logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Percikan

Kimia Farmasi adalah mata kuliah paling susah di dunia. Bukan hanya bagi Juwi yang notabene sekolah di jurusan IPS semasa SMA, bahkan mereka yang di jurusan IPA juga mengalami kesulitan yang sama. Kimia Farmasi adalah bencana meskipun tujuan pembelajarannya sederhana. Mereka hanya harus menganalisis zat untuk obat, cara kerja obat, mengenal sifat zat-zat obat. Namun pada praktiknya, semua tidak sesederhana itu.
“Aku pasrah aja,” kata Andrea sambil merebahkan kepalanya di atas meja. “Mana Bu Des judes pula. Udahlah.”
“Alasan, terima kasih.” Astrid menyahuti. Dua teman dekat Juwi itu berkumpul di mejanya. “Makan, Ra? Apa ganjel dulu pake dimsum aja?”
“Aku mau ceker setan, yuk jajan!”
“Hari ini jajan ke kantin FK, yuk!” Juwi yang di kampusnya dipanggil Rara itu memberi ide tiba-tiba. “Kantin mereka bersih dan higienis banget, kan?”
“Iya sih, tapi harga jajanannya juga jadi mahal.” Andrea melipat tangan di dada. “Cuma ya, lumayan sih daripada kantin teknik. Sekalian cuci mata juga.”
Juwi menyengir senang sebab dua temannya setuju untuk jajan ke sana. Fakultas Farmasi belum memiliki kantin sendiri, entah kapan itu akan terjadi. Padahal iuran semesteran mereka cukup mahal, mungkin dananya dikorupsi, who knows, kan?
Jadi sehari-hari mereka harus menumpang ke kantin teknik yang asap rokoknya setebal kabut kawah, atau ke kantin kedokteran yang harga makanannya sedikit lebih mahal karena itu kantin para sultan. Ternyata di jenjang kuliah pun hirarki itu sudah sangat nyata, bahkan sekelas kantin saja sudah beda levelnya.
Kedokteran dan gedung mereka yang agung terletak di jajaran paling depan, jadi wajah universitas. Sementara yang biasa-biasa saja ada di belakang, mereka harus ikhlas. Jajanan di kantin kedokteran juga lebih sehat dan berkelas.
“Padahal aku teh pengen seblak,” gerutu Andrea karena makanan itu tidak akan mereka temukan di kantin agung ini. “Rara mau jajan apa ke sini?”
“Si Rara tujuannya ke sini bukan buat jajan.” Astrid berbisik pada temannya. “Dia mah udah janjian sama Kak Devan.”
“Davin.” Orang yang dimaksud Astrid barusan berjalan mendekat dan mengoreksi namanya cepat. “Maaf ya, harus repot datang ke sini,” katanya pada Juwi.
“Nggak papa, A. Sekalian cari makan.” Juwi membalas sapaan Davin lebih dulu. Sebenarnya dia masih enggan membahas kegagalan mereka, terutama karena Atalia meminta Juwi untuk diam saja, biar orangtua yang mengurusnya.
Namun Davin ngotot ingin bertemu dan bicara, jadi Juwi datang padanya sekarang.
“Aa nggak enak mau ngomong di depan temannya Neng, tapi kayaknya nggak apa-apa deh sekarang.” Davin to the point sekali, dia tahu tujuan Juwi mengajak teman-temannya agar mereka tidak bebas membahas hal pribadi. “Kamu teh beneran terima dia karena suka, kan? Bukan apa-apa?”
Juwi melotot, tidak menyangka jika Davin bisa nekat juga. “I...iya.”
“Ya udah kalau gitu mah, Aa lega dengernya. Tapi kan kalian masih muda ya, Neng. Nggak perlu buru-buru, kita juga nggak tahu masa depan bakal gimana, pokoknya sebelum kalian resmi menikah, Aa akan nungguin kamu.”
Dua teman Juwi membuat reaksi seperti kucing terjepit pintu. Pekikan mereka tertahan di tenggorokan, sementara Juwi sudah memerah hingga ke kupingnya, lalu hanya sanggup mengangguk tanpa suara.
Bohong kalau dia bilang hatinya baik-baik saja. Dia merasa sesak sekaligus tersanjung dan bahagia. Davin mungkin tidak lebih tampan dari Arvin, tapi dia lihai sekali membuat Juwi merasa aman dan terlindungi layaknya agen asuransi.
“Aduh, Ra... seriusan itu teh?” Astrid memekik heboh saat mereka kembali berjalan ke gedung farmasi. “Ini kayak mimpi pisan ih sumpah!”
“Bener. Ini lebih sweet dari pernyataan cinta. Kang Davin bukan kaleng-kaleng pokoknya mah!”
“Ra, kamu nggak sayang modelan gitu dianggurin? Mending pasang dua, selingkuh aja, mumpung masih muda dan ada kesempatan. Semua peluang harus dicoba, Ra.”
Juwi melirik pada Astrid yang sarannya kadang-kadang menyesatkan.
“Kalau yang ngajak selingkuh model Kang Davin sih aku mah memilih untuk khilaf dan menutup mata. Masih pacaran, Ra, belum nikah juga. Jangan terlalu cinta. Cintai pacar kamu sewajarnya.”
Wejangan yang luar biasa. Juwi diam saja sampai tiba di kelas setelah menelan dua potong dimsum ayam dan rumput laut sebagai pengganjal perut.
Dia bingung pada perasaannya sendiri.
Arvin dan Juwi dijodohkan, dan lamarannya sudah diterima. Jika hubungan mereka cedera, semuanya tidak akan sederhana. Keluarga mereka ikut terlibat di dalamnya. Juwi harus bisa menjaga itu semua, kendati ada rasa mengganjal di dadanya dan membuat dia ingin memastikan.
Apakah ini sudah benar? Apa tidak terlalu terlambat untuk berubah pikiran? Tiba-tiba Juwi diselimuti keraguan. Karena dua kalimat dari Davin saja membuatnya goyah dengan mudah.
**
Arvin: Hai...
Delete.
Arvin: Juwi, udah pulang?
Delete.
Arvin: Besok aku pindahan.
Delete.
Sembilan kali berpacaran nyatanya tidak membuat Arvin berpengalaman membangun obrolan via pesan instan. Dia kebingungan. Harusnya ada komunikasi minimal sekali sehari terutama karena mereka pasangan yang baru jadian. Jika itu pengantin, maka suasana masih manis ala bulan madu romantis. Namun lihat ini, tidak ada yang terjadi sejak kemarin.
Arvin terlalu bingung mengirim pesan, dan untuk menelepon lagi nyalinya masih semata kaki. Arvin harus mandi kembang tujuh rupa agar keberaniannya terkumpul. Ini melelahkan ternyata. Kenapa manusia lebih suka jatuh hati pada orang yang sulit untuk dimiliki? Aneh sekali.
“Oi, Intan...” panggil Wan Fenty melihat sang anak yang besok akan pindah dari rumah ini. “Baik-baik di sana ya, Nak? Kalau rindu telepon aja kami, ibu siap ke Bandung setiap kau perlu.”
Arvin mengangguk. Dia sudah menerima semuanya sekarang, Arvin akan belajar hidup mandiri di perantauan, terdengar berat sekaligus menyenangkan karena dia akan terbebas dari wanita yang hobinya merepet ini.
“Kalau tak selera kau makan, telepon ibu. Nanti ibu kawani kau makan di sana. Bandung tak jauh, Vin, jangan sungkan-sungkan.”
“Iya.” Arvin akhirnya mengeluarkan suara. “Teman-teman mau ke sini, Bu. Pesta perpisahan.”
“Oh, ya? Siapa aja? Kenapa kau tak bilang? Ibu harus siapkan makanan untuk mereka. Berapa orang yang datang? Denis ke sini rupanya?”
“Ada Hamam, Herdi, Rafid, sama cewek-cewek sedikit.”
Wan Fenty bergegas ke dapurnya dan memeriksa lemari penyimpanan untuk melihat apa saja yang bisa disuguhkan. Dia selalu senang jika teman-teman Arvin datang. Mereka lucu, baik dan menggemaskan. Terutama Danish dan Hamam, dua nama yang paling sering Arvin sebutkan sejak anaknya itu duduk di bangku SMA. Dan siapa sangka jika pertemanan anak-anak muda itu awet hingga saat ini?
“Apaan nih?” tanya Arvin bingung melihat tentengan yang dilempar Danish ke arahnya. “Kamera?” Matanya berbinar melihat benda di tangannya itu. “Jaket?” Dan ternyata tidak hanya satu.
“Dari si kembar.” Danish memberi penjelasan malas-malasan. “Mereka kemarin main, terus gue ajakin ke mol buat nyari hadiah perpisahan, malah ikut ngebeliin.”
Arvin kontan tertawa, senang karena Danish bukan hanya punya teman-teman baru yang baik, tapi juga royal bahkan ketika mereka belum saling kenal. “Bilangin makasih ya. Jadi ini Leica dari siapa? Gucci?”
“Ini dari Dya, ini Anya.” Danish menunjuk kamera Leica M10 R sebagai hadiah dari Dya dan Gucci GG Jacguard Jacket dari kembarannya.
Arvin langsung menganga karena tahu harga masing-masing benda itu sama sekali tidak murah. “Lah, terus dari lo mana?”
“Lo udah dapet dua, ngapain gue beliin lagi? Keenakan lo ntar.” Danish membanting tubuhnya di sofa tanpa menunggu dipersilakan. “Itu Leica 137 juta, Vin. Jaga bae-bae, gue cuma ngingetin.”
Pemuda itu bersegera menganggukkan kepalanya patuh. “Gue bakal jaga sepenuh hati, gue pertaruhkan nyawa gue di sini.”
Danish mendecih lalu fokus ke ponselnya lagi, jam segini adalah waktunya mencari uang tambahan, dia pasti sedang mengecek pergerakan saham.
Arvin bahagia, dua benda ini adalah barang kegemarannya. Dia pernah meminjam kamera Leica milik Danish saat liburan ke Pulau Seribu waktu itu, Arvin suka fotografi dan berencana untuk membeli kamera merek ini suatu hari nanti. Dan Gucci—itu adalah brand favoritnya. Dia lebih suka membeli baju beberapa helai per-tahun dari merek ternama daripada membeli banyak tapi asal-asalan saja. Dan Danish sudah hafal kegemaran Arvin di luar kepala. Dia bangga.
“Makcik!” pekik Celine yang baru menyusul masuk usai berfoto lebih dulu di foyer rumah Arvin yang desainnya sangat menarik dan estetik. Di sana ada cermin besar serta lukisan klasik yang terpajang cantik. “Makcik, kenapa Arvin harus pindahan?” tanya gadis itu dengan wajah sedih yang dibuat berlebihan.
“Dia dijodohkan, jadi demi kebaikan bersama ya mereka harus didekatkan. Apa sih itu namanya, Cel? Penjajakan.”
Celine, Lianka dan Ayunina kompak memanyukan bibir mereka. Sayang sekali harus kehilangan salah satu harta nasional di kampus. Hanya Danish yang tersisa satu-satunya.
“Memangnya mau langsung nikah ya, Makcik? Kan bisa LDR dulu, Bandung Jakarta nggak jauh.” Lianka ikut berpendapat.
“Menikahlah pasti, kapan mereka siap kami kawinkan aja. Kalau sampai gagal nanti bunuh diri lagi itu si Arvin.”
“Lah, memangnya pernah?”
Wan Fenty menggiring tiga anak gadis itu menuju ruang tamu, berseberangan dengan tempat Arvin dan Danish bercokol. “Rajin betul kalau kalian mau tahu. Sampai pernah sehari bunuh diri 3 kali, macam minum obat dibuatnya.”
Gadis-gadis itu tertawa, sementara Arvin? Dia diam saja. Sudah biasa baginya dihina-hina di depan hidung oleh sang ibu. Ini bukan kali pertama, dan rasa malunya sudah menguar di udara.
“Siapa yang mau bunuh diri, Makcik?” Hamam tiba-tiba muncul tanpa mengucap salam lebih dulu. Di belakangnya Herdian dan Rafid menyusul. Tiga pemuda itu menyalami Wan Fenty bergantian. “Arvin mau bunuh diri?” tanya Hamam lagi.
“Iya, Mam. Dah biasa itu, nanti makcik bawa dia ruqyah.”
“Lah, yang bener, Vin?” teriak Hamam ke arahnya. “Kok nggak jadi? Ayo semangat bunuh dirinya, jangan putus asa. Coba lagi!”
“Tai.” Arvin mengumpat pelan.
“Muncung kau, Vin!” Wan Fenty bereaksi. “Betingkah kau rupanya, ya?”
Hamam, Herdian dan Rafid mendekat ke arah Arvin dan Danish di ruang keluarga. Mereka menyimpan tentengan di atas meja yang ternyata berisi puluhan gorengan serta kertas nasi dan kemudian disusun oleh tiga orang itu tanpa banyak bicara hingga membentuk kata “GOOD LUCK!” yang dipersembahkan khusus untuk Arvin seorang.
“Anjir!” Danish terkikik ketika melihat susunan bakwan, tempe mendoan, pisang goreng, ubi, tahu isi dan risoles bisa jadi untaian kata yang menyentuh juga. “Foto dulu, Vin, foto pake kamera baru dari Dya tadi.”
Arvin bangkit dari posisinya dengan tawa tertahan karena malu sekaligus terharu pada persembahan itu. “Uh, merawanin kamera baru,” ujarnya senang dan bangga di saat bersamaan.
“Dya mana? Dya anak Ranajaya itu, Nish? Yang kapan hari ke laundry?” tanya Hamam—mengonfirmasi. Danish mengangguk. “Njir, itu cewek cakep bener ya, kayak boneka hidup.”
“Cakepan juga cewek gue,” ucap Danish tak terima.
“Iya di mata lo kan emang cuma cewek lo doang, sisanya rumput laut rasa tai kucing.” Hamam membuat orang-orang di sana tertawa. “Dia udah punya cowok belum, Nish?”
“Udah. Jangan ngarep deh, nakal anaknya.”
“Suka maen gitu, ya?” Herdian menimbrung. “Nackal.”
“Eh, kaga ya! Mereka anak-anak ningrat.” Arvin memberi pembelaan atas tudingan tidak beralasan dan tidak sopan barusan. “Lo jangan nyebar rumor bin fitnah lagi deh, Nish.” Sudah cukup Arvin saja yang jadi korban pasangan gay-nya.
“Itu... kalau anak-anak ningrat pada main ngocehnya gimana, ya?” Hamam bertanya lagi dengan tatapan mengidikasikan kebejatan. “Kalau nakal versi medium kan, ohhh yess... oh... Daddy... faster....”
“Kalau versi ningrat pake bahasa Jawa, Mam.” Rafid ikut berbisik di sekitar teman-temannya. “Gini nih, ohhh... nggih... oh Romo... enggal...”
Lima pemuda itu meledakkan tawa atas lelucon barusan. Sementara para perempuan yang tidak begitu mendengarkan diskusi tadi segera bergerak mendekat. Yang jelas, di sana Celine tampak menaruh dendam kesumat pada Hamam.
“Ini nih, definisi bencana paket lengkap. Nggak ganteng, nggak kaya, nggak ada akhlak!” ucapnya sambil melempar bantal sofa ke arah pemuda itu lalu menyomot gorengan di meja tanpa permisi.
“Lo ngegas mulu sama gue kenapa deh? Heran.” Hamam membuat ekspresi pura-pura tersakiti. “Marah ya lo gara-gara gue bilang dadanya kecil? Pusarnya aja masih kelihatan gitu difoto dari atas.”
“Nah kan, lo mulai lagi!” Celine kembali menghantam Hamam dengan apa pun yang bisa diraihnya.
Arvin terperangah, tidak menyangka jika dua orang itu—yang notabene tidak saling kenal pada awalnya, justru sering berkirim pesan secara pribadi hingga mengirim foto dada segala. Untung saja Hamam anak baik-baik, dia tidak menyebarkannya ke mana-mana.
“Ih, sabar, Cel! Itu masih bisa mengembang nanti.” Hamam menghindar setelah lari ngos-ngosan. Kepalanya celingukan memeriksa ibunya Arvin yang tengah ke dapur menyiapkan minuman. “Mending gini deh, oke gue emang kere. Makanya lo temenin gue dari nol, gue akan membuat lo jadi bahenol. Salam satu ranjang, Cel!”
“Sialan lo, Mam!” Lianka tak terima temannya digodai berlebihan oleh Hamam, lalu mulai mengejar pemuda itu dengan bantal di tangan.
“Ampun, Li, ampun!” Hamam menjerit dengan suara kucing terjepit. “Gue kan cuma mau seleksi calon istri sedari dini. Celine tuh kayaknya tepat buat masa depan gue biar shinning, glowing dan semriwing.”
“Semriwing bapak lo sarungan nggak pake cangcut, Mam!”
Herdian dan Arvin menertawakan kekonyolan teman-temannya. Sementara yang lain sibuk makan gorengan, dan Danish berbaring tak peduli pada apa pun di sofa dengan layar ponsel di depan mata. Entah ini pesta perpisahan macam apa.
“Vin,” panggil Herdian setelah keributan tadi bisa diredakan atas kemunculan Wan Fenty yang menyuguhkan minuman. “Kenapa lo harus pindah dadakan gini?”
“Dia nggak bisa LDR-an.” Danish menyahut dengan ekspresi acuh tak acuh.
“Bener sih, LDR itu susah.” Rafid mengamini. “Gue juga kalau mampu mending pindah.”
“Jalan satu-satunya buat yang LDR cuma satu,” kata Lianka.
“Apa?”
“Putus,” jawabnya ketus. Gadis itu melirik Danish sinis. Maklum saja, Lianka pernah dilabrak pacar Danish hingga dikatai pelacur karena merekam kegiatan belajar mereka untuk tugas di kampus lalu mengunggahnya di sosial media. Padahal mereka tidak berduaan, justru lebih ramai daripada saat ini. Hanya saja waktu itu Danish mengerjakannya di rumah Lianka. “Udah mending pindah aja, Vin. Nggak tahu lagi gue kalau tiba-tiba dilabrak sama cewek lo terus dikatain lonte buat yang kedua kali. Gue yang lama-lama bunuh diri,” ungkap gadis itu lagi.
“Masih muda udah bunuh diri, gedenya mau jadi apa, hah?” Hamam menoyor Lianka dengan telunjuknya.
Kontan saja gadis itu marah dan Arvin terkekeh lalu mengacak rambut Lianka untuk menghentikan pertikaian sesi kedua. Mereka sekelas sejak kelas 1 SMA, lalu sekelas lagi saat kuliah, mana bisa Arvin tidak dekat dengannya? Danish juga. Mereka jadi teman dan sering berkumpul sama-sama. Tidak ada hubungan atau perasaan istimewa di dalamnya.
“LDR itu sebenarnya indah, kalau sampai menikah.” Hamam mengoceh lagi setelah lelah berlarian ke sana kemari. “Semoga lo jadi salah satunya ya, Nish. Langgeng, awet sampai kawinan. Kan romantis banget tuh kuntilanak sama genderuwo jadi suami istri.”
Semua orang tertawa, sampai Danish yang sejak tadi sibuk dengan ponsel pun menolehkan kepala lalu mendecih tak suka. “Bacot anjing,” umpatnya marah.
“Jangan kasar, Bos. Ntar mulut lo dicabein sama nyokap gue.” Arvin mengingatkan.
“Banyak omong ya Anda binatang berkaki empat yang menggonggong!” ulang Danish sambil memperhalus umpatannya pada Hamam.
“Lo aja kali! Terlalu sering berinteraksi secara verbal bagai satwa serigala hasil domestikasi Canis lupus familiaris!” balas Hamam tak mau kalah dengan memperhalus umpatannya lebih agung lagi.
“Feses, pada ngomong apa sih?” Herdian menengahi sambil menertawakan keduanya. Danish dan Hamam seperti kucing dan anjing, tapi sebenarnya mereka justru paling dekat dibanding yang lain. “Lo selingkuh aja ngapa, Nish? Sama siapa sih, anak ningrat itu.”
“Nggak ya, punya cewek satu aja ngajak tawuran mulu,” tolak Danish buru-buru. Dia paling anti pada ide seperti itu. Bucinnya memang sudah melekat hingga ke DNA.
“Ya, makanya punya dua biar sekalian perang Baratayuda, nggak cuma tawuran aja.”
Anak-anak muda itu tertawa. Kendati Herdian, Hamam dan Rafid tidak satu kampus dengan yang lainnya, bahkan tidak kenal dengan Celine dan Ayunina sebelumnya, tapi mereka bisa akrab karena Arvin dan Danish sang pemersatu bangsa.
“Biarin aja udah, kapan lagi lo lihat kuntilanak sama genderuwo ngebucin, kan? Biar kata kerjaannya tawuran mulu yang penting mereka bahagia. Kisah cinta mereka ngalahin romantisme Firaun sama Asiyah.”
Celine mengernyit heran dan penasaran. “Romantisme gimana maksud lo?”
“Romantis lah, bayangin aja yang cewek ahli surga dan lakinya ahli neraka.”
“Tinja emang lo, Mam! Seneng banget nistain gue. Sialan!”
Hamam mencibir temannya itu dan tidak menggubris lagi. Arvin tahu, Danish memang berubah sejak dia kuliah, tapi mungkin karena intensitas mereka bertemu masih setiap hari jadi dia tidak masalah. Sementara di mata Hamam dan yang lainnya, perubahan Danish benar-benar tidak bisa diterima dengan akal sehat.
“Nish lagi apa, sih?” tanya Ayunina mengalihkan obrolan. “Sini ngumpul, kan pesta perpisahannya Arvin.”
“Nyari duit,” jawab Danish singkat sambil memamerkan layar ponselnya yang penuh grafik warna-warni. “Gue udah perpisahan sama Arvin kemarin.”
“Wah, emang beda habitnya orang kaya.” Celine menggelengkan kepala. “Lagi ngumpul aja bisa sambil nyari duit ya, Nish.”
“Simpen dulu HP-nya, Nish. Kebersamaan itu berharga, waktu adalah nyawa. Harta itu cuma titipan,” ujar Ayunina. Satu-satunya teman mereka yang masih ingat Tuhan.
“Ya, memang cuma titipan. Tapi gue pengen dititipin yang banyak. Lagian kalau gue banyak duit kan lo pada kecipratan juga,” kata Danish menggubris. Dia memang yang paling sering membayar tagihan untuk acara makan-makan.
“Bener sih.” Hamam setuju. “Kalau harta cuma titipan, kaya dan miskin itu ujian, gue pengen diuji sama kekayaan aja.”
“Aamiin, bangsat.” Herdian refleks mengumpat usai mengamini harapan Hamam dan mereka lagi-lagi tertawa. Pesta perpisahan untuk Arvin jadi ramai karena banyolan teman-temannya.
“Selain ikhtiar alias usaha, penting juga mendekatkan diri kepada Tuhan, teman-teman.” Ayunina lagi-lagi bersuara.
Kadang Arvin heran bagaimana gadis religius itu bisa terjebak pada kelompok pertemanan mereka yang isinya para makhluk laknat ini.
“Demi Dewa—”
“Tuhan, Hamam. Lo bukan Buddhist, kan?”
“Gue nggak perlu menjelaskan keyakinan gue apa.” Hamam si pintar bicara membela dirinya. “Tapi kalau gue pikir-pikir, kenapa Tuhan cuma satu tapi Dewa 19?”
“Itu grup band bukan Dewa yang mesti disembah, pea!”
“Heboh betul, apa yang sedang kalian bahas ni? Boleh makcik tahu?” Wan Fenty tiba-tiba muncul karena mendengar keributan dan tawa yang tak ada habisnya dari ruang keluarga.
“Ini, Makcik—”
“Ibu udah tua, nggak perlu tahu topiknya anak-anak muda,” potong Arvin segera sebelum Celine menjelaskan bahasan mereka pada ibunya.
“Mamakmu cuma tua ya, Vin, bukan bodoh!” seru wanita itu tak terima. “Jadi, ini kayak mana? Kenapa anak-anak gadis ini diam aja? Kok nggak kementelan lagi kalian bertiga? Ini hari terakhir Arvin di Jakarta. Cak keluarkan dulu itu jiwa gatalnya yang bergelora, besok kalian sudah tak jumpa.”
Ibunya Arvin itu memang ada-ada saja.
**
Ada yang membuat perasaan Arvin terganjal sebenarnya. Pindah ke Bandung berarti meninggalkan sang ibu sendiri. Sebab kendati Wan Fenty masih bersuami, tapi pria itu hanya beberapa hari sekali ada di rumah. Sisanya... ya, tahu sendiri. Dia punya keluarga lain, kehidupan yang disembunyikan, yang tentu sudah diketahui tapi masih mati-matian ditutup-tutupi.
Arvin sedih membayangkan ibunya sendirian, kesepian. Mungkin ide bagus untuk mengenalkannya pada Melia—ibu kandung Danish, sebab wanita itu punya perkumpulan dan sering mengadakan arisan.
“Hati-hati ya, Nak? Jangan dekat-dekat kompor kau, Vin, terbakar nanti gedung orang.”
Pemuda itu tersenyum mengingat ibunya yang hobi mewanti-wanti pada banyak hal kecil. Pada akhirnya Arvin ikut menyewa apartemen di gedung yang sama dengan Juwi, tepat di depan unitnya. Pintu kamar mereka berseberangan dan semua perabot sudah lengkap di sana. Arvin hanya membawa baju-baju dan perlengkapan kuliah.
Ah, kuliahnya juga pindah. Arvin memulai semester yang baru di kampus baru, universitas yang sama dengan Juwi, jurusan manajemen. Dia masih harus mengurus beberapa berkas administrasi sementara ibunya membantu dari kampus lamanya di Binus. Alhasil, Wan Fenty tidak bisa ikut mengantar Arvin pindahan hari ini. Mereka akan bertemu di akhir minggu.
“Kak Arvin!” penggil Juwi ceria menyambut kedatangan Arvin yang muncul di gedung tempat tinggalnya. Gadis itu tersenyum dari kejauhan lalu berlari mendekat. “Capek ya nyetir sendiri? Aku bantu angkat-angkat, yuk!”
“Eh—”
“Biar Aa ikut bantu juga, boleh, kan?”
Arvin terdiam di tempat saat menemukan seorang pemuda—lebih tua darinya, berdiri dengan gagah berani memakai jas putih khas lab kedokteran. Sementara di dalamnya dia hanya mengenakan kaus kutang.
“Kak, kenalin ini A Davin, teman aku.” Juwi memperkenalkan. “Tadi mobilku mogok di kampus, jadi dianterin sama A Davin ke sini. Sekarang mobilnya udah di bengkel.”
Arvin tidak ingin tahu soal itu. Dia hanya mau tahu siapa Davin sebenarnya, apakah hanya teman? Teman biasa? Atau teman dalam tanda kutip?
“Davin Angkara.”
Mereka berjabat tangan. Dan entah bagaimana Arvin pernah mendengar nama ini, meski itu samar sekali.
“Arvin Wijaya.” Pemuda itu pun memperkenalkan diri dengan gaya yang jantan. “Calon suami Juwi.”
Katakan saja Arvin gila, tapi dia sengaja melakukannya.
Davin tertawa. “Iya. Saya tahu, Mas. Salam kenal, saya teman Neng Juwi dari kecil.”
“Benar cuma teman?” tanya Arvin menyelidik. Dia bahkan tidak tertarik pada Juwi saat ini, fokusnya hanya Davin. “Atau teman yang diam-diam memendam perasaan?”
“Kak—”
“Perasaan?” potong Davin setengah tertawa. “Perasaan suka, maksudnya? Atau... cinta?”
“Dua-duanya.”
“Wah, saya kira pertemuan pertama kita bakal baik-baik.”
“Lalu berlanjut jadi hubungan yang munafik?” Arvin tidak menampik. “Jawab,” desaknya lagi.
“Ya... memangnya laki-laki normal mana yang nggak suka sama Neng Juwi? Dia cantik, menarik, baik—”
“Dan dia calon istri saya,” potong Arvin segera. Dia tidak suka pada pengakuan Davin saat ini. “Jangan coba-coba dekati dia lagi.”
Davin mendecih. Ternyata begini gaya anak Jakarta dalam melindungi apa yang jadi miliknya. “Masih calon, Mas. Janur kuning belum melengkung, bahkan kalau melengkung nanti, saya bisa lurusin lagi.”
“Aa, udah.” Juwi buru-buru menengahi. “Pulang aja, ya? Biar aku yang bantuin Kak Arvin.”
Davin tidak menggubris bahkan melirik Juwi. Matanya dan Arvin masih bertatap tajam. “Saya selalu punya harapan,” ujarnya sinis.
“Silakan.” Arvin merentangkan kedua tangannya lebar-lebar di udara. “Tapi nggak bisa dipungkiri, saya udah satu langkah di depan. Saya bukan lagi pilihan buat Juwi, tapi tujuan,” ucap Arvin sambil berlalu usai menepuk bahu Davin dengan jantan.
Sialan. Yang barusan itu keren, kan?

Book Comment (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters