logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Penanganan Tahap Satu

Arvin mengerjap dengan kepala seberat batu saat merasakan perih menyasari lambungnya. Dia lapar, semalaman menunggu Juwi di lobi apartemen dan bertemu pagi-pagi sekali kemudian membiarkan gadis itu pergi ke kampus untuk memenuhi jadwal harian. Sementara itu Arvin bergegas ke resepsionis untuk menyewa sebuah unit kosong yang bisa dia tempati untuk semalam saja. Arvin harus tidur sebelum kembali pulang ke Jakarta karena menyetir sendiri dengan keadaan mengantuk sangat berbahaya. Ibunya bisa mengomel jika tahu anaknya bertindak nekat.
“Semoga kita langgeng, ya...”
Kalimat macam apa itu? Arvin menyengir malu dan menutup matanya dengan telapak tangan. Tidak apa, terdengar memalukan memang, tapi itu sebuah kemajuan. Situasinya terlampau canggung untuk terang-terangan mengutarakan perasaan lalu mendeklarasikan hubungan. Yang barusan itu terdengar cukup sopan dan elegan.
“Kak?”
Juwi terperanjat saat menyusuri koridor unit dan menemukan Arvin baru keluar dari unit di seberang unit tempat tinggalnya. Wajah pemuda itu kusut, kentara sekali jika dia baru bangun tidur.
“Eh, ha—hai...” Arvin mengangkat sebelah tangan canggung. “Ju...wi—”
Tiba-tiba saja kehilangan kata. Arvin mati-matian bekerja keras mengumpulkan kembali nyawanya yang masih belum terkumpul semua. Dia hampir saja menanyakan, Juwi sedang apa? Dan itu akan terdengar bodoh karena ini kan tempat tinggalnya, harusnya gadis itu yang bertanya.
“Aku kira udah pulang.” Juwi memaksakan senyum. Arvin tidak bilang akan ke mana usai mereka berpisah tadi pagi karena Juwi harus kuliah. Dia bahkan menunggu pemuda itu mengabarinya via pesan.
“Ah, kayaknya habis ini langsung pulang. Mau cari makan dulu.”
“Mau makan bareng aku?”
“Ya?” Arvin mengucek mata buru-buru. “E—emangnya... boleh?”
Juwi tersenyum dan mengangguk. “Boleh,” katanya ceria. “Kebetulan aku habis beli makan.”
Gadis itu menunjuk tentengan yang dibawanya lalu bergerak membuka pintu tepat di seberang unit yang Arvin tempati. Pemuda itu terperangah, untuk sesaat kehilangan arah. Dia diajak makan di hari pertama mereka... um... pacaran... dan diperbolehkan masuk ke unit gadisnya?
Ini bukan mimpi, kan? Arvin lagi-lagi mengucek mata.
“Masuk, Kak.” Juwi mempersilakannya dengan ramah.
Ragu-ragu, Arvin melangkahkan kaki untuk menyambangi tempat tinggal gadis itu. Jenisnya sama persis dengan yang tadi Arvin tempati. Sebuah unit apartemen studio yang tidak memiliki sekat selain kamar mandi dan balkon. Begitu masuk, Arvin langsung bisa melihat tempat tidur, lemari, meja belajar, televisi, bahkan pantry.
“Maaf seadanya ya, Kak.” Juwi peka melihat Arvin menyapu seluruh sudut kamarnya saat pertama kali masuk. “Aku tadi beli makan seadanya juga...” Gadis itu menggantung kalimatnya dengan sengaja sampai Arvin bertatap dengan matanya. “Mau pesan yang lain pakai Gofood, Kak?”
Arvin buru-buru mengibaskan tangan dengan kepala bergerak ke kiri dan kanan. Ditatap dengan sengaja oleh Juwi membuat kakinya gemetar. Entah karena grogi atau karena terlalu lapar. “Kita makan yang ada aja.”
Kita, katanya. Arvin diam-diam merona.
Juwi tersenyum. Ada sesuatu yang mencelos di dadanya. Kenyataan bahwa dirinya dijodohkan dengan Arvin adalah mimpi indah andai tidak ada alasan menyakitkan di baliknya. Sekarang dia paham kenapa Arvin sangat enggan beramah tamah juga canggung, itu karena dia tidak nyaman berada di sekitar perempuan.
Rasanya, jika Juwi merasa berdebar sendiri saat ini, kedengaran menyedihkan sekali. Sebab Arvin tampak memaksakan diri, dia berusaha keras untuk tidak lari dari sini.
“Nasinya cukup, Kak?”
Arvin mengangguk buru-buru saat piring di hadapannya sudah diisi nasi oleh Juwi. Mereka saling diam sejak gadis itu sibuk menyiapkan piring dan menyajikan lauk makan.
“Ini seblak rica-rica,” ujarnya. “Isinya cuma sayur sama ayam, nggak pakai kerupuk kok, Kak. Dimasak pakai bumbu seblak, agak sedikit pedas.”
“Ma..makasih, Juwi.” Arvin mengangguk dan fokus ke piringnya sendiri saat ini, tidak berani menatap mata sang pujaan hati.
Kombinasi nasi panas dan seblak rica-rica yang tadi Juwi sebutkan amat menggugah selera. Arvin kelaparan setelah menunggu gadis itu semalaman. Bahkan tidak bersedia menunggu makanan yang harusnya bisa mereka pesan. Aroma bumbu seblak yang semerbak, perpaduan rempah, cabai setan dan kencur menguar. Kuahnya yang kental nyemek berwarna kemerahan, ada butiran telur orak-arik di sana, daging ayam yang empuk dan sawi hijau segar.
Arvin pasti makan seperti gelandangan.
“K..kak?”
Juwi bersegera mengambilkan air karena pada suapan ketiga air mata pemuda itu bercucuran. Dia pasti kepedasan.
“Nggak suka pedas, ya?”
“Hhh... su...ka kok.” Arvin mengelap ingus yang meleleh dan genangan air di matanya. “Cuma... suka nggak kuat aja.”
Juwi mengulum tawa. Kenapa dia bisa lupa? Ini bukan momen makan bersama pertama bagi mereka, keduanya sudah puluhan kali terlibat acara makan keluarga. Dan Juwi perhatikan Arvin sangat berhati-hati pada sambal. Dia akan menghindarinya selagi bisa.
“Tunggu, ya. Aku gorengin telur aja.”
“Eh... Ju—juwi nggak usah. Jangan re—” Arvin menutup mulutnya rapat-rapat ketika gadis itu menolehkan kepala. Dia bergerak menuju pantry dan menyalakan kompor di bawah penggorengan.
Bukan kali pertama bagi Arvin dilayani seperti ini. Tak jarang Juwi memasak mie instan dengan telur rebus dan sosis ketika dia berkunjung ke peternakan. Dia akan memanggil Juan dan memberi semangkuk mie untuk Arvin juga. Juwi acapkali mencurahkan perhatian. Mereka hanya... tidak saling bicara.
“Nggak ada jadwal kuliah ya hari ini, Kak?” tanya Juwi sembari memberi Arvin piring yang baru. Hanya nasi putih dan telur mata sapi di atasnya.
“Bolos,” jawab Arvin jujur. “Makasih ya buat makanannya.”
“Sama-sama.” Juwi tersenyum tipis. Dia kembali duduk di sebelah Arvin, lalu menyendok nasi sisa di piring bekas itu dengan cueknya.
“Ju—juwi, jangan makan bekas—”
“Kenapa?” tanya gadis itu sigap. “Pamali, ya? Tapi Mamah bilang nggak apa-apa kalau makan bekasnya suami mah.”
“Su—suami?”
“Calon.” Gadis itu mengoreksi cepat. “Kak Arvin calon suami aku, kan?”
Ini gila. Arvin pasti bisa mati detik ini juga. Ekspresinya langsung menegang karena dia refleks mengeraskan rahang. Arvin berpegangan erat pada ujung meja, sementara tangan lain meremas kuat sendok makan, lalu dia menarik napas dan membuangnya perlahan.
“I..iya, benar.” Arvin berseru lemah. Lega karena mengalahkan anomali di dadanya barusan. “Ya udah, dimakan.” Pemuda itu berujar pelan.
“Kakak sengaja datang ke sini dan bolos kuliah?”
“Iya.”
Hening. Arvin sibuk dengan nasi dan telur di piring, sementara Juwi dan pikirannya melayang. Barusan itu... respons macam apa? Kenapa menyakitkan di dadanya? Apa Juwi terlalu terbawa perasaan?
“Ta..pi udah titip absen kok sama Danish.” Arvin kembali bersuara untuk menyambung obrolan.
Ah, Danish... kenapa Juwi bisa lupa padanya? Danish pasti sangat spesial bagi pemuda ini. Bahkan di hari pertama mereka berhubungan, nama Danish sudah kembali eksis.
“Mau nambah, Kak?” tawar Juwi melihat Arvin sudah membuat piringnya mengkilap. “Aku mau bicara setelah Kak Arvin selesai makan.”
Pemuda itu mendongak dari piringnya lalu menggeleng cepat walaupun dia masih lapar. “Nggak, udah cukup. Kita ngobrol aja.”
Juwi tersenyum. Arvin selalu menggemaskan kendati usianya satu tahun lebih tua. Juwi tidak pernah memanggil namanya secara langsung selama ini tapi diam-diam selalu menyebut Kak Arvin jika ada topik berkaitan dengannya. Kakak, bukannya Abang atau Aa seperti keluarga Juwi memanggilnya, sebab Arvin juga seniornya dulu di SMA.
“Maaf ya, Kak, kalau aku terburu-buru dan bikin Kak Arvin nggak nyaman.” Gadis itu memulai obrolan mereka setelah selesai makan. “Aku cuma... mau segera menjalankan mandat yang Ibu berikan.”
Mandat? Arvin mengernyit, mandat apa?
“Aku mau Kak Arvin secepatnya suka sama perempuan.”
Arvin tersedak di tempat. “Ke..kenapa? Aku udah suka sama kamu, Juwi.”
Gila. Lihat siapa yang bicara. Kenapa mengobrol biasa membuat Arvin bisa pipis di celana sedangkan menyatakan perasaan dapat dilakukannya semudah barusan?
“Iya.” Juwi memutuskan untuk mengiakan. “Tapi Ibu bilang, Kak Arvin juga perlu disembuhkan.”
Sialan. Arvin ingin mengumpat sekarang. Tidak menyangka bahwa obrolan ini akan diangkat begitu cepat ke permukaan.
“Aku udah mulai pikir-pikir dan sedikit mencari tahu soal itu.”
“Soal apa?”
“Soal kelainan seksual yang selama ini Kakak derita sebelum... ada perasaan sama aku,” cicitnya pelan.
Bicara apa sih, gadis ini? Bukankah kelainan itu jelas sudah teratasi kalau seseorang berhenti menyukai sesama jenisnya lagi?
“Caranya gimana?” Arvin memutuskan untuk pasrah dan mengikuti alurnya saja. “Kalau perlu diatasi, harus gimana?”
“Ada beberapa cara,” sahut Juwi cepat. “Cara alami dan terapi.”
Wah, diam-diam ternyata Juwi visioner sekali.
“Cara alami?”
“Iya.” Gadis itu mengangguk yakin. “Seperti... menjauhkan Kakak dari pemicu kelainan itu sendiri, membangkitkan hasrat seksual terhadap lawan jenis, mulai menyugesti pikiran dengan perasaan kagum pada fisik perempuan—”
Juwi tidak meneruskannya, gadis itu melipat bibir dan tampak tidak enak melihat raut wajah Arvin yang berubah. Yang benar saja, terapi alami itu tidak berguna, Arvin sudah sukses di seluruh aspeknya.
“Maaf, Kak. Ini terlalu buru-buru memang.” Gadis itu menundukkan kepala.
Dia juga tidak tahu kenapa, meski merasa terhina karena harus menerima perjodohan dengan alasan ini, tapi di sisi lain Juwi merasa tertantang. Dia harus bisa membawa Arvin kembali pada jalan yang benar, walaupun katanya... kelainan itu sangat sulit disembuhkan. Mereka bilang Juwi cantik, itu kelebihannya sejak dilahirkan, dan kelebihan itu harus memberi keuntungan. Setidaknya, menyelamatkan Arvin dari perasaannya yang sesat.
Anugerah ini harus berguna, menyembuhkan penyuka sesama jenis terdengar seperti prestasi yang mengagumkan. Kecantikannya setara dengan keajaiban.
“Kamu udah cari tahu cukup banyak,” komentar Arvin singkat. Merasa bodoh karena terlambat riset untuk mendalami peran.
“Iya.” Juwi mengangguk. “Secepat aku menerima lamaran dari Ibu untuk Kakak, aku harus bertanggung jawab dengan pilihan itu dan mulai mengenali permasalahan Kakak pelan-pelan.” Setelah berlapang dada menerima Arvin dan kekurangannya tentu saja.
Arvin tersenyum tipis. “Makasih, Juwi.”
Kalimat gadis itu mungkin terdengar manis, tapi Arvin tidak merasa bahagia. Entah karena kebohongan yang diciptakan ibunya, atau karena merasa gadis yang sudah resmi menyandang gelar sebagai calon istri Arvin di masa depan itu terlihat seperti manusia yang sudah diprogram menerima perjodohan.
Juwi... hanya melakukannya atas dasar kasihan.
**
“Kau tahu berapa ibu harus berinvestasi setelah lamaranmu diterima? 2 miliar, Arvin Wijaya Pradipta Intan Baiduri ayah dan bunda.”
Bunda siapa, sih? Arvin ingin bertanya, tapi takut digeplak oleh ibunya.
“Jadi kau baik-baik mulai sekarang, itu panjar, DP untuk meminang Juwi di masa depan.”
“Aku bahkan langsung nemuin dia setelah lamaran itu diterima.” Arvin membela diri, memangnya dia harus bagaimana lagi? Itu salah satu sikap menghormati Juwi.
“Ya, tapi masih ada syarat lain yang mereka ajukan.” Wan Fenty melipat tangan di atas perutnya. “Memanglah perjodohan ini UUB.”
“Apa UUB?”
“Ujung-ujungnya bisnis.” Wanita itu mendelik. “Ibu investasikan 2 miliar untuk modal beli sapi bibit di peternakan mereka, Vin. Kami berbisnis serius mulai sekarang.”
Arvin tidak menjawab ibunya.
“Kalau tahu begini, ibu bikin anak banyak-banyak biar bisa dibisniskan.”
Tuh, kan... untung Arvin belum menaruh simpati pada keluhan barusan.
“Prospek bisnis kami ini bagus. Tolong nanti kau bantu, ini untuk mempererat ikatan keluarga dan hubungan dengan besan. Kau kan kuliah di manajemen, pastilah bisa berguna sedikit untuk bisnis kami. Oh, iya, kau harus pindah ke Bandung. Petrus jakandor, Vin. Jangan kau lepas anak gadisnya itu, kalau tidak rugi kita 2 miliar.” Belum termasuk seserahan Louis Vuitton dan perhiasan waktu itu.
“Pindah ke Bandung?” Arvin membeo. “Terus kuliahku?”
“Ya, kau pindah lah. Memang di Bandung nggak ada kampus bagus?”
Arvin misuh-misuh. Ini tidak ada dalam daftar rencananya, sungguh. “Bu, ini harus aku pikir-pikir dulu. Aku belum setuju.”
“Kenapa?” Fenty nampak tak terima. “Kupikir kau nak melompat tinggi-tinggi pas kami suruh pindah dekat Juwi.”
Apa ibunya tidak tahu kalau dekat-dekat Juwi terlalu lama putranya ini bisa mati muda?
“Aku nggak mau.”
“Hei!” pekik wanita itu tak terima. “Apa maumu sebenarnya, hah? Kau buat mamakmu berlutut di kaki anak gadis orang, kau buat kami keluar banyak uang, tugasmu satu, cuma berjuang! Kau perjuangkan dia dan dapatkan hatinya mulai sekarang!”
“Ya, tapi nggak pakai pindahan juga.”
“Kau tak tahu, kan? Calon suami Juwi yang kau tikung itu kuliah di kampusnya sekarang, calon dokter! Mamaknya punya rumah sakit swasta yang mewah! Sebelum janur kuning melengkung, kau masih bisa ditikung. Camkan itu.”
Arvin meringis. Ibunya begitu menggebu setelah mengeluarkan uang untuk investasi, bahkan mau repot untuk menyelidiki hal-hal seperti ini.
“Jodoh nggak akan ke mana, Bu.” Arvin percaya diri bisa memiliki Juwi. “Sebelum bendera kuning berkibar di depan gang rumah kita, nggak akan kubiarkan Juwi jadi janda muda.”
“Apa sih kau ini?” Fenty mulai emosi. “Pokoknya ya, Vin, kau harus bergerak cepat! Kau harus menikah dengan Juwi bagaimanapun caranya, awas kalau bukan Juwi yang jadi menantu kami, kucoret kau dari kartu keluarga.”
“Coret aja,” kata Arvin santai. “Kalau udah nikah kan aku mau bikin KK sendiri dan jadi kepala keluarga.”
Benar juga, ya? Kenapa tidak pernah terpikir? Fenty jadi keki sendiri. “Pokoknya harus Juwi! Juwi harga mati!”
Wanita itu sangat berapi-api.
Arvin mendengar sejak lama soal wacana bisnis bibit sapi kurban di peternakan Maharaja. Jika sekarang mereka hanya memiliki sapi perah biasa yang memasok susu segar ke banyak sektor industri pengolahan lokal, suntikan dana dari Wan Fenty bisa membuat Maharaja menambah personil di peternakan untuk diperjualbelikan. Rencananya sapi-sapi muda bakal pedaging akan didatangkan 4 sampai 5 bulan sebelum hari raya kurban. Kemudian dipelihara, digemukkan, dirawat dan dijual saat sudah siap untuk dikurbankan.
Mereka mengambil strategi pemeliharaan jangka pendek. Dana 2 miliar itu bisa untuk membeli sekitar 150 ekor sapi bibit jika per-ekor sapi dipatok harga 13 sampai 14 juta. Butuh 4 sampai 5 bulan untuk digemukkan dan dipelihara untuk jadi sapi siap jual yang rata-rata dibanderol harga 16 sampai 20 juta per-ekornya. Itu berarti 1 ekor sapi memberi laba kotor 3 sampai 6 juta tergantung tingkat keberhasilan besaran bobotnya.
Dalam 5 bulan, modal yang ditanam Wan Fenty bisa kembali utuh bahkan bertambah karena adanya laba penjualan jika seluruh sapi itu terjual habis. Ini benar-benar bisnis dan Arvin cukup tertarik untuk menggelutinya. Dalam surat perjanjian, tertulis bahwa laba kotor akan dibagi 50:50 untuk Maharaja dan ibunya. Arvin sudah menghitung kasar berapa pendapatan mereka saat musim panen hari raya kurban.
“Oh, jangan lupa biaya pemeliharaan, upah karyawan di peternakan, vaksinasi ke dokter hewan...” Pemuda itu mencoret-coret secarik kertas untuk menghitung laba bersih yang bisa mereka hasilkan.
“Apa, Nish? Ada tugas?” tanya Arvin saat ponselnya bergetar dan menampilkan nama Danish sebagai pemanggil.
“Nggak ada,” jawab temannya itu datar. “Lo di mana? Gue ke sana sekarang.”
“Di rumah. Mau ngapain lo? Kangen nggak ketemu gue sehari, ya?”
“Najis, pede amat.”
Danish menutup panggilan sepihak dan Arvin tertawa di seberangnya. Dan tidak butuh waktu lama, teman Arvin sejak SMA itu sampai di rumahnya. Danish berpenampilan lusuh dan agak berantakan jika berangkat kuliah. Sayang sekali pakaian lusuh itu bermerek Balenciaga. Dia terlihat seperti mahasiswa kere dan kaya raya di saat bersamaan.
“Lo ketumpahan parfum apa gimana? Wangi amat. Mau mengharumkan nama kampus lo, ya?” sindir Arvin begitu Danish muncul dan baunya langsung menusuk ke penciuman.
Danish memang terkenal dengan bebauan. Dia terobsesi pada wewangian, sementara Arvin hanya mengandalkan wangi deodoran serta pelembut pakaian biasa.
“Ngitung apaan lo?” tanya Danish melihat kertas di meja yang penuh coretan angka.
“Bisnis nyokap lah, biasa. Emang lo doang yang bantuin Tante Mel ngurus laundry?”
“Wah, ya iya lah. Gue kan mau jadi manusia yang berguna.” Danish menepuk dada. “Tapi gue lagi tertarik sama trading sih, Vin. Gue harus punya penghasilan tambahan. Gue bisa miskin kalau cuma ngandelin gaji sama duit jajan.”
Arvin memepet pemuda itu untuk melihat layar ponsel Danish dipenuhi grafik warna-warni dan tidak begitu dia mengerti. Manusia anti sosial media itu selalu menempel dengan ponsel tapi tidak tahu apa saja yang sedang viral. Ternyata dia melakukan hal yang berguna juga.
“Ajarin gue,” kata Arvin. “Gue juga mau nambah penghasilan.”
“Sini-sini.” Danish menyengir bangga. Biasanya kan Arvin yang tahu apa-apa, Arvin itu anak pintar dan rajin belajar. “Ini namanya Foreign Exchange, trading, jual beli jangka pendek. Dan udah terdaftar di OJK. Caranya gini—”
Danish menjelaskan dan Arvin mendengarkan. Itu terdengar menarik, terlebih melihat dana yang mengalir ke rekening pemuda itu dalam satu hari, Arvin jadi tergiur juga. Pantas saja Danish semakin royal akhir-akhir ini, selain uang jajannya yang bisa mencapai 50 juta per-bulan, dia pun punya pemasukan tambahan.
“Lo kira gue punya duit buat foya-foya dari mana? Dari sinilah. Ngandelin jatah bulanan apa nggak kolaps gue? Biaya transport gue aja gede, Vin. Belum jalan, check in, makan, traktiran dan lain-lain.”
“Itu sih salah lo sendiri, masih muda udah jadi gadun,” sindir Arvin.
“Lo nggak tahu hidup macam apa yang gue jalani.” Danish menggelengkan kepala dengan mata menerawang jauh. “Beban gue banyak, Vin, anak-anak gue mesti dikasih makan.”
“Ya, lo makanya masih muda udah banyak anak!”
“Itu rejeki, Vin, bukan semata-mata maunya gue.” Dia berkelit. “Andai nyokap dan ipar gue ngejatah duit jajan segede jatahnya si kembar, gue nggak bakal hidup sengsara dan mungutin dolar kayak gini.”
Danish adalah manusia dengan definisi merendah untuk membangsat. “Si kembar duit jajannya berapa emang?”
“250 juta sebulan. Gila nggak tuh?”
“Gila...” Arvin menggelengkan kepala. “Gue bisa nge-DP rumah tiap bulan sih itu.”
“Makanya.” Danish mengacungkan telunjuk. “Kita harus cari cara gimana biar duit jajan kita yang nggak seberapa itu bisa segede jatahnya si kembar. Kita trading buat nyari tambahan!”
Arvin mengangguk setuju. Dia tidak kenal siapa itu si kembar yang sering Danish ceritakan. Mereka hanya menjadikan anak konglomerat itu sebagai role mode dan patokan juga motivasi untuk mencari uang lebih banyak. Jangan tanya berapa kali usaha mereka dalam setahun untuk berjuang menghasilkan pemasukan tambahan.
Mulai dari berinvestasi kecil-kecilan ke bisnis teman-teman—yang berakhir dengan dibawa kabur atau bangkrut, dan akhirnya pasrah dengan bekerja ke orangtua masing-masing sepulang kuliah, mengharap gaji setiap bulan. Namun percayalah, itu tidak cukup memuaskan untuk memenuhi gaya hidup ala anak Jakarta Selatan.
“Eh, Nish, lo inget cewek—”
“Cewek lo yang di Fakutas Hukum? Gue nggak inget namanya siapa.”
“Hah?” Arvin terperangah. Bukan hal aneh jika Danish tidak ingat nama seseorang, hanya saja... “Cewek gue?”
Danish berdecih. “Cek deh, kapan lo terakhir kali chattingan sama dia. Lo sepakat mau berhubungan yang dewasa ala tai kucing. Lupa lo kan kalau kalian masih pacaran?”
Arvin tergesa membuka obrolan yang sudah lama tidak diperiksa. Dua minggu yang lalu adalah terakhir kali mereka bertemu, Anasya—nama gadis itu, memang orang yang independen dan tidak banyak menuntut. Mereka jarang berkomunikasi hingga—
“Lupa lagi kan lo? Setan emang ni anak, muka baik-baik taunya playboy cap kapak.”
Terserah Danish mau mengoceh seperti apa, yang jelas sekarang Arvin harus mencari cara bagaimana memutuskan Anasya secara baik-baik karena sekarang dirinya sudah dijodohkan dengan Juwi.
Tapi memangnya... segampang itu, ya? Arvin kan lemah sekali di depan perempuan.

Book Comment (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters