logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Pertemuan di Rumah Sakit

“Bu Retno positif hamil, selamat ya?”
“Maaf, usia kandungan saya berapa ya, Bu? “
“Kalau dilihat dari HPTH yang ibu ceritakan, usia janin ibu sekitar 1 bulan ato 6 minggu-an.”
“Tapi, benar 'kan Bu Bidan, kalo saya positif hamil.”
“Betul Bu. Hasil pemeriksaan urine juga menunjukkam kadar HCG tinggi. Itu berarti hormon kehamilan telah diproduksi dalam tubuh. Bisa dilihat dari tes urine atau darah juga.”
“Terima kasih, Bu Bidan.”
“Kalo Ibu pengin lebih mantap, bisa periksakan ke dokter spesialis kandungan. Dengan USG, akan nampak lebih akurat. Janinnya juga bisa dipantau, apakah ada kelainan ato tidak. “
“Iya, Bu. makasih sarannya. Setelah ini saya mau periksa dengan USG."
"Ibuk juga bisa punya dokumen foto janinnya juga "
"Sekali lagi, makasih ya Bu. “
"Iya, sama-sama Bu. Selalu jaga asupan yang bergizi dan jangan terlalu capek, ya Bu?”
Aku mengangguk dan pamit kepada beliau. Aku berdiri di depan puskesmas.
Kuraih hape dan membuka aplilasi ojol.
Aku memesan mobil. Tak mau buang waktu aku langsung ingin memeriksakan kandungan ke poli spesialis kandungan di rumah sakit. Kulihat jam tangan menunjukkan angka setengah sepuluh.
Aku mencari hotline rumah sakit dan mendaftar online. Alhamdulillah, maih bisa daftar, meskipun dapat nomor 35.
Tak sampai menunggu lama, notifikasi pun muncul. Driver OTW. Aku pun bersiap di pinggir jalan depan puskesmas.
Aku mendapat driver baru. Aku memilih banyak diam, bicara seperlunya. Aku lebih memikirkan bagaimana caranya meyakinkan Mas Galih dengan kabar bahagia ini. Tentu setelah aku memeriksakan kandungan dan mendapatkan foto rongent janinku.
Perjalanan ke rumah sakit hanya setengah jam. Kuberikan tips ke driver ojol, juga bintang lima.
Aku bergegas ke ruang pendaftaran. Kuperlihatkan notifikasi pendaftaran ke petugas. Aku langsung diminta menunggu di depan poli kandungan langsung. Poli itu ada di lantai empat gedung rumah sakit.
Aku memilih menggunakan lift meskipun antri beberapa saat.
Aku menunggu dua jam untuk mendapatkan pemeriksaan kandungan. Dokter yang memeriksaku perempuan.
“Lihat, Bu! Tanda positif yang berkedib-kedib itu menandakan ada janin yang nempel di rahim Ibuk.”
“Alhamdulillah, sudah berapa bulan dok?”
“Ya baru, 6 minggu.”
“Saya minta tips agar janinnya sehat ya, Dok.”
“Yang penting Ibuk jangan terlalu capek. Banyak makan sayuran, minum susu ibu hamil dan suplemen. Nanti tak kasih resepnya ya?”
“Apakah ada tandanya jika janinnya tidak normal?”
“Maksud, Ibuk?”
“Gini, Dok. Saya telah menunggu tiga tahun untuk kehamilan ini. Jadi saya ingin memastikan janinnya dapat berkembang hingga lahir dan sehat.”
“Untuk empat bulan pertama, ibu jangan mengangkat beban yang berat, atau naik turun tangga dulu.”
“Mengapa, Dok?”
“Janin yang menempel di dinding ahim belum terlalu kuat dan bisa aja terlepas.”
“Terus keguguran ya, Dok?”
‘Iya, Bu. Bisa juga janin itu masih bisa nempel tetapi tidak berkembang lagi.”
“Kok saya jadi takut, Dok.”
“Selama ibu tidak banyak melakukan hal yang esktrem, janinnya akan baik-baik saja.”
“Iya, Dok. Eh … boleh minta nomornya Dok?”
Dokter itu menatapku sesaat. Lalu dikeluarkannya kartu nama dalam kotak plastik yang berada di atas meja kaca.
“Makasih ya, Dok?”
“Sama-sama. Ibuk.”
Aku keluar dari poli menuju apotek di lantai yang sama.
Hatiku mendadak berdebar-debar ketika dari kejauhan melihat Selly mengambil obat dari apotek.
Aku segera mencari tempat duduk. Aku duduk membelakangi Selly yang sedang berjalan menuju lift. Aku mencuri-curi pandang untuk memastikan itu adalah Selly.
Aku bingung dengan apa yang kulihat. Itu adalah benar Selly.
Namun, bukankah pagi ini dia akad nikah dengan Mas Galih?
Mengapa Selly bisa berada di rumah sakit?
Hatiku mendadak berdebar-debar ketika dari kejauhan melihat Selly mengambil obat dari apotek.
Aku segera mencari tempat duduk. Aku duduk membelakangi Selly yang sedang berjalan menuju lift. Aku mencuri-curi pandang untuk memastikan itu adalah Selly.
Aku bingung dengan apa yang kulihat. Itu adalah benar Selly. Namun, bukankah pagi ini dia akad nikah dengan Mas Galih?
Mengapa Selly bisa berada di rumah sakit?
Aku mencoba menghubungi mas Galih. Panggilan dariku tidak diangkat. Kuulangi sampai empat kali namun hanya mailbox. Kutulis pesan singkat.
[Assalamu’alaikum, Mas. Gimana acara akad nikahnya? Semoga lancar ya?]
Beberapa saat menunggu, pesan terkirim. Namun, mas Galih belum membukanya.
Aku pulang memesan taksi online. Setengah jam lebih aku baru sampai di rumah. Namun, tak ada jawaban pesan atau panggilan balik dari mas Galih. Aku jadi penasaran.
Kucoba hubungi Pak Giman, sopir pribadi Mas Galih. Aku langsung video call. Beberapa saat menunggu akhirnya diangkat juga.
"Assalamu’alaikum Bu
Wa’alaikum salam. Gimana Pak acara akad nikahnya? Lancar?"
"Lancar, Bu. Sudah selesai dari tadi."
"Jam berapa selesainya
Sekitar jam 9-nan?"
"Kok Cuma sebentar?"
"Iya, Bu karena tidak ada acara lainnya. Undangan juga terbatas, hanya delapan orang."
"Terus sekarang lagi nunggu apa?”
“Saya menunggu Pak Galih pulang dari rumah sakit.”
“Lho, emangnya yang sakit siapa?”
“Anu, Bu. Tadi setelah akad selesai, tiba-tiba mbak Selly muntah dan keluar keringat dingin.”
“Oh, ya udah. Nanti kalo pulang wa lagi ya? Hati-hati nyopirnya, Pak."
"Iya, Buk. Siap."
Usai menelpon badanku terasa lemas. Tulang-tulangku seakan ngilu. Aku cemburu dengan yang dilakukan mas Galih. Dia lebih mementingkan Selly daripada aku. Dadaku bergemuruh, tak kuasa kutahan air mata yang menghangati kedua mataku.
Di sini, di rumah ini aku sendiri. Rela tidak rela aku harus mau berbagi dengan Selly. Rasanya hampa.
Jika menuruti emosi, ingin kugugurkan saja janin ini. Namun, aku sadar. Jika aku menyerah, Selly akan mudah sekali mencampakkanku dari kehidupan Mas Galih.
Aku tidak boleh patah semangat. Janinku harus sehat. Akan kubuktikan bahwa aku bisa hamil dan punya anak.
Aku jadi teringat berbagai upaya telah aku lakukan dengan Mas Galih agar aku bisa hamil. Kehamilanku adalah sebuah anugerah yang besar.
Bukankah, aku dulu divonis tidak akan memiliki anak oleh beberapa dokter spesialis kandungan?
Astagfirullah, kuatkanlah hambamu ya Rabb. Aku bergegas menuju kamar. Kuletakkan hape di atas meja rias. Kurebahkan diri ini hingga lelah merengkuhku ke alam mimpi di siang hari.
*****
Aku terbangun saat kudengar adzan dari aplikasi pengingat waktu sholat. Segera kutunaikan kewajibanku. Beberapa saat kemudian kuambil hape. Ada pesan masuk dari mas Galih.
[wa’alaikum salam. Alhamdulillah lancar, hanya tadi Selly sempat muntah dan keringat dingin. Mungkin kecapekan saja]
Aku merasa tidak tega dengan Mas Galih jika kutulis pesan yang menyelidik. Aku tahu kondisi Mas Galih pasti capek. Tak baik jika aku mulai menanyainya dengan perkataan yang menyinggung perasaannya.
[Amin, semoga tidak terjadi apa-apa, ya Mas?]
[Oh ya, maafkan Mas ya? Tadi tidak bisa nganter periksa. Mungkin lain waktu akan kuantar periksa ke dokter kandungan. Kamu tinggal minta kapan, aku antar]
[Iya, Mas. Makasih]
Dalam hatiku yang paling dalam, kuakui aku masih menyakinimu, Mas. Aku tahu dirimu suami yang baik. Mungkin perkataanmu kemarin benar. Ibulah pertimbanganmu menikahi Selly, bukan yang lain.
Namun, mengapa diri ini terasa berat menerima kehadiran Selly di kehidupan keluarga kita. Begini beratnya dimadu, tak seringan omongan orang tentang poligami. Mungkinkah aku sanggup hidup bertiga dengan Selly?
Tetiba hapeku berbunyi. Ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Kubuka pesan itu.
[Ini, dengan Bu Retno ya?]
[Iya, dengan siapa ya? Saya Dokter Pratiwi]
[Oh, dokter. Gimana Dok?]
[Maaf, apakah Bu Retno kenal dengan Bapak Galih?]
[Galih Sanjaya?]
[Iya Bu. Galih Sanjaya]
[Itu suami saya. Memangnya kenapa Dok?]
[Oh, ya sudah nggak papa. Saya hanya memastikan saja data dari Pak Galih]
[Maksud Dokter?]
[Sebelumnya saya minta maaf, bukannya ingin mencampuri privasi Ibuk. Apakah suami Ibuk poligami dengan Bu Selly?]
[Iya, Dok. Dokter kenal Selly?]
[Bu Selly juga pasien saya Bu Retno. Tadi periksa selang empat nomor antrian dengan Ibuk]
[Jadi Selly periksa kehamilan juga?]
[Iya, usia kandungannya hampir bersamaan dengan Ibuk. Lebih tua janin Bu Retno 3 minggu]
Aku jadi tahu, ternyata tadi Selly periksa kandungan juga. Kini aku hanya bisa berharap Mas Galih bisa menepati janjinya. Janji akan langsung menceraikan Selly ketika aku telah positif hamil.
Namun aku jadi ragu. Mungkinkah mas Galih tega menceraikan Selly dalam keadaan hamil seperti itu?
****

Book Comment (43)

  • avatar
    Maria Ilen Weni

    bagus dan saya suka

    15/08

      0
  • avatar
    Resa

    oke tirmakase

    06/08

      0
  • avatar
    Merida

    ceritanya bagus TPI masih penasaran dgn galih dgn selly

    05/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters