logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Dipinta Jadi babu?

Bab 5: Dipinta Jadi Babu?
Dadaku membuncah dengan ucapan ibu mertuaku, dengan cepat dan setengah berlari, aku pun memasuki kamarku, lalu duduk di samping kedua putra dan putriku.
Tanpa bisa ku tahan, air mata pun memaksa keluar dari bola mataku, meskipun sekuat hati aku tak ingin menangisi keadaan ini, karena menangis pun tak akan merubah keadaan. Pikirku.
Selemah inikah diriku, hanya karena cemburu melihat bagaimana ibu mertuaku yang akrab dan dekat dengan wanita lain, bahkan memuji wanita lain dan parahnya dia mengidamkan wanita itu untuk menjadi menantunya.
Tak bisakah ia meraba hatiku sedikit saja, bahwa aku tidak pernah ingin dibanding-bandingkan dengan wanita lain, bahwa aku pun ingin kaya, sekaya Cindy yang memiliki segalanya.
Pintu kamar pun terbuka, aku yakin itu adalah Mas Dika.
Dengan perlahan pria itu pun mendekatiku lalu duduk di ranjang di tepi ranjang yang sama denganku.
"Maafin ibu ya, ibu cuma asal bicara aja."
Pria itu mewakili permintaan maaf dari wanita yang melahirkannya.
Aku menoleh kearah Mas Dika.
"Aku mohon banget, Mas, secepatnya kita pergi dari rumah ini ya,"
Aku memelas pada Mas Dika, berharap pria itu mengerti isi hatiku.
Mas Dika pun mengangguk pelan, lalu menyeka air mata yang masih tertinggal di pipiku.
"Iya, secepatnya kita akan pergi dari rumah ini."
Ucapnya menenangkan perasaanku, seperti hujan di tengah sahara, dengan pelan aku pun memeluk Mas Dika, membenamkan wajah ini dalam dekapannya.
Pintu terbuka dengan sedikit keras.
"Eh kalian ... "
Kami berdua pun mengerjap, seperti sepasang kekasih yang tengah kepergok, malu.
Cindy menutup matanya depan telapak tangannya.
"Maaf aku ganggu ya," ucapnya seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Aku mendengus kesal dengan sikap wanita itu, dia sudah dewasa, harusnya tahu etika. Bahwa membuka pintu kamar orang lain, haruslah mengetuk, setidaknya meminta izin, meskipun ini rumahnya, kamarnya, bukankah untuk saat ini, haknya atas kami berdua?
Oh, aku lupa, bagaimanapun dia adalah tuan rumah, tentunya merasa paling punya hak.
"Ada apa Cindy?"
Suamiku bertanya pada wanita itu.
"Gapapa, Mas. Aku mau tanya sama Mbak Wafa, aku mau jalan ke mall sama ibu, kira-kira bawa Pak mau ikut nggak?"
Benarkah Cindy mau mengajakku? bukankah dia mengatakan bahwa ia hanya mengajak ibu mertuaku, sebagai kenang-kenangan pertemuan mereka?
"Enggak. Aku gak bisa, di sini aja nungguin anak-anak, sekalian mau me time sama Mas Dika."
Aku menolak langsung, seraya mengalungkan tanganku pada lengan Mas Dika, dan detik itu juga bisa kulihat wajah Cindy yang terlihat muram. Entah kecewa karena penolakanku yang tak ikut berbelanja dengannya, ataukah kecewa karena melihat aku yang bersikap mesra pada suamiku?
"Oh, ya sudah, kalau gitu Cindy pamit Mas,"
Lucu, wanita itu hanya pamit kepada suamiku, bukan padaku. Aneh, bukankah barusan ia mengajakku jalan-jalan? Lalu kenapa pamitnya hanya pada Mas Dika?
Dengan wajahnya yang berubah datar, wanita itu pun menutup pintu dengan perlahan lalu melangkahkan kakinya menjauhi kamar kami.
Mendengar wanita itu menjauhi kamarku, aku pun melepaskan pelukan dari Mas Dika.
"Jalan-jalan yuk!"
Ajak Mas Dika, padaku.
Aku menoleh ke arahnya.
"Kita berempat?"
Tanyaku antusias, karena setelah memiliki putra dan putri, rasanya sangat tak nyaman jika hanya jalan-jalan berdua, hati terasa tak tenang, ingat pada buah hati.
Suamiku pun mengangguk.
Dengan perasaan berbunga, aku pun kembali memeluk Mas Dika.
"Oke, makasih ya Mas, aku seneng banget,"
Dengan sumringah akupun beranjak dari tepi ranjang, lalu memilih-milih pakaian untuk acara jalan-jalan kali ini, juga pakaian untuk putra dan putriku.
***
Lelah lelah namun membahagiakan, itulah aktivitas sepanjang hari ini, yang ku lalui bersama dengan keluarga kecilku. Betapa bahagianya hati ini.
Hari ini, Mas Dika benar-benar mengajakku jalan-jalan bersama buah hati kami.
Saat aku baru saja memasuki rumah Cindy, terlihat ibu mertuaku dan Cindy tengah duduk serius di ruang tamu.
Detik itu juga rasa tak nyaman menghinggapi perasaan ini.
"Kamu habis jalan-jalan ya!"
Ibu mertua aku langsung menekankan ucapannya. Nadanya memang setengah bertanya, padahal aslinya itu adalah sebuah penekanan. Dan, lagian bukankah ini hari Minggu, kupikir, sangat layak seminggu sekali kami melepas penat, berjalan-jalan bersama keluarga kecil kami.
"Iya Bu, kami habis jalan-jalan, soalnya biar anak-anak gak sumpek terus di rumah,"
Dari arah belakang, Mas Dika pun menimpali ucapan ibunya, lalu menghampiri wanita yang telah melahirkannya tersebut.
"Aku bawa makanan untuk ibu sama Cindy,"
Mas Dika pun menyodorkan kresek bingkisan kepada ibunya, sedangkan aku hanya mematung kebingungan, karena bahagia seharian ini, seolah di tekan dengan sikap ibu mertuaku.
"Nggak usah, makan aja, ibu udah kenyang kok. Hari ini, Cindy ngajak ibu ke mana-mana. Ibu puas banget diajak jalan-jalan sama Cindy. Cindy emang pengertian. Andai aja ibu punya menantu kayak Cindy," celetuknya.
Lagi, ibu mertuaku mengucapkan kalimat yang sangat tak nyaman di telingaku.
Rasa bingungku berubah menjadi rasa kesal atas ucapan yang dilontarkannya.
Kuputar kedua bola mata, tanda betapa kesalnya diri ini atas ucapan wanita itu.
Apa dia akan terima, jika seandainya aku pun membandingkan dirinya dengan mertua orang lain, yang baik dan pengertian kepada menantunya.
Seribu persen aku yakin dia tidak akan pernah menerimanya.
"Ya sudah, mbak duduk di sini, ada yang pengen Cindy omongin sama Mbak,"
Cindy menepuk sofa di sampingnya, mengajakku untuk duduk di dekatnya, entah apa yang ingin ia katakan padaku.
Dengan enggan, aku pun mencoba untuk bersikap sabar, duduk disampingnya dengan perasaan yang sungguh tak nyaman.
"Ada apa Cindy?" tanyaku serius.
"Gini lho Mbak ... "
"Ah, gimana ya, Cindy jadi enggak enak ngomongnya,"
"Ngomong aja Cindy, nggak usah sungkan gitu,"
Timpal ibu mertuaku, entah apa maksudnya ia berkata demikian.
"Ada apa Cindy?" aku mengulang tanya.
"Gini, sebelumnya aku minta maaf, soalnya aku juga kak tahu kalau kejadiannya tuh bakal kayak gini," ia berbasa-basi.
Aku mengerutkan kening, mengapa Cindy berputar-putar bicaranya.
"Apa sih, coba deh kamu bicara ke intinya," pintaku tegas.
"Ini lho Mbak, tadi tadi siang bibi, asisten rumah tangga aku pergi ke kampung. Maksudnya, pulang kampung dulu, gitu. Katanya ada yang meninggal dunia, sanak saudaranya," jawabnya sungkan.
"Oh, terus?" tanyaku.
Perasaanku mulai tak enak dengan ungkapan Cindy.
"Iya, karena bibi, asisten rumah tangga aku lagi pulang kampung, boleh nggak aku minta tolong sama Mbak Wafa, untuk sementara waktu gantiin dulu bibi, gitu? sampai bibi balik lagi ke rumah ini?"
Ucapnya terlihat sok sungkan. Aku pun terkejut dengan permintaan Cindy.
Apa katanya? Aku jadi babu? di rumah ini? untuk sementara waktu? What?

Book Comment (275)

  • avatar
    waaphrr

    they say , if you lose something, it will be replaced with something better . however, I never interested with new people . I just want her back to be completely mine . It's sucks to realize the fact that you either gonna be the girl that i married to or the story that i tell my son when he get his first heartbreak . deeply inside i regret we cannot continue our story , im sorry it was all my fault , i will always wait for the last chance but i know it wont happen , i miss you . I miss us .

    30/08/2023

      0
  • avatar
    SetiadiWandi

    wahh kerennn kakkk 👍👍 penuh dengan cerita menarik dan pelajaran yang di petik.

    30/06/2022

      8
  • avatar
    SuhuWisnu

    iya

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters