat. Aku baru lihat seorang Novan begitu galau hari ini.” Ucap Wira, teman kantor Novan, merengkuh bahu Novan. Novan menghindar dan melepas tangan Wira dari bahunya.
“Mukamu enggak pantas galau. Kenapa-kenapa? Ada yang menolak cinta kamu? Aku penasaran sama orang itu. Kamu enggak perlihatkan kekayaan bapakmu?” Tanya Wira.
Novan kaget, bagaimana Wira bisa tahu? “Kok kamu tahu kalau aku ditolak cewek?” Tanya Novan penasaran.
“Seorang Novan, anaknya pak presdir, kerja cuma alibi, tidak ada satupun yang tidak dia miliki, semua gadis terpesona dengan kekayaannya, tiba-tiba galau. Masalah apalagi kalau bukan masalah itu?” Ucap Wira yakin.
“Iya nih. Dia udah lihat rumahku, udah lihat mobilku, aku menemuinya juga dengan baju rapi, enggak kelihatan gembel, jelek juga enggak. Eh dia melengos saat ketemu aku.” Ucap Novan kesal. Dia tidak menemukan kekurangan dalam dirinya. Tapi dia mendapat penolakan yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya.
Wira tertawa puas. Baru kali ini Novan ditolak cewek.
“Puas kamu tertawa.” Novan terlihat lebih kesal.
“Sori, sori. Ngomong-ngomong dia kayak apa? Dia cantik?” Tanya Wira.
“Cantik dong. Cuma enggak dipoles sama sekali. Kecantikannya alami banget. Tapi kalau udah senyum. Beuuuuh. Siapapun terpesona. Apalagi kalau dia dipoles sedikiiit saja, mungkin dia gadis tercantik yang pernah aku lihat.”
“Dia udah kerja atau masih kuliah?”
“Guru SMP.”
“Dia lebih kaya dari kamu?” Tanya Wira.
“Enggak. Rumahnya kumuh banget.”
“Kamu udah lihat rumahnya?”
“Udah. Kemarin aku ikutin dia. Soalnya dia kayak ngindar gitu liat aku.”
“Stalker kamu. Parah. Mungkin dia minder kamu datangin dia kayak gitu. Apalagi udah tahu rumah kamu, mobil kamu.”
“Dia enggak kelihatan minder. Dia lebih kelihatan aneh ngelihat aku.”
“Mungkin dia takut kamu culik.”
“Enak aja.”
Wira tertawa keras.
“Aneh loh, dia dengan kondisi seperti itu, tapi nolak aku. Harusnya dia malah semakin ngebet karena dia bisa bayangkan hidup sama aku bakal semewah apa? Dia bahkan enggak perlu kerja, dia bisa makan enak, tinggal di rumah mewah, mobil ada, mau beli apa saja terpenuhi. Kurang apa coba?”
“Kurang waras.” Jawab Wira singkat.
“Mungkin. Bisa jadi.”
“Kamu yang kurang waras.” Ucap Wira kesal.
“Kok aku? Bukankah dia yang aneh?”
“Novan Surya Handoko yang terhormat. Tidak semua perempuan bisa kamu rendahkan hanya karena kamu kaya. Ada banyak perempuan yang lebih suka pada ketulusan. Dia tidak akan pernah memandang kemewahan, kalau ternyata bangsat? Dia tidak akan pernah mau. Ada banyak perempuan yang tidak menilai dari materi, dari fisik, tapi dia menilai dari hati.”
“Emang ada lelaki kayak gitu?”
“Ada. Tapi bukan kamu.”
Wira meninggalkan Novan dan menuju pantry. Meskipun Novan adalah sahabatnya, namun dia tahu rasanya menjadi orang yang tidak punya. Dia tahu rasanya harus berjuang dari enol sendiri jika ingin mendapatkan apa yang dia mau.
Wira yang sejak kecil harus merantau jauh dari keluarganya demi pendidikan sesuai cita-citanya, harus mencari uang sejak kecil demi sesuap nasi untuk dia makan dan uang yang bisa dia kirimkan untuk orang tua dan kedua adiknya.
Wira sekarang harus berusaha bekerja tanpa lelah supaya bisa naik jabatan, dan supaya mendapat gaji yang lebih besar. Bahkan dia rela mendapat tugas tambahan hingga lembur demi tambahan uang yang akan dia dapatkan, dan bonus tahunan dari perusahaan.
Kehidupan Wira sangat bertolak belakang dengan Novan yang sudah kaya sejak lahir. Novan sekolah dan bekerja cuma sebagai alibi. Apalagi sekarang Novan bekerja di perusahaan ayahnya sendiri, itupun hanya formalitas saja. Dia bisa bekerja sesuka hatinya. Masuk dan pulang tidak sesuai jam kerja aturan perusahaan. Kalau ingin libur, tinggal libur. Tidak ada tanggung jawab sama sekali. Karena sudah dipastikan perusahaan ini akan menjadi miliknya suatu saat nanti, saat dia sudah siap.
Wira meminum kopi untuk meredakan emosinya. Dia harus menahan dirinya menghadapi Novan, sekesal apapun dia. Dia harus bersabar supaya bisa tetap bekerja. Karena ayah Novan adalah salah satu pemilik saham di perusahaan ini. Kalau Wira membuat ulah, dia bisa dipecat sewaktu-waktu. Apalagi kalau dia membuat Novan marah. Wira tidak bisa membayangkan harus kemana mencari pekerjaan seperti ini.
Wira kembali ke mejanya dengan langkah pasti. Dia sudah bertekad mengabaikan sikap Novan yang sangat menginjak-injak harga dirinya. Toh dia memang miskin dan Novan juga tidak secara langsung menyinggungnya. Dia hanya tidak tahu rasanya menjadi miskin.
“Dari mana kamu?” Tanya Novan pada Wira yang kembali ke meja kerjanya.
“Ngopi. Ngantuk aku.” Jawab Wira berbohong.
“Kok enggak ngajak-ajak?” Tanya Novan.
“Tadi sebenarnya cuma mau ke toilet. Terus kefikiran mau ngopi aja biar enggak ngantuk. Sorry bro, pekerjaanku banyak banget. Kalau ngantuk, enggak bakalan selesai malam ini.” Jawab Wira menunjukkan tumpukan kertas kerjanya.
Novan melihat jam di tangannya. “Aku pulang dulu ya. Titip ini.” Novan menyerahkan tumpukan kertas kerjaannya hari ini yang belum dia sentuh sama sekali.
“Mau kemana kamu? Belum jam pulang woi.” Ucap Wira memperingatkan.
“Ini waktunya dia pulang. Aku mau PDKT dulu. Doain, Bro.” Novan berlari dan menghilang di balik lift sambil melambaikan tangan kanannya.
“Kerja, Wir, enggak ada waktunya kamu iri pada anak sultan. Kamu bukan anak sultan. Kamu harus berjuang sendiri kalau mau jadi sultan.” Ucap Wira dalam hati.
Saat Novan pulang, otomatis pekerjaannya akan menjadi tanggung jawab Wira juga. Wira mendengus kesal. Tapi dia sadar, dia tidak boleh kesal pada anak sultan.
Wira mengamati tumpukan kertas kerjaan Novan yang masih utuh sejak pagi. “Ngapain aja sih dia seharian. Enggak ada yang disentuh sama sekali.”
Wira menjadikan satu kerjaannya dan kerjaan Novan. Haduh sebanyak ini, kapan selesainya? Perutnya juga sudah keroncongan sejak tadi, dia sudah melewatkan makan siangnya.
Wira membuka tas kerjanya, diambilnya roti selai kesukaannya. Pengganjal perut di saat darurat seperti ini. Lalu dia kembali bekerja ditemani satu bungkus roti selai dan kopi hangat.
“Alhamdulillah. Begini saja sudah nikmat. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan.” Ucap Wira menghibur diri.

Book Comment (159)

  • avatar
    Raden Ardy Isa Wisastra

    Bagus

    4d

      0
  • avatar
    Grant Mode

    mendapat kan diamon ff secara gratis

    7d

      0
  • avatar
    Muh Rifky Ananda Syafutra

    Menarik!

    8d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters