logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Pengikat

Apa itu tadi? Perdebatan macam apa yang terjadi antara Arvin dan Davin di perjumpaan pertama mereka? Ada sisi yang membuat Juwi merasa hal tersebut mengesankan. Arvin tampak sangat jantan sekaligus lebih rupawan dibanding Davin. Namun ada sisi yang membuatnya jadi bertanya-tanya dan merasa heran. Kenapa sikap Arvin tadi agak berbeda dengan kenyataan?
Dia tampak tidak suka, seperti... orang cemburu saja.
“Aku mau tanya sama kamu.” Arvin berhenti tepat setelah menyimpan kopernya di depan lemari. “Kenapa cowok tadi nggak pakai baju? Cuma kaus kutangan aja, dia nggak malu apa?”
Juwi buru-buru meletakkan barang bawaannya di atas meja. “Tadi kan di parkiran A Davin coba cek kerusakan mobil aku, jadi kap depannya dibuka, kotor deh bajunya. Jadi cuma pakai kaus kutang sama jas lab aja yang kebetulan dia bawa.”
Arvin menyipitkan mata, tapi kemudian segera mengusai dirinya lagi. Perasaan apa sih ini? Kenapa mengganggu sekali? Arvin bukannya tidak tahu kalau Juwi banyak yang suka, harusnya dia terbiasa dengan hal itu.
“Siang bolong ke mana-mana cuma kutangan, mana dadanya buluan,” gerutu Arvin pelan.
Tiba-tiba saja Juwi tersadar, bukan dirinya yang berusaha Arvin lindungi dari kehadiran Davin. Mendengar bulu dada disebut barusan, Juwi tahu bahwa Arvin sebisa mungkin ingin menghindar dari hal-hal yang membuat konsentrasinya buyar. Dia pasti takut jatuh hati pada Davin, terutama setelah pindah ke sini otomatis Arvin jauh dari Danish. Mungkin dia tengah memendam hasrat untuk mencari pengganti.
“Maaf, Kak. Nanti aku nggak akan bawa Kak Davin ke sini lagi.” Juwi menundukkan kepala dan membuang napas demi mengusir sesak di dada.
Ternyata, insecure itu seperti ini, ya? Juwi yang seumur hidupnya dipuji dan diperebutkan oleh banyak lelaki harus ditampar oleh kenyataan sekeras ini. Cemburu pada laki-laki, rasanya... seperti tidak punya harga diri. Secantik apa pun Juwi, bagi Arvin itu tidak berarti. Lelaki itu mungkin hanya bilang suka padanya karena menghargai perasaan Juwi saja. Selebihnya tidak ada apa-apa, dia punya tujuan, hubungan ini dijalin demi kesembuhan.
“Neng,” panggil Arvin pelan, dia menunggu gadis itu mengangkat kepala dan menatapnya. “Boleh aku panggil kamu begitu juga?”
Juwi buru-buru menyunggingkan senyum dan mengangguk. “Boleh, Kak.”
“Maaf ya tadi sikap aku nggak sopan di depan teman kamu.” Arvin buru-buru mengakhiri suasana tidak nyaman di antara mereka.
Melihat Juwi berdiri jauh darinya dengan raut merasa bersalah sungguh membuat Arvin iba. Lagi pula harusnya sikap seperti tadi di depan Davin amat tidak diperbolehkan. Dia kan harus berpura-pura untuk sementara, Arvin harus berakting sebagai lelaki penyuka sesama jenis, bukan yang cemburu hanya karena gadisnya diantar laki-laki lain. Sikap apa sih itu barusan?
Ayo berakting sungguh-sungguh, Vin! Rebut hati Juwi secepat mungkin!
“Nggak papa, Kak. Aku ngerti.” Juwi memutuskan untuk menjawab setelah lama diam. “Kak Arvin udah makan?”
“Belum. Belum lapar soalnya, mau beres-beres dulu aja.”
“Oh, oke. Biar aku bantu.”
Berada satu ruangan dengan Juwi tentunya bukan hal baru bagi Arvin. Namun, hari ini rasanya amat berbeda, dia bisa melihat Juwi sedekat ini, sejelas ini, bahkan melihat Juwi dengan pribadinya yang lain. Gadis itu memang memiliki pembawaan yang cueknya sangat keterlaluan, menurut Arvin. Baru beberapa hari lalu mereka saling menyetujui perjodohan bodoh ini, Juwi sudah nampak tidak canggung lagi.
Gadis itu tengah membantu merapikan barang-barang Arvin, mereka berdiri bersebelahan dan jantung seseorang kebat-kebit saat ini. Tapi Juwi terlihat biasa saja, dia tidak canggung sama sekali. Mereka bahkan baru dekat dan bicara beberapa kali.
“Kuliah Kakak gimana?” Juwi memulai obrolan basi untuk mencarikan suasana mereka yang beku. Sebenarnya, hatinya berdegup kencang sejak tadi. Namun rasanya cukup bodoh jika ia merasakan hal itu sendiri, karena tidak mungkin Arvin merasakan hal yang sama. Pemuda itu berbeda dengan lelaki pada umumnya, jadi dengan menebalkan wajah setebal tembok China, Juwi berusaha bersikap tak acuh seperti biasanya.
“Lagi ngurus administrasi,” jawab Arvin singkat, kelihatan sekali jika ia masih gugup dan canggung. “Kamu... hebat, ya. Jebolan IPS tapi bisa masuk Farmasi,” balas Arvin kemudian, mencoba terdengar biasa saja.
Juwi tersenyum kecil. Arvin tidak tahu saja perjuangannya yang penuh darah dan air mata. Mengatakan dan menyaksikannya memang terdengar mudah.
“Kak, aku mau tanya.” Juwi duduk di kursi yang sedianya dijadikan tempat untuk belajar dekat meja di sana. “Ini soal perjodohan kita.” Dia menjeda dan menunggu Arvin duduk menghadapnya. “Apa sebenarnya tujuan Kak Arvin? Mau sembuh? Kenapa nggak langsung menikah aja? Setahu aku, para penderita kelainan itu sembuh kalau dia udah pernah mencoba berhubungan intim sama perempuan, itu kayaknya lebih gampang dan masuk akal,” jelas Juwi panjang lebar.
Sejak kabar perjodohan dan penyakit Arvin itu, sebenarnya dia ingin sekali mengatakan hal ini. Mungkin sekarang saatnya, dan Juwi tidak sadar betapa Arvin sangat terkejut sampai terbatuk bahkan memukuli dadanya sendiri. Dia gay yang aneh.
“Ampun,” Arvin tersenyum geli setelah selesai dengan acara kaget-kagetnya. “Aku masih muda, kamu juga. Emang kamu mau nikah sama aku sekarang? Terus tidur bareng?” tantang Arvin dengan seringai nakal, membuat Juwi mengernyit dan melihatnya dengan tatapan aneh.
Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
“Kak... belum pernah coba tidur bareng seseorang, kan? Ah, bukan, maksudnya selama di Jakarta, Kak Arvin belum pernah pacaran sesama jenis terus... berhubungan intim, kan? Kakak ikutan organisasi LGBT itu, nggak?” Juwi balas bertanya sambil memiringkan wajahnya.
“Ke....kenapa kamu nanyanya begitu?” Arvin balik bertanya dengan wajah tak percaya, dia tidak tahu jika Juwi bisa blak-blakan begini kepadanya.
“Soalnya kalau Kak Arvin pernah berhubungan sama laki-laki, pasti susah nyembuhinnya,” jawab Juwi nyaris berbisik.
Bolehkah Arvin berpikiran yang tidak-tidak saat ini? Sudah sejauh apa Juwi menganggapnya sebagai penyuka sesama jenis?
“Nggak, nggak pernah,” sanggah Arvin buru-buru. Dia takut Juwi semakin berpikiran buruk dan jijik kepadanya. Takut sekali.
Atau mungkin sudah.
“Oh, oke. Kayanya nggak akan susah, lagian tidur bareng zaman sekarang kan nggak mesti nikah dulu,” gumam Juwi sekali lagi.
Arvin membelalak tak percaya mendengar ucapan gadis itu. “Ma...maksudnya?”
“Eh, maaf. Aku terlalu buru-buru, ya?”
Gadis itu sama sekali tidak tampak ingin menampik dugaan yang mampir di kepala Arvin. Tidur bersama katanya tadi? Jangan bilang—
“Ya... nggak gitu, maksudnya aku juga pengen cepet-cepet sembuh, tapi emangnya nggak ada cara lain apa? Itu kan mesum.” Arvin sudah merona merah karena malu.
“Nggghh, aku juga nggak tahu.” Juwi mendesah pelan sambil menengadahkan kepArvinya. “Aku kan nggak pernah pacaran sama gay sebelumnya, aku nggak ngerti cara bikin mereka sembuh dan akhirnya jadi suka sama aku tanpa harus mengubah diri jadi laki-laki juga. Kakak ada ide, nggak?”
“Nggak ada.” Arvin menggeleng cepat.
Tadinya, dia merasa sangat terkejut akan perkataan Juwi, namun kembali lagi pada sisi di mana sebenarnya Arvin adalah laki-laki normal, maka dia merasa sangat beruntung jika Juwi bersedia melakukan hal itu. Hey, Arvin ini laki-laki tulen! Dia kucing garong penyuka ikan sarden. Kalau tiba-tiba disodori ikan tuna, kenapa harus menolaknya, kan?
“Nanti coba aku pikirkan cara yang lain, aku harap Kakak cepat sembuh,” jawab Juwi penuh harap, dia tersenyum lagi pada Arvin, dan ini semua masih terasa seperti mimpi.
“Ehm.. tunggu dulu, aku dengar bu..bukannya kamu punya calon sebelum nerima lamaran aku, Neng?” tanya Arvin kemudian, keluar dari topik pembicaraan mereka.
“Ya?”
“Ibu yang kasih tahu.” Dan hal itu yang jadi akar masalah mereka untuk perjodohan gay ini.
“Iya. Cowok yang tadi itu mantan calon suami aku.”
Davin? Arvin membulatkan mata tak percaya. “Serius kamu? Yang barusan? Davin? Dan kalian masih—”
“Memangnya kenapa?”
“Kenapa?” ulang Arvin tak percaya mendapati calon istrinya memasang tampang begitu polos dan menyebalkan seperti itu. “Ya itu nggak bolehlah,” larang Arvin terang-terangan.
Kenapa tidak boleh? Davin dan keluarganya sudah mengenal Juwi sejak dulu sekali, sejak Arvin belum hadir di kehidupan mereka.
“Kami nggak bisa berhenti jadi teman hanya karena batal dijodohkan.”
“Apa kamu bisa jamin dia nggak menaruh perasaan?”
Kenapa sih, Arvin? Juwi tidak mengerti kenapa dia harus se-posesif ini. Mereka bahkan tidak ada hubungan sebelumnya, bicara saja tidak pernah. Beraninya menahan Juwi tidak berteman dengan Davin.
“Bahkan kita baru berani ngobrol sekarang setelah kenal selama bertahun-tahun. Bisa nggak hal itu jadi urusanku aja? A Davin ada di hidup kami sebelum kemunculan kalian. Aku cuma harus bantu Kak Arvin sembuh, kan? Itu yang Ibu bilang ke aku.”
Jawaban Juwi membuat rahang Arvin mengeras, dia menahan emosinya berkali lipat dibanding saat mendengar kabar bahwa Juwi dijodohkan. Namun saat ini, dia juga berusaha untuk tidak mengakui kebohongan begitu saja. Arvin takut Juwi menjauh, semakin marah kepadanya, lalu membatalkan perjodohan mereka.
“Jadi kamu pikir, setelah aku sembuh kita selesai gitu? Kamu nggak pengen aku benar-benar suka sama kamu? Lalu kita menikah dan bahagia?” jawab Arvin terburu-buru dengan napas menderu.
“Jadi sebenarnya Kak Arvin nggak benar-benar suka sama aku?” Juwi terjebak pada kata yang diucapkan lelakinya sendiri. “Maksudnya... suka... sebagai laki-laki ke perempuan.” Gadis itu menekankan.
Lalu Arvin menyukainya sebagai apa?
“Neng, maksudnya—”
“Kenapa aku harus berharap Kakak suka sama aku? Ah, nggak gitu. Kita pikirin jeleknya dulu, gimana kalau ternyata Kakak nggak sembuh? Terus aku? Terjebak sendirian? Aku... jatuh hati sendirian? Bertepuk sebelah tangan?”
Tanpa ada seorang pengganti dan pengobat luka? Itu gunanya Davin ada di antara mereka. Sebagai cadangan, andai Juwi patah hati dan hubungannya dengan Arvin tidak ada harapan.
“Kamu takut suka sama aku duluan dan aku enggak. Gitu, kan? Kenapa kamu nggak ngarep aku bisa sembuh dan pada akhirnya punya perasaan yang sama ke kamu? Memangnya aku kelihatan senggak ada harapannya buat jadi cowok normal? Kenapa kamu kelihatan ragu dan nggak percaya ke aku?”
Arvin menaikkan nada bicaranya lalu berhenti dan terengah-engah. Dia mati-matian menahan diri untuk tidak membongkar identitas dan perasaannya saat ini. Arvin ingin sekali berteriak bahwa dia bisa menjamin itu. Bahwa Juwi tidak akan bertepuk sebelah tangan.
Juwi memucat karena terkejut. Lalu gadis itu segera tersadar bahwa dia salah, cepat-cepat dia mendekat dan menyentuh tangan Arvin, mencoba membuatnya tenang. “Maaf ya, aku tahu Kakak pengen banget sembuh. Maafin aku karena masih ragu,” potong Juwi cepat-cepat sebelum Arvin lebih marah.
Ini pertengkaran pertama mereka sebagai pasangan, bukan? Semakin mengenalnya, Juwi makin menarik bagi Arvin. Seperti membuka kotak pandora yang punya banyak sekali kejutan tak terduga. Arvin kira Juwi gadis yang tenang dan tidak banyak menaruh peduli. Ternyata dia salah selama ini.
“Bantuin aku, kalau perlu kita tidur bareng sekalian andai kamu anggap itu cara tercepat buat nyembuhin aku.”
Ke mana si manja yang hobi gemetar seperti agar-agar itu? Ternyata rasa cemburu bisa membuat Arvin begitu berani dan bergelora seperti saat ini sampai dia lupa caranya untuk grogi.
Sebenarnya dia kesal, karena Juwi benar-benar menganggapnya gay sungguhan. Jadi, gadis itu begitu meremehkan perasaannya. Ini semua gara-gara ibunya! Namun tidak ada yang bisa Arvin lakukan selain mengakuinya saja, agar Juwi merasa perlu melakukan ini, menerima lamarannya, bertahan di sisinya bahkan melakukan hal-hal yang lebih terhadapnya.
“Oke, Kak.”
Juwi harap, mereka bisa melakukannya. Bersama-sama.
Dia hanya memiliki harapan sebagai satu-satunya amunisi untuk hubungan ini.
Tidak ada yang salah dengan berharap. Percayalah, semua orang boleh berharap, tapi semua harapan memang tidak pernah menjanjikan, jadi bersiap saja. Terkadang saat kita tidak punya kekuatan atau senjata untuk menghadapi masa-masa tersulit dalam hidup, hanya harapan lah satu-satunya pegangan. Jadi, jangan takut untuk berharap. Jangan takut untuk merasa sakit, jangan takut untuk melakukan apa pun. Jangan takut dengan rasa takut, kita hanya harus berani untuk mendapatkan keberanian.
Sebab... hanya itu yang Juwi miliki saat ini.
**
Ini adalah era internet, Juwi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk bergumul dengan benda-benda yang berhubungan dengan itu. Bahkan untuk masalahnya dengan Arvin sekalipun, Juwi mengandalkan mesin pencari demi menemukan jawaban atas segala tanda tanya dalam hati yang mengganggu.
Berbagai keywoard dengan bunyi, ”Bagaimana menyembuhkan gay?” dan lain-lain dia ketik di jendela browser-nya. Dan dari berbagai sumber, jawaban yang dia temukan terdiri atas beberapa macam, tapi yang paling masuk akal, mudah serta efektif adalah terapi. Ya, Arvin harus terapi pada ahlinya. Juwi bahkan bergabung ke sebuah grup di Facebook di mana itu adalah wadah tempat berkumpulnya para gay yang ingin taubat dan juga wadah untuk wanita-wanita pasangan dari pria gay berbagi cerita.
Juwi mengelus dada. Luar biasa mereka, kisahnya lebih banyak yang membuat pilu. Yang semakin parah lebih banyak dibanding yang berhasil sembuh. Dan bukan hanya rasa cemburu, para wanita ini harus menanggung luka yang amat perih selama pasangan mereka mendua dan membagi hatinya ke sesama kaum lelaki.
Di titik ini, Juwi tahu bahwa kecantikan serta kemolekan tubuhnya tidak berarti. Bagaimanapun dia berusaha, Juwi tidak akan mudah membuat Arvin ingin.
“Neng?” panggil Arvin hati-hati. Sejak pertama masuk ke mobil Juwi diam saja, tidak mengeluarkan suara, sibuk mendandani wajahnya dengan berbagai jenis makeup sebab mereka akan pulang ke Lembang. “Laper, nggak?”
“Makan di rumah aja,” jawab Juwi sekadarnya. Dia fokus menatap cermin di dashboard dan meratakan cushion di wajah. Pikirannya sejak tadi melayang setelah pencariannya tentang kelainan seksual itu semalam. Juwi merasa ragu dan tidak mampu, dia takut dirinya tidak setangguh itu. “Kakak lapar?”
“Iya. Tapi nanti aja makan di rumah kamu. Kangen sama nasi goreng Tante Lia.”
Nasi goreng ibunya? Juwi mengingat-ngingat bahwa itu hanya nasi, garam dan bawang saja. Bagaimana bisa Arvin merindukan masakan begitu sederhana sementara dia bisa makan makanan mewah setiap harinya?
“Oke kalau gitu.” Juwi kembali fokus pada kegiatannya.
Dia sibuk membenahi riasan serta membuka rol rambut yang menggulung poni depannya. Juwi terlihat cantik sekaligus menggemaskan. Selama berhenti di lampu merah, Arvin mencuri pandang dan mengagumi pemandangan luar biasa itu di sebelahnya. Juwi punya tulang hidung tinggi, mata yang indah, bibir tipis serta dagu apel berbelah. Dia sempurna, mungkin Tuhan khilaf menciptakannya hingga tertukar dengan paras bidadari.
Tin tin!
“Ih, ngagetin aja!” geram gadis itu keki saat lampu baru saja hijau nol koma satu detik sementara pengendara di belakang mereka sibuk menekan klakson dan tampak ingin menyalip. “Sabar, Pak!”
“Berisik banget, sial! Itu lampu baru hijau setengah detik! Pencet-pencet klakson mulu, lo pikir ini lomba cerdas cermat, hah?!”
Ternyata Arvin tak kalah emosi. Dua orang itu kompak mengumpat pengendara tak sabaran yang terlihat ingin buru-buru pergi. Ya ampun, memangnya siapa yang tahan dengan kemacetan? Semua orang juga ingin cepat sampai ke tujuan, tapi mereka harus sabar karena mobilnya bukan Ambulance.
“Belagu.” Juwi melipat kedua tangan di atas perutnya sambil menatap mobil tadi dengan tatapan ingin membunuh. “Kejar, Kak. Bisa nggak?”
“Hah?” Arvin terperangah. “Terus nanti kalau udah dapet kita apain?”
“Tabrak aja.”
Arvin tergelak lebih dulu dan tawa Juwi menyusul kemudian. Ternyata untuk hal ini keduanya satu frekuensi. Lucu sekali. Arvin yang biasanya melihat Juwi sebagai sosok gadis kalem, cuek, tidak banyak bicara, tidak bertingkah aneh, cukup terkejut mendapati kenyataan ini. Bahwa, ternyata Juwi cukup barbar meski dia terlihat seperti orang yang sabar.
Imej yang selama ini terbentuk di kepala Arvin adalah persepsi dari pikirannya sendiri. Dia yang membuat dinding di antara mereka dan memberi label bahwa Juwi sulit didekati. Juwi gadis yang sulit, dia banyak yang suka dan lain sebagainya. Jadi Arvin hanya diam dan menunggu sampai waktunya tiba. Dan ketika melihat sosok ini, sisi lain dari Juwi yang tidak dia ketahui, Arvin nyaris kehilangan seluruh rasa gugupnya. Juwi tidak sekaku yang dia pikir. Juwi... menyenangkan.
Arvin kira mereka tidak akan selamat sampai ke Lembang karena ini kali pertama keduanya berduaan dalam mobil. Dia mungkin bisa pipis di celana karena grogi atau gemetar dan tidak sanggup memegang kemudi. Ternyata tidak, pikirannya mulai jinak.
Mereka akan baik-baik saja, bersama-sama.
“Kaget nggak sih, Kak? Ternyata Kota Kembang sama macetnya kayak Jakarta.”
“Hm, lumayan.” Arvin mengulum senyum usai mencuri tatap ke samping kirinya. “Kirain agak mending, ternyata nggak ada bedanya. Sama-sama macet juga.”
“Dan bikin kita terjebak di dalamnya.”
“Kita nggak kejebak macet, Neng. Kita penyebab kemacetan itu sendiri.”
Juwi terpekur dengan pernyataan itu. Entah mungkin ini pertama kali mendengar Arvin mengatakan hal-hal secara universal, pandangannya barusan kedengaran keren. Juwi melirik ke samping kanan, Arvin menyetir kendaraan untuknya, berdua saja, kali pertama. Dia menawan. Side profil-nya sempurna. Arvin seolah punya resep rahasia untuk jadi tampan, rupawan sekaligus menggemaskan dalam satu waktu.
Yang membuat Juwi terkagum-kagum adalah letak tahi lalat di ujung hidungnya, itu unik sekaligus cantik. Dia memiliki aksesoris langka yang tidak dimiliki setiap orang di dunia. Ekslusif. Kapan-kapan Juwi ingin menyentuhnya kalau boleh, dan kalau bisa.
“Aduh, kompaknya pasangan baru ini!”
“Uwuwuwu go public!”
“Arvin sama Juwi ternyata serasi, ya.”
Mungkin ini bisa disebut agenda yang terlupakan karena rutinitas mereka berdua. Tapi pertemuan keluarga tidak bisa dihindari usai Maharaja menerima lamaran Arvin melalui Wan Fenty tempo hari. Jadi sekarang mereka berkumpul untuk merayakannya dengan makan bersama.
Lucunya, Arvin dan Juwi kompak memasang ekspresi datar, tidak terpengaruh dengan godaan dan sambutan berlebihan barusan, terlihat biasa-biasa saja, kendati jantung keduanya kebat-kebit tak keruan.
“Lempeng banget dua-duanya,” komentar Juan. “Mah, ini kayak yang terpaksa nerima perjodohan, kan?”
“Nggak. Kata siapa terpaksa?” sahut Juwi tak terima.
Ini hanyalah mekanisme pertahan diri. Tidak boleh tampak terlalu bahagia apalagi merona karena digoda dengan Arvin. Juwi tidak boleh baper sendiri, sementara Arvin mungkin risih atau tidak peduli.
“Iya, ih, Dede! Kata siapa terpaksa? Tuh, lihat wajahnya Neng sama Pipin berseri-seri bahagia begini kok, ya...”
Pasangan baru itu kompak mengulum senyum dan berusaha setengah mati untuk tidak merona karena malu.
“Anakku, bertambah satu Intan Baiduriku...” Wan Fenty mengulurkan tangan ke arah calon menantunya lalu mengelus rambut panjang gadis itu. “Ibu mau bawa telengkai kemari, tapi Arvin bilang tak perlu dulu. Biar keluarga inti yang berkumpul hari ini, kau tak apa-apa kan, Nak?”
Juwi mengernyit, telengkai itu apa?
“Itu... rombongan, Neng. Yang pada bawa seserahan.” Atalia memahami kebingungan putrinya. “Makcik mau kita lamaran resmi.”
Arvin dan Juwi kompak memerah bersama, ini susah sekali dikendalikan. Membayangkan keduanya harus bertingkah bak pasangan di depan banyak orang membuat mereka sama-sama malu. Baik Juwi maupun Arvin belum siap untuk itu.
“Iya, ibu takut kau merasa tak dihargai.”
“Nggak apa-apa, Bu.” Juwi justru senang tidak ada acara besar-besaran yang harus mengumpulkan banyak orang.
Mereka semua sibuk membenahi meja besar untuk makan bersama. Tidak ada yang spesial, Juwi hanya minta acara keluarga sederhana yang intinya menyematkan cincin pengikat di jari manis sebagai tanda bahwa mereka telah dijodohkan. Dia sendiri tidak banyak membahas hal itu dengan Arvin kendati mereka cukup dekat akhir-akhir ini. Juwi masih terlalu canggung membicarakannya.
“Kau bawa kan, Vin?”
“Bawa.” Arvin menganguk. Dia merogoh saku kemejanya dan meletakkan kotak cincin berwarna biru yang terbuat dari beludru di atas meja. Yang bahkan... Juwi tidak tahu kalau Arvin membawanya.
“Sudah besar anak ayah, nak meminang anak gadis orang kau sekarang.” Moeis tersenyum bangga pada putra satu-satunya. Arvin berani mengambil tanggung jawab ini di usianya yang masih terbilang muda.
Setelah mengikat seorang gadis dalam perjodohan keluarga, jelas Arvin tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Dia memiliki target untuk dicapai sebelum menikahi calon istrinya.
“Saya mau tiga tahun dari sekarang paling cepat,” ucap Jiwan Maharaja membuka sesi syarat dan ketentuan acara lamaran. “Neng Juwi harus lulu sebagai sarjana farmasi sebelum dipinang Bang Pipin.”
“Iya, benar.” Atalia mengamininya. “Saya persilakan Pipin menikahi anak kami saat pendidikan profesi, tapi sebelum selesai kuliah jangan dulu menikah.”
“Kau bagaimana, Vin?” tanya Wan Fenty pada putranya. “Kau bisa, kan?”
“Bisa.” Arvin langsung menyetujuinya. “Aku sanggup.”
“Juwi bagaimana?” Mereka beralih pada si perempuan yang belum mengeluarkan pendapat apa-apa perihal masa depannya.
“Iya.” Gadis itu pun mengangguk setuju. Tidak apa-apa, 3 tahun cukup lama untuk berproses. 3 tahun adalah targetnya untuk membawa Arvin ke jalan yang benar.
“Maka dengan ini, kau—anakku, Raratya Juwi Carissa Maharaja, kami ikat dengan perjodohan keluarga dan siap mengabdi, berlaku setia dalam penantian untuk jadi calon mempelai Arvin Wijaya Pradipta di masa depan.” Wan Fenty sengaja menjeda sebelum menyematkan cincin di jari manis calon menantunya. “Kau bersedia?”
Juwi mengangguk tanpa ada keraguan di matanya. “Aku bersedia.”
Dan dengan demikian, cincin berlian itu melingkari jari lentiknya sebagai pengikat. Juwi kira Arvin yang akan melakukan itu, ternyata malah sang ibu. Dia harus maklum, Arvin mungkin tidak akan nyaman menyentuhnya dengan sengaja.
“Makasih, Juwi.” Suara Arvin menyeruak di tengah-tengah.
Suara yang tidak pernah didengar orang-orang di sana sebelumnya. Terutama karena dia menyebut nama Juwi di depan keluarga untuk kali pertama. Keduanya saling menatap meski duduk berseberangan, entah apa yang mereka pikirkan. Tapi jangankan dua wanita senior di sana yang tingkah lakunya seperti mak comblang, para lelaki pun ikut terkesan. Bahkan Juan, berdebar tak keruan.
Hubungan Juwi dan Arvin terjalin aneh, sangat aneh.
Tidak pernah saling sapa apalagi bicara bertahun-tahun lamanya, kemudian sekarang terikat perjodohan keluarga. Aneh, bukan?
“Apa lihat-lihat?” tanya Juwi galak pada sang adik saat mereka sibuk menyantap hidangan, dan sepertinya Juan mencoba dekat-dekat dengan Arvin. “Jangan ngobrol kalau lagi makan,” ujarnya memberi alibi.
“Ada yang mau aku omongin sama Abang,” bisik Juan pelan. “Aku mau kembalikan—”
“Nggak usah.” Juwi balas berbisik sambil melotot pada Juan. “Jangan dekat-dekat.”
Jangan dekati Arvin maksudnya. Juwi harus mulai memangkas kedekatan Arvin dengan pemicu kelainannya itu. Dan setelah Danish, Juan adalah target nomor dua. Mereka harus jaga jarak, Juwi juga tidak mau bersaing dengan Juan si bocah ingusan.
“Posesif,” cibir anak remaja itu pada kakaknya, sementara Arvin melihat interaksi dua orang itu dengan tatapan heran.
“Kena—”
“Nggak, Bang. Nggak papa.” Juan buru-buru menghindar dari tatapan Arvin karena memang ada hal yang mengganggunya. Untung saja Arvin mengerti, dia tidak gigih mengajak Juan bicara lagi.
Arvin juga harus berlapang dada saat mengetahui bahwa dirinya terang-terangan dijauhi. Dia bahkan tidak bisa masuk ke kamar Juan lagi, ada Juwi yang siap siaga mencegatnya masuk ke sana, beralibi mengajak Arvin memberi makan ikan atau menyapa si Bule di kandang. Ada-ada saja memang tingkahnya.
“Tiga tahun,” ucap Moeis ketika menyambangi anak dan calon menantunya ke kandang sapi di belakang bangunan utama. “Waktu yang cukup buat penjajakan, saling mengenal, pacaran, jalan-jalan, bertengkar, marahan,” sambungnya sambil menunggu reaksi dua anak muda di sana. “Kalian harus coba semua sebelum terikat janji pernikahan.”
Juwi segera membenahi posisinya dan menganggukkan kepala. “Iya, Pak.”
“Tapi ingat, tolong jaga diri, jaga masa depan kalian. Karena tinggal berdekatan, kalian mungkin merasa bebas, apalagi sudah dijodohkan begini, mungkin ada pikiran tak perlu takut lagi sebab nanti pun kami akan sama-sama. Tolong jangan, ya? Terutama Arvin, kalau kau sayang dengan Juwi, maka tugas utamamu adalah menjaganya. Secara harfiah maupun istilah.”
Itu wejangan yang baik dari seorang ayah untuk anak laki-lakinya. Arvin tahu ayahnya perhatian, tapi aneh sekali karena harus mendengarnya di sini padahal mereka bisa membicarakannya secara pribadi. Sayang sekali itu tidak terjadi, Moeis tidak punya banyak waktu untuk keluarganya sendiri. Mereka jarang berjumpa meski tinggal di atap yang sama sebelumnya.
“Ayah harus jagain Ibu kalau gitu, jangan sering nggak pulang.” Arvin membalasnya sengit. “Kasihan Ibu sendirian.”
“Iya, Nak.” Moeis terkekeh sembari menepuk-nepuk pundak anaknya. “Sudah besar kau ya, Vin. Ayah masih terkenang saat kau bayi dulu, ayah yang gendong pertama kali.”
“Aku bahkan sekarang bisa bikin bayi kalau Ayah mau.” Arvin melepas pegangan sang ayah di bahunya. “Jadi kalau Ayah mendua karena Ibu nggak bisa kasih bayi lagi, aku bisa wujudkan keinginan itu sama Juwi—nanti. Saat itu terjadi, Ayah nggak punya alasan buat pulang ke rumah perempuan lain hanya karena dia bisa kasih Ayah seorang bayi.”
Juwi terpekur di tempatnya berdiri. Apa yang didengarnya saat ini? Ungkapan frustrasi seorang Arvin Wijaya? Apa ini salah satu pemicu kenapa dia jadi penderita kelainan seksual?
“Juwi, maaf kamu harus tahu semuanya.” Arvin peka melihat Juwi membeku dengan kedua mata membola karena ucapannya. “Kamu calon istri aku, jadi hal ini nggak perlu kami sembunyikan. Ini kebenaran.”
Bahwa, keluarga Arvin aslinya berantakan. Pernikahan orangtuanya diwarnai duka perselingkuhan. Juwi harus tahu mulai sekarang, karena Juwi calon istrinya, masa depannya, dia harus menerima Arvin dan keluarga mereka apa adanya.
“Kakak nggak papa?” tanya Juwi setelah Moeis Sidiq meninggalkan keduanya tanpa mengatakan apa-apa.
“Karena hal barusan?” Arvin memastikan, Juwi mengangguk sebagai jawaban. “Sekarang udah mendingan.”
Dulu Arvin melakukan percobaan bunuh diri 3 kali sehari, seperti jadwal makan. Itu juga sebuah kebenaran.

Book Comment (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters