logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Saat Hidupku Kedatangan Maduku

Aku teringat pesan Mas Galih untuk membangunkannya. Aku ragu karena Mas Galih tidur di kamar depan bersama Selly.
Aku tak mau mengganggu kebersamaannya bersama Shely, meskipun aku juga punya hak mengingatkan imam keluarga kecilku itu.
Bukannya aku takut dengan Selly yang mulai menunjukkan ketidaksenangannya padaku, tapi lebih baik aku menghindari konflik remeh temeh yang menguras pikiran dan perasaanku.
Sebentar lagi masuk waktu dhuhur. Kuputuskan mandi junub dulu. Setelah nanti sholat, akan kubangunkan Mas Galih. Ketika hendak mandi, aku terkejut bukan main. Dengan seenaknya, Selly makan dengan lahap apa yang kuhidangkan untuk Mas Galih.
“Selly? Lancang benar Kau makan tanpa izin dariku!” bentakku
“Emang salah? Uangmu dari Mas Galih kan?”
Selly seakan sudah siap dengan sikapku. Dia tetap cuek tak peduli. Apalagi merasa bersalah.
“Maksudmu?” aku bertanya dengan nada tinggi
“Inget ya? Mas Galih itu kalo nggak ditolong papaku, sekarang mungkin dia sudah jadi gelandangan. Uang gaji yang diterimanya, semua itu dari uang papaku, tahu?” ucapnya dengan nada mengejek.
“Jaga ucapanmu Sel! Mas Galih bukan sepertimu yang hanya menumpang fasilitas orang tua. Dia itu pekerja keras. Pantang baginya mengemis pekerjaan kepada orang lain.”
“Ok, kalo nggak percaya tanyakan saja sekarang! Dan inget ya? Sekarang akulah ratu di sini, bukan kamu lagi. Kalo kamu nggak suka silakan angkat kaki dari rumah ini sekarang juga.
“Jaga ucapanmu ya! Rumah ini dibangun oleh Mas Galih dari keringatnya sendiri, nggak ada sedikit pun bantuan dari siapa pun.”
“Dasar orang udik nggak tahu diri!”
Ingin rasanya aku tampar mulutnya biar tidak berkata kasar lagi. Mentang-mentang anak orang kaya seenaknya bicara ngamur dan menghina Mas Galih. Namun, aku juga sadar untuk melawannya langsung, jelas aku akan kalah. Apalah dayaku. Aku hanya istri yang tak punya pekerjaan. Jujur, aku sangat bergantung sama Mas Galih.
Aku memilih mengalah sementara. Biarlah Selly merasa angkuh dengan kekayaan yang dimilikinya. Namun, aku akan bertahan dengan keadaan ini. Tak akan kubiarkan Mas Galih dikuasai perempuan seperti Selly.
Aku bergegas mandi. Setelah mandi akan kubangunkan Mas Galih sesuai permintaannya.
Begitu selesai mandi, aku berjalan ke kamar depan. Ternyata Mas Galih sudah bangun. Dia duduk di kursi ruang keluarga. Dia menonton TV ditemani Selly yang bersandar di bahu kiri Mas Galih.
“Maaf, Mas. Itu sayurnya sudah matang. Mau aku hangatkan lagi?”
“Iya, Ret. Makasih. Habis ini Mas mau makan.”
“Nggak mau. Selly maunya Mas Galih tetep di sini, temani aku Mas!”
“Iya Sel, tapi Mas lapar. Kamu nunggu sebentar di sini, Mas mau ambil makan.”
“Kenapa nggak suruh Retno aja ngambilin ke sini? Katanya istri yang sholikah itu pandai melayani suaminya?”
“Ya, nggak gitu dong Sel. Retno kan dah capek masak, Mas tinggal makan. Apa salahnya ambil makan sendiri.”
“Selly maunya Mas di sini.”
“Biar aku ambilkan Mas!”
“Maaf ya, Ret?”
Aku hanya mengangguk pelan. Tanpa disuruh pun sebenarnya aku akan melayanimu mas. Bukankah selama ini seperti itu? Maafkan aku mas, gara-gara ada Selly aku tak melakukan seperti biasanya.
Aku membawa nampan berisi sayur dan lauk sisa bekas makan Selly. Sengaja kubawakan satu porsi nasi karena Selly sudah menghabiskan banyak nasi yang ada di magic jar.
“Kok sayurnya tinggal dikit, Ret?”
“E … tadi-“
“Tadi dah dimakan duluan sama dia. Mas hanya dikasih sisa. Istri kok ngasih sisa ke suami. Padahal uang belanja masih minta jatah.”
“Astagfirullah, bukan aku yang menghabiskan Mas. Justru Selly yang tadi makan seenaknya di ruang makan.”
“Ih, sorry ya? Mana mungkin aku makan makanan rumahan kayak gitu. Nggak level.”
“Level nggak level, tapi nyatanya kamu yang menghabiskan kan?”
“Dasar! Awas ya kamu!”
“Udah-udah! Mas ini lapar, mau makan kok malah kalian ribut.”
Aku meletakkan nampan di atas meja depan TV. Tetiba tangan Selly menyibak bahuku. Aku terhuyung hampir jatuh. Sayur yang dinampan tumpah. Nasi berhamburan di lantai.
Tanpa kuduga, Mas Galih langsung berdiri mencengkeram pundak Selly.
“Cukup Selly! Kamu jangan seperti itu! Retno itu istriku juga. Jaga sikapmu, atau Mas akan-“
“Akan apa? Mau nampar? Ayo kalo berani!”
“Bukan itu maksud mas, Sel!”
Kulihat Mas Galih segera memeluk Selly. Berusaha memperbaiki apa yang baru saja dilakukannya. Aku heran dengan perubahan sikap Mas Galih. Mengapa hanya dengan ucapan Selly seperti itu dirinya seakan lemah tak berdaya?
Mungkinkah apa yang tadi dikatakan Selly benar? Suamiku telah tergadai kehormatannya karena utang budi dari papanya Selly?
Aku mulai membersihkan lantai yang kotor oleh tumpahan nasi dan sayur. Namun, aku melihat Mas Galih memberikan isyarat dengan matanya agar aku segera pergi dari ruang keluarga.
Jujur, Mas. Aku merasa dirimu sudah jatuh dalam kendali Selly. Aku bingung harus bagaimana, menolongmu atau melepasmu. Aku ragu dengan sikapmu sekarang mas. Kamu seperti berdiri di dua kaki, antara aku atau Selly.
Mungkinkah dirimu mulai berubah? Aku hendak beranjak pergi ketika Selly justru meneriakiku.
“Hei, mau kemana? Bersihkan dulu sampai bersih lantainya!
“Aku bukan pembantumu, ya? "Sahutku ketus
“Udahlah Sel, nanti Mas yang nyapu gapapa, asal kalian bisa rukun, nggak saling bermusuhan gitu.”
“Uh, sebel!”
Aku segera begegas ke belakang meskipun kutahu Selly dongkol denganku. Selama aku bisa menimpali ulah Selly, akan kucoba bersikap semestinya sebagai seorang istri, bukan bawahannya, apalagi pesuruh yang seenaknya disuruh –suruh.
Aku langsung mencuci piring dan gelas kotor. Aku berusaha mengalihkan emosi yang tadi sempat tersulut oleh ulah Selly. Minimal, emosiku tersalur dengan melakukan pekerjaan yang memang sudah menjadi tugasku.
“Ret!
“Iya Mas”
Kubalikan badan memandang Mas Galih yang kini berada di depanku.
“Aku mau keluar sama selly bentar. Dia ngajak makan di luar. kamu mau dipesenin apa?”
“Nggak usah Mas. Aku udah makan tadi.”
“Tak belikan buah ya?”
‘Terserah mas aja. Maksih ya mas?
“Iya, yang sabar ya?”
“Hati-hati di jalan!”
Sebelum pergi Mas Galih sempat mencium dahiku. Aku pun mencium punggung tangannya.
Apakah aku tidak cemburu? Jelas aku cemburu. Aku perempuan normal. Namun aku terikat baktiku pada suami. Aku harus tetap menghormati pilihannya meskipun tidak sejalan denganku. Bagiku, suamilah jalan baktiku terakhir setelah kedua orang tuaku wafat.
Aku akan sekuat mempertahankan pernikahanku dengan Mas Galih. Meskipun aku harus berbagi dengan Selly. Selama Mas Galih tidak berubah sikapnya kepadaku, aku akan taat kepadanya.
Tentang Selly, aku tidak akan terlalu jauh merecokinya karena aku harus bisa memposisikan peranku sebagai seorang istri pertama. Bukan berarti aku akan menerima dengan apa adanya. Bukan, Aku bisa menolak bahkan melawan jika itu diperlukan.
Selama Mas Galih bisa adil, aku akan berusaha ikhlas menjalaninya. Namun, sebaliknya. Aku akan memprotes dan melawan ketidakadilan itu hingga batas akhir yang bisa kuperjuangkan.
****
Aku sedikit tersinggung ketika Mas Galih pulang hingga larut malam. Padahal tadi janjinya hanya sebentar. Buah yang dijanjikan Mas Galih pun urung dibelikannya. Aku memilih diam untuk meredam konflik.
Setelah membukakan pintu, aku langsung masuk kamar dalam. Kubiarkan Selly teriak-teriak minta tolong. Bukankah Pak Giman juga telah membantunya membawa barang belanjaannya?
Tak berapa lama, pintu kamar diketuk oleh Mas Galih. Aku beranjak dari tempat tidurku. Lalu kudekatkan telingaku ke daun pintu kamar.
“Ret, Maafkan Mas ya? Buka pintunya dong! Mas mau bicara.”
Aku menahan diri untuk tidak menanggapi Mas Galih.
“Besok aja Mas. Sekarang udah larut malam,” jawabku agak tinggi
“Buka bentar dong, Ret!”
Mas Galih kembali mengetuk-ngetuk pintu . Aku memilih menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu utama kamar. Biar Mas Galih tahu, aku tidak mau melayani permintaannya.
Samar-samar kudengar Selly marah-marah kepada Mas Galih. Ku urungkan niatku untuk rebahan di atas kasur.
Kembali kudekati daun pintu kamar.
Kudekatkan telingaku untuk menguping pembicaraan mereka.
“Tega ya kamu Mas? Aku kan punya hak lebih dibandingkan Retno. Kalo gini caranya aku pengin kita bulan madu aja ke luar kota yang lama.”
“Udahlah Sel, Mas Cuma ingin minta maaf, tadi udah janji belikan buah tapi nggak jadi gara-g-”
“Oh, jadi Mas nyesel? Mas lebih mentingin beli buah daripada nemeni Selly nonton film?”
“Bukan begitu Sel. Kamu jangan mudah salah paham!”
“Aku kecewa Mas, baru nikah belum ada sehari, tapi perhatianmu tidak sepenuhnya padaku. Kamu lebih mementingkan istri tuamu.”
“Sel, Kamu jangan seperti itu! Bukankah seharian aku selalu nemeni kamu jalan-jalan dan shoping juga?”
“Inget ya Mas. Aku bisa saja minta cerai secepatnya. Bila itu terjadi kamu tahu sendiri akibatnya. Semua modal yang papa berikan akan ditarik juga. Siap-siap saja gulung tikar dan kamu jadi gembel di jalanan.”
“Please, Sel!, Mas minta maaf. Mas nggak sengaja kalo itu menyinggung perasaanmu.”
Beberapa saat tidak kudengar percakapan antara Mas Galih dan Selly. Ketika kuintip dari lobang kunci, kulihat Mas Galih sedang memeluk Selly dari belakang dan menggodanya sebagaimana sering dilakukannya kepadaku.
Hatiku panas dibakar api cemburu. Kuputuskan cepat tidur dan melupakan apa yang baru saja kulihat. Kumatikan hape agar aku tenang tidak menerima pesan atau panggilan dari Mas Galih.
Namun, bayang-bayang Mas Galih memeluk Selly tidak bisa hilang dari ingatanku . Lalu kubayangkan kalau Selly itu adalah aku. Baru bisalah pikiran dan hatiku berdamai dalam kenangan indah bersama Mas Galihku.
*****

Book Comment (43)

  • avatar
    Maria Ilen Weni

    bagus dan saya suka

    15/08

      0
  • avatar
    Resa

    oke tirmakase

    06/08

      0
  • avatar
    Merida

    ceritanya bagus TPI masih penasaran dgn galih dgn selly

    05/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters