logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Dimensi 4 : Kurcaci di Pohon Pinch

Raja Peri Yorda menjelaskan pada kami, kenapa mau menguji para manusia yang datang kemari? Sebab sudah banyak kejadian para manusia yang baru saja masuk kemari, berbuat hal tak baik.
"Seperti merusak tanaman disini dan berniat membawanya pergi. Bahkan, ada beberapa peri yang dipaksa untuk dibawa pulang ke dimensi manusia."
"Tapi, kami saja tidak bisa kembali ke dimensi kami."
"Dulu manusia mudah melakukan itu! Maka sebagai bentuk antisipasi, ayahku memasang pelindung sihir khusus."
Itulah mengapa, manusia yang datang kemari akan mengecil tubuhnya seukuran peri. Kami semua akhirnya paham dengan kondisi tubuh ini yang tiba-tiba menjadi seukuran peri.
"Kalian tidak mau berada lama disini dan ingin kembali bukan?"
"Ya, kami bisa sampai disini karena sebuah kecelakaan."
Semua mata tertuju pada Arya. Laki-laki bertubuh ramping itu nampak terkejut. Dia mulai menunduk sambil sesekali tetap melirik ke arah kami.
"Aku kan hanya mengambil satu batu artefak yang tertinggal. Mana aku tahu kalau pada akhirnya membuat kita terjebak disini."
"Ahmed, kurasa Arya benar! Ini bukan sepenuhnya salah dia."
"Lagipula, tak ada gunanya lagi kita saling menyalahkan. Toh, semuanya sekarang berada disini."
Raja Peri Yorda hanya tersenyum tipis. Ia mulai mengajak kami ke ruangan yang lain. Dalam ruang itu, terdapat satu cermin oval besar dengan pinggirannya yang terbuat dari emas serta berbentuk ukiran indah. Aroma harum tercium melewati hidung kami.
"Kami bangsa peri biasa memakai cermin ini untuk melaksanakan tugas di dimensi manusia."
"Anda mau membantu kami kembali kesana, Yang Mulia Raja?"
Raja tampan itu hanya mengangguk. Selangkah ia maju, lalu menggerakkan tongkatnya pada cermin itu. Mengetuknya tiga kali dan kami melihat sesuatu yang tak asing.
"Ini area perkotaan! Akhirnya kita bisa kembali."
Tak sadar kami sudah bersorak-sorai gembira sambil melompat. Arya malah menari-nari tak jelas. Nyonya Rira meminta ijin untuk melakukannya terlebih dahulu.
"Baiklah, kita akan aww!"
"Bzzzt!"
"Nyonya! Anda tidak apa-apa?"
"Jariku tersetrum cermin itu!"
"Anda mau menyakiti atasan kami?"
Arya nampak marah sambil berkacak pinggang pada sang raja. Jelas bukan sikap yang sopan sampai para prajurit peri pun maju untuk berjaga. Khawatir jika raja mereka diserang oleh kami.
"Aku tidak tahu! Selama ini, cermin menjadi pintu bagi kami untuk masuk ke dimensi kalian para manusia."
"Tidak, ada sesuatu yang salah disini!"
Aku mencoba mengamati lebih dekat cermin itu. Saat hendak menyentuhnya, teman-temanku sudah ribut untuk memperingatkan. Namun aku tetap nekat melakukannya!
"Bzzt!"
"Uugh!"
"Artemis! Kenapa kau ikut menyentuhnya juga?"
"Aku hanya mau mencobanya. Pedih sekali rasanya!"
Aneh, aku yang memiliki kekuatan EARTHSEED elemen tanah saja masih terasa sedikit setrumannya. Dulu, setruman apapun tak terasa usai kekuatan itu aktif di tubuhku. Bahkan jari yang kugunakan untuk menyentuh cermin itu masih terasa pedih. Meski tidak sampai terpental seperti Nyonya Rira tadi.
"Kita sebagai manusia tidak bisa memakai jalan ini!"
"Hah! Lalu harus pakai cara apa lagi?"
"Ini sekedar saran saja bagi kalian."
Raja Peri Yorda meminta kami untuk menemui Bangsa Kurcaci Ras Faeza. Mereka juga tinggal di Padang Rumput Xana. Tepatnya di Kebun Buah Pinch. Baiklah, ini buah apalagi?
"Ras Faeza adalah makhluk yang bertanggung jawab atas mimpi baik manusia. Mereka akan mengusir mimpi buruk atau setidaknya menjaga mimpi baik para manusia."
"Mereka juga sama pernah ke dimensinya manusia?"
"Tentu saja! Mereka akan bekerja pada malam hari. Berbeda dengan kami yang bekerja saat pagi hingga sore hari dan hanya setiap akan datang musim semi disana."
"Semoga mereka punya cara untuk membawa kita kembali."
"Kemana kita harus mengarah, Yang Mulia Raja?"
"Cari saja, Pohon Pinch! Pohon itu berbatang kecil dan tumbuh melengkung ke dalam pada batang yang dekat dengan tanah. Kalau kalian punya alat penunjuk arah, cari ke barat!"
Mungkin maksud raja itu adalah kompas. Ahmed kembali melihat kompas yang dia temukan, tapi tetap saja jarumnya berputar terus. Kurasa percuma memanfaatkan alat itu untuk saat ini.
"Kalau malam kita bisa manfaatkan rasi bintang sebagai penunjuk arah."
"Memangnya kau bisa, Arya?"
Laki-laki itu hanya nyengir sambil menggosokkan tangannya ke belakang kepalanya. Ah, Arya ini banyak omong! Tapi pembuktiannya kurang.
***
Kami keluar dari area Pohon Misterius Guarda. Entah kemana kaki akan melangkah. Setahuku, disini hanya ada hamparan rumput yang luas. Pohon tumbuh sangat jarang, bahkan jaraknya berjauhan.
"Namanya kebun buah itu semestinya penuh dengan beberapa pohon yang masih sejenis."
"Itu nama pohonnya atau nama kebun sih?"
"Nama pohon, Ahmed!"
"Bagaimana kalau yang itu? Kurasa cirinya sama dengan yang disebut oleh Raja Peri Yorda."
Ya, memang ada pepohonan dengan batang kecil tumbuh melengkung ke dalam di bagian ujung dekat tanah. Secepat itu kami menemukannya. Kupikir bisa berhari-hari berada di Padang Xana yang rasanya tak ada apa-apanya ini.
"Pohonnya aneh sekali! Jadi, ini namanya Pohon Pinch?"
"Lalu ini buahnya? Sekilas mirip seperti buah Pepaya."
"Kelihatannya ini manis ya, boleh kita makan?"
"Kalau tak ada hologram atau penunjuk apapun yang menyatakan ini milik seseorang, berarti sah untuk kita makan."
Ahmed mengeluarkan pisau sakunya. Ia memotong buah Pinch yang menggelantung tak terlalu tinggi. Warnanya oranye bercampur sedikit kehijauan. Saat dibelah, tercium aroma yang kira-kiranya sih ini manis kalau dimakan.
"STOP! Ahmed, jangan lakukan itu! Memangnya kau lapar ya?"
"Ti-tidak Nyonya Rira! Ta-tapi aku ingin tahu, apa rasa buah aneh ini?"
"Kita tidak tahu buah ini beracun atau...eh! Siapa kau?"
Muncul lagi sosok aneh, dia lebih pendek dari kami semua. Daun telinganya lebih runcing dan panjang daripada milik para peri. Ia menggunakan bahasa isyarat yang melarang kami untuk memakannya.
"Oh, baiklah! Kami tak boleh memakannya ya?"
Masih ia hanya menggeleng. Apa makhluk ini tuna wicara? Arya maju ke depan dan memperhatikan lekat makhluk satu ini. Namun dia malah ketakutan dan berlari meninggalkan kami semua disini.
"Hei, kembaliii...!"
"Aduh, kenapa dia malah lari sih!"
"Kita cari saja, aku curiga dia masih bangsa kurcaci."
Arya lebih paham dengan makhluk dunia dongeng. Kami akhirnya mengikuti dia saja. Ah, cepat sekali makhluk itu pergi! Kemana tadi arahnya ya?
"Kita berpencar saja!"
"Kebun ini terlalu luas, bisa bahaya kalau...ah, itu dia!"
Jari Ahmed menunjuk pada satu arah. Kami semua sepakat untuk berjalan tanpa suara. Mengendap-endap begini ini rasanya seperti maling saja. Namun saat sudah dekat, kami lupa sesuatu.
"Baaaa...!"
"Selamat ulang tahuuun!"
"Hei, siapa yang ulang tahun disini?"
"Makhluk itu...ah, dia pingsan!"
Jelas saja dia kaget dan pingsan. Aduh, betapa bodohnya kami. Kebiasaan kalau berada di kantor juga suka buat konten prank semacam ini, lalu di video-kan.
"Kalian ini ya! Bisa lebih dewasa sedikit?"
"Tapi, kami sudah dewasa nyonya!"
"Iya, brewok dan kumis kalian tidak ada artinya lagi kalau sikap masih seperti ini. Cepat, bangunkan makhluk itu!"
Reflek aku memegang kumis tipis milikku. Sementara Ahmed mengusap brewoknya beberapa kali. Baru saja mau menyentuh kurcaci itu, tiba-tiba muncul kurcaci lain yang memeluknya. Ia mencoba untuk menyadarkan sesamanya. Siapa lagi dia ini?

Book Comment (143)

  • avatar
    ZalRizal

    500

    11d

      0
  • avatar
    Aj Mi

    mantap

    25d

      0
  • avatar
    SptrTristan

    bagus sekali

    22/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters