logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Pak Ketos

Aku tak mengenalnya, tapi aku menyukainya. Hanya karena sebuah lemparan sepatu membuatku menjadi tertarik padanya-Alvian Aroyan Pratama.
***
"Sama siapa tadi?" Anaya mendongak saat mendengar suara dingin dari seorang pria.
Anaya langsung kembali menunduk saat orang tersebut menatapnya dengan dingin. Tatapan yang selalu lembut kini berubah menjadi sebuah tatapan yang dingin.
"Mas, udah kasihan 'kan Anaya–nya. Baru aja ketemu udah langsung kamu marahin aja," ucap seorang wanita cantik yang berjalan dari belakang suaminya.
Firhan menghela nafasnya kemudian menatap adik sepupu kesayangannya dengan senyum manis. Gak bisa dia tuh marah-marah sama sepupu cantiknya ini.
"Gak kangen sama Abang?" tanyanya dengan merentangkan kedua tangannya, seolah minta dipeluk.
Abang idaman emang, bukan kaya yang lain kalo ketemu adiknya pasti ngajak berantem terus kalau gak berantem ya adiknya di jadiin babu.
"Kangen lah! Tapi Abang dateng-dateng langsung marah-marah, padahal baru aja nyampe loh," balasnya dengan memanyunkan bibirnya. Dia baru sampe dan langsung disembur gitu aja.
Mereka tertawa melihat tingkah Anaya yang tak pernah berubah, ia tetaplah gadis kecil yang manis dan manja.
"Oh jadi cuma kangen sama Abang doang, sama kakak enggak nih? Oke fine," ucap Any dengan cemberut.
Anaya tersenyum dan langsung menerjang kakak iparnya. "Kangen dong! Oh ya, baby mana?" tanya Anaya sembari celingukan mencari keberadaan sang ponakan.
Jadi dia tuh punya satu ponakan kesayangan anak cowok, anak dari Firhan sama Anya.
"Tuh di dalem, dari tadi nangis mau ketemu kamu, eh kamu nya malah pacaran," goda Any.
Sekali-kali godain adiknya, soalnya baru kali ini dia ngeliat Anaya mau dibonceng sama cowok yang bisa dibilang asing atau gak deket sama keluarganya.
"Pacaran apa sih, orang tadi aja Anaya nyasar entah kemana, untung ada orang tadi," balasnya sengit tak terima sama perkataan kakaknya.
"Antee!" suara seorang balita berumur dua tahun terdengar nyaring ditelinga mereka.
"Hey sayang," balas Anaya sembari menciumi pipi balita tadi.
Balita itu terkekeh geli saat Anaya mencium seluruh wajahnya, "Ihh Ata eli." Anaya tertawa melihat tingkah Atala yang kegelian.
Gemes banget woy pengen Anaya kurung di kamarnya aja rasanya, tapi nanti emak bapaknya pada ngamok.
***
Malam yang sunyi membuat hati semua orang tenang tak terkecuali Alvian. Ia juga sangat menyukai malam yang sunyi seperti ini. Menurutnya malem yang sunyi itu benar-benar nenangin pikiran, dan dia suka banget itu.
Sembari mengisap rokok lalu menghembuskannya ke udara, Alvian berdiri menikmati angin malam yang menerpa wajah. Berdiri sendiri di atas rooftop adalah kebiasaannya. Dia sebenarnya parno sih awalnya, tapi karena keseringan merokok sama berdiri sendiri di rooftop ini jadi dia gak takut lagi. Lagian selama dia berdiri di sini gak ada satu hantu pun yang nampakin diri, jadi yah Alvian mah tenang-tenang ae.
Gak tau kenapa dia suka banget hal-hal yang seperti itu, biasanya para remaja akan memilih menghindari dan meninggalkan tempat sepi seperti rooftop sekolah apalagi saat malah hari, tak ada seorang pun yang berlalu lalang di situ, bahkan saat siang saja sangat jarang ada yang pergi ke rooftop. Coba pikirkan, berdiri di atas rooftop sendirian dan pada malam hari, bukankah itu sedikit menyeramkan? Tapi kan Alvian udah biasa.
"Cewek tadi cantik juga," monolognya sembari membayangkan wajah gadis yang ia temui sore tadi.
Beneran wajahnya itu tuh gak bisa pergi dari pikiran Alvian, bayangan wajahnya itu lewat terus. Padahal namanya aja dia gak tau.
"Andai gue bisa ketemu lagi, udah gue jadiin cewek gue tu orang." Alvian terkekeh kecil membayangkan wajah masam dan ketakutan gadis tadi, pengen rasanya Alvian culik terus bawa nikah lari.
"Kenapa gue jadi suka ngebayangin tu cewek? Padahal dia keliatannya biasa aja, tapi kenapa gue ngerasa aneh kalo ada di samping cewek tadi?" gumamnya lirih.
Dia natap ke arah langit yang emang lagi banyak banget bintangnya. "Apa gue suka sama dia?"
"Woi bos! Ngapain lo ngomong sendiri di situ? Kesambet ya lo?!" teriak seseorang di belakang Alvian. Alvian menoleh ke belakang dan mendapati Raden dan juga Deo sedang berdiri di depan pintu rooftop.
Sebenarnya mereka udah dari tadi di situ liatin bosnya ngomong sendiri, agak merinding sih soalnya mereka pikir bosnya ini punya mata kaki, eh mata batin maksudnya.
"Ngapain lo?" tanya Alvian dengan menaikkan alisnya, tak biasanya dua curut ini menyusul dirinya ke rooftop.
"Lo yang ngapain, ngomong sendiri kaya gitu, punya temen hantu lo?" tanya Deo sambil gidik ngeri, kan kalo beneran serem juga.
Alvian jatuhin putung rokoknya terus dia injek biar mati apinya. "Sembarangan, gue aja takut sama yang begituan!"
"Lo lagi mikirin apa? Kayaknya gue denger lo lagi mikirin cewek?" tanya Raden menghiraukan perdebatan dua temannya.
"Gue suka sama cewek," balas Alvian sembari menatap gemerlapnya kota yang dihiasi oleh berbagai macam lampu yang berwarna-warni.
Raden dan Deo saling pandang, mereka tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan. Benarkah Alvian yang selama ini jadi jomblo karatan sudah mulai menyukai gadis? Wah amazing banget sih.
"Lo beneran bos? Alhamdulillah, gue kira lo gay." Alvian langsung memukul mulut Raden.
"Sembarang! Jadi lo kira gue selama ini gay!" sungut Alvian, enak saja ia dibilang gay. Walaupun ia lama tak pacaran, bukan berarti ia menyukai sesama jenis.
Ya masa jeruk makan jeruk, gak elit banget.
"Ya kali aja, lo 'kan sama Radit berdua terus, kita kira kalian gay," ucap Deo enteng, sedangkan Alvian sudah menatapnya nyalang.
Anak buahnya ini emang ngawur banget pikirannya, mentang-mentang dia jarang pisah sama wakilnya itu dikira belok dong. Kayaknya pikiran mereka sama pikiran papinya emang satu server deh soal mikir kalo dia gay.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Alvian melangkah meninggalkan dua orang di belakangnya itu. Kesel dia tuh sama mereka.
"Woi mau kemana lo?" tanya Raden waktu ngeliat Alvian jalan ngejauh.
"Balik! Males ngurusin orang gila kaya kalian!" teriak Alvian yang mulai ngejauh dari rooftop.
***
Seorang gadis manis berdiri di depan cermin sembari membolak-balikkan badannya untuk melihat apakah penampilannya sudah cukup perfect untuk hari pertamanya.
Tangannya terulur untuk mengambil benda kecil di atas meja riasnya lalu mengoleskannya pada bibir ranumnya yang sedikit kering.
"Yaps perfect," gumamnya lalu menyambar tas hitam yang ia taruh di atas ranjang.
Ia berlari kecil menuruni anak tangga rumahnya. Senyumnya tak pernah pudar dari bibirnya. Mungkin Anaya sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, tapi bukan berarti ia melupakan semua kenangannya dan teman-temannya di rumah lamanya.
Ia turun ke bawah untuk sarapan pagi setelah itu ia berpamitan dengan ibunya sebelum berangkat menuju sekolah barunya bersama sang ayah.
Mereka telah sampai di sekolah baru Anaya. Anaya berdiri sebentar di depan gerbang sekolah sebelum benar-benar melangkah masuk ke halaman sekolah. Sekolah ini gak jauh beda sama sekolahan lamanya.
"Not bad lah," gumam Anaya.
Ia berjalan mencari letak ruang kepala sekolah, gak perlu muter-muter kayak di film-film itu kok soalnya setelah masuk gedung terus masuk lorong disana udah mading dan ada denahnya.
Sekarang dia udah sampe di depan pintu coklat yang terbuat dari kayu jati. Dengan gugup dia mulai ngetuk pintu kayu yang sedikit kebuka itu.
Tok ... Tok...
"Masuk!" Mendengar suara dari dalam, Anaya memasuki ruangan kepala sekolah dengan perlahan.
Di sana tampak ada dua orang laki-laki, satu menggunakan jas dan satu lagi menggunakan seragam sekolah.
"Anaya Tabitha Davinson? Murid pindahan dari Bandung?"
"Benar Pak, itu saya," ucapnya dengan tersenyum.
"Baik, Andrew bisa kamu aja siswa baru ini untuk berkeliling sekolah? Dan tunjukkan di mana kelasnya, Bapak sedang ada urusan penting dan wali kelasnya hari ini tidak berangkat," pintanya sembari menatap siswa tadi.
"Baik Pak, kalau begitu kami permisi," ucapnya sopan.
"Ayo," ajaknya pada Anaya.
"Permisi, Pak," pamitnya pada sang kepala sekolah.
Anaya tersenyum lalu mengikuti langkah laki-laki itu. Andrew membawanya untuk melihat-lihat seluruh penjuru sekolah.
"Btw, kenalin gue Andrew ketua OSIS di sini," ucap Andrew dengan mengulurkan tangannya.
Anaya membalas uluran tangan Andrew dengan tersenyum manis. "Anaya."
Andrew terpana saat melihat wajah manis Anaya ketika tersenyum, sungguh ia terlihat lebih manis berkali-kali lipat saat tersenyum.
Beneran gak bohong, ini Anaya keliatan manis banget woy apalagi cacat di salah satu pipinya yang bakal keliat jelas kalo dia lagi senyum.
"Oh ya, gue boleh minta kontak lo? Itung-itung kalo ada masalah atau ada apa-apa lo bisa langsung hubungi gue," ucap Andrew dengan tertawa kecil.
Sebenarnya bukan apa-apa sih, cuma pengen modus dikit aja. Lumayan kan bisa dijadiin gebetan.
"Boleh-boleh, nih," ucap Anaya dengan memberikan ponselnya.
Andrew mengambil ponsel itu lalu menekan beberapa digit nomornya, lalu menyimpannya. Tak lama ponselnya ikut berdering. Setelah itu ia mengembalikan ponsel milik Anaya.
"Lo udah punya nomor gue dan gue juga udah punya nomor lo, jadi kalo ada apa-apa jangan takut buat telpon gue," ucapnya panjang lebar dan dibalas anggukan kecil oleh Anaya.
"Lo udah ada kenalan disini?" tanya Andrew memecah keheningan diantara mereka.
Anaya sedikit nengok ke arah Andrew terus geleng kecil. "Belum sih, tapi beberapa sepupu gue ada yang sekolah di sini," jawabnya.
"Berarti gue temen pertama lo dong," ucap Andrew dengan bangga.
Anaya terkekeh kecil, "Yups, benar banget."
Mereka pun melanjutkan perjalanan sambil ngobrol-ngobrol kecil. Lebih banyak Andrew yang tanya-tanya soal kehidupan Anaya sih. Tapi tetep gak melampaui privasi kok.
"Nah sekarang kita sampe di gedung GSG," Kat Andrew pas mereka masuk ke gedung sayap kiri bagian depan, gedung yang pertama Anaya liat waktu masuk gerbang setelah gedung kantor sama masjid.
"Gede banget ya," komentar Anaya begitu menginjakkan kakinya memasuki gedung GSG itu.
Adrew cuma ketawa kecil. "Yeah, biasanya dibuat anak-anak pentas seni sih sama kadang kalo aula lagi kepake gedung ini juga buat kumpul."
"Kadang juga buat olah raga, yah namanya juga gedung serba guna," katanya sambil ketawa kecil.
Anaya ngangguk kecil, dia masih terpukau sama bagusnya gedung Gsg ini. Padahal udah ada aula tapi ada Gsg juga.
"Oke mau lanjut?" tanya Andrew sambil natap Anaya.
Cewek itu langsung ngangguk antusias, gak sabar dia mau liat gedung-gedung lainnya di sekolah barunya ini.
Mereka pun lanjut ke gedung kantin yang gak jauh dari Gsg, keliatan sepi banget soalnya bel masuk udah bunyi sekitar lima menit yang lalu waktu mereka di Gsg.
"Ini kantin, ini karena baru masuk aja jadi sepi kaya gini. Biasanya gak sedikit juga sih yang bolos ke kantin," jelas Andrew.
Lagi-lagi Anaya dibuat kagum sama desain kantinnya, jadi disini ada bangku yang disusun keluar dari kantin ada juga yang di dalem ruangan, vibesnya kayak cafe-cafe gitu.
Setelah itu mereka lanjut ke gedung paling belakang, di sana ada tempat renang. Sekolah ini emang terkenal sama atlet renangnya, bahkan ada yang sampai internasional dan bawa pulang mendali perak dari Asian games.
Setelah selesai di gedung itu mereka lanjut lagi, sekarang giliran yang outdoor. Pertama mereka ke lapangan buat futsal terus lanjut lapangan voli, terus yang terakhir lapangan basket.
Dan yang terakhir mereka lagi istirahat di taman belakang sekolah, Anaya udah ngeluh capek karena muterin satu sekolah.
"Gila ternyata gede banget ini sekolah," gumam Anaya sendiri.
Dia cuma duduk sendiri di salah satu bangku bawah pohon. Iya, soalnya si Andrew lagi izin buat ke koprasi bentar tadi katanya gak tau tuh mau ngapain tu anak.
Tiba-tiba aja Anaya kepikiran sama temen-temennya, kira-kira mereka lagi apa ya? Kok jadi kangen gini padahal baru beberapa hari dia pindah ke sini.
Anaya berjangkit kaget waktu ngerasain ada benda yang dingin nempel di pipinya, dia noleh kebelakang dan ngeliat Andrew lagi nyengir sambil megangin dua botol minuman dingin yang tadi sempet ditempelin ke pipi Anaya.
"Bikin kaget aja sih lo!" ketus Anaya kesal sambil natap tajam Andrew.
Andrew cuma ketawa doang terus duduk di samping Anaya. "Ngelamun aja, mikirin apa sih ...?" tanya Andrew, dia ngasih botol minum yang sempet dibeli tadi ke Anaya. "nih minum dulu pasti haus 'kan?"
Anaya senyum sumringah, dia ambil botol ini sambil ngelempar senyum manis ke arah cowok tinggi itu. Anaya akui cowok di sampingnya ini benaran perhatian sebagai seorang ketua OSIS. Sebagai ketua OSIS ya gak lebih kok, tapi gak tau deng nanti, eh?
"Makasih pak ketos, perhatian banget deh," kata Anaya terus buka tutup botolnya.
Andrew cuma geleng-geleng kepala, baru pertama ketemu tapi rasanya udah nyaman banget di samping Anaya. Bener-bener ni anak kayaknya gampang banget narik perhatian orang dan bikin orang itu nyaman banget sama dia.
"Iya sama-sama, yaudah habisin baru nanti gue anterin ke kelas. Kayaknya hari ini kelas baru lo hari ini jam kos deh," jelas Andrew sambil minum minumannya.
Anaya cuma ngangguk doang terus lanjut minum, haus dia tuh sebenernya tapi gak berani ngajak kantin.

Book Comment (105)

  • avatar
    Arif Karisma

    Ceritanya sangat menarik dan menghibur saya suka sekali dengan alur ceritanya semangat

    14/06/2022

      0
  • avatar
    YanaKadek tisna

    sangat luarbiasa

    15/08

      0
  • avatar
    suharmin

    tingi

    12/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters