logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7. Perasaan Syaira pada Aruna

Pagi itu Syaira terlihat tidak nafsu makan. Makanan yang sudah disajikan diatas meja makan, hanya dia aduk saja tanpa berniat memakannya. Bahkan Gadis itu menghela nafas beberapakali. Rasanya benar-benar tidak karuan.
Pak Jefry menatap anaknya itu dengan tenang.
"Ada masalah?"
"Huuh!" Syaira mendengus keras, lalu menatap Ibunya, membuat tatapan Jefry bergulir memandang Istrinya.
"Ada apa sama Syaira, Ma?" Tanya Pak Jefry.
Ibu Jessica terlihat gugup. Ia menelan makanannya dengan paksa, sebelum menggelengkan kepalanya ringan.
"Mama nggak mau ngasih aku penjelasan, padahalkan aku penasaran, aku juga takut, aku—"
"Bukan gitu!" Teriakan nyaring dari Ibu Jessica berhasil membuat Pak Jefry menatapnya dengan menyelidik.
"Maksudku, aku belum bisa menjelaskannya." Lanjutnya dengan suara pelan.
"Beritahu Ayah." Pinta Jefry, menatap Syaira.
"Mm," Syaira menatap Ibunya dengan takut-takut, karena Ibu Jessica terlihat menggelengkan kepalanya.
"Cepat, sebelum kita berangkat ke sekolah."
"Itu, mm, ah! Udah ntar aja. Syaira berangkat sendiri aja ya naik sepedah. Dadaaah!" Syaira meraih tas gandong miliknya, lalu kabur begitu saja dari hadapan orangtuanya.
"Syaira tunggu!" Teriak Jefry yang bagaikan angin lalu. Pak Jefry menyelesaikan makan dengan cepat, lalu meminta Jessica untuk memakaikannya Jas kerja.
"Maaf, nanti aku cerita." Ucap Ibu Jessica.
Pak Jefry mengangguk. "Aku pergi, mungkin pulang telat. Jaga diri ya, aku susul Syaira." Pak Jefry mengecup kening istrinya, meraih tas kerja lalu berlari secepat kilat untuk menaiki mobilnya.
Berniat menyusul Syaira kalau-kalau anaknya itu sudah pergi.
Syaira menggowes sepedahnya dengan kencang, sesekali melihat kebelakang. Lalu tersenyum karena nyatanya sang Ayah tidak mengikutinya.
Syaira tertawa barang sebentar karena akhirnya bisa berangkat ke sekolah naik sepedah. Seperti Irene.
Syaira bersenandung sambil menikmati jalanan pagi yang belum terlalu ramai. Ia mengernyit karena baru ingat luka dilututnya yang belum kering, pantas saja terasa perih dari tadi.
Tiin Tiin
Syaira menoleh pada suara klakson mobil yang berada disampingnya. Kaca mobil itu terbuka, Syaira mengerucutkan bibirnya saat tahu jika itu adalah Ayahnya.
"Iiih, kenapa ngikutin sih!" Syaira mencibir kesal.
"Kamu bikin Ayah khawatir, main pergi begitu saja. Sebenarnya kamu kenapa? Ada apa sama Mama?"
"Mamanya juga nggak mau cerita, Ayah tanya aja sama Mama. Udah ah sana, aku mau berangkat sendiri." Syaira makin mengencangkan laju sepedahnya. Tapi ya namanya juga sepedah, masih kalah oleh tenaga mesin mobil. Sekencang apapun, kendaraan Ayahnya tetap berada disampingnya, mengikutinya.
"Syaira!" Seru Ayahnya keras.
"Ayah udah sana! Aku bisa pergi sendirian kok."
Pak Jefry terkekeh sarkatis melihat kekeras kepalaan anaknya itu. Maka dengan kecepatan penuh ia menyalip sepeda Syaira dari depan.
Syaira mau tak mau menghentikan lajuannya secara mendadak hingga kedua tungkai kakinya bergetar. Syaira terkejut.
Pak Jefry turun dari dalam mobil. Mata musangnya menatap Syaira dengan tajam. Kemudian ia menggendong anaknya yang masih diam tak berkutik diatas sepedah.
Pak Jefry mendudukan Syaira di dalam mobil, setelahnya memasukan sepedah milik Syaira ke bagasi mobil.
Mobil kembali melaju dengan keheningan sepanjang jalan. Sesekali Pak Jefry melirik Syaira yang terlihat cemberut.
"Ayah nggak akan tanya apapun lagi, tapi, untuk berangkat sekolah tetep Ayah yang antar. Pulang sekolah biar Pak Adam yang jemput. Ngerti?"
Syaira mengangguk dengan kaku. Rasanya kalau sudah seperti ini, dirinya ingin menangis.
"Loh, lutut kamu luka?" Pak Jefry nampak terkejut begitupula Syaira.
Syaira langsung menutupi lukanya dengan tangannya.
"Siapa yang melukai kamu?!"
"Nggak, ini Syaira jatuh sendiri kok."
"Jangan bohong! Ayah bikin perhitungan nanti."
"Ayah bikin perhitungan aja sama aspal jalan, kan Syaira luka karena aspal jalan."
"Ck, iya, kita ke dokter dulu—"
"Nggak usah Ayah, bentar lagi waktu jam sekolah masuk."
"Pulang sekolah, Adam yang antar kamu ke dokter. Harus mau ya. Ayah pantau."
Syaira menghela nafas lelah. Ayahnya memang terlalu Overprotektif. Ya, Syaira memang anak satu-satunya. Tapi Syaira tidak mau terlalu dikhawatirkan.
Syaira jadi berpikir, bagaimana jika Ayahnya tahu tentang kejadian kemarin? Tentang Aruna? Apa karena itu Ibunya nampak menyembunyikan semua? Apa Ayahnya bakal marah? Apa ada sesuatu?
"Sudah sampai." Pak Jefry berhenti tepat di Lobby sekolah. Tersadar dari lamunan, Syaira mengangguk tapi sebelum ia beranjak turun, Pak Jefry mencekal tangannya.
"Kenapa Ayah?"
"Ayah gendong sampai kelas ya." Pinta Jefry dengan senyuman manisnya.
"Ha? Nggak mau ah!"
"Kaki kamu sakit kan, tadi kamu juga cape naik sepedah—"
"Nggak Ayah, malu ih! Udah Syaira bisa sendiri."
"Syaira—"
Seketika pandangan Syaira melihat Irene yang melintas dihadapan mobil Ayahnya. Ide cemerlang kembali muncul. Syaira membuka pintu mobil lalu berteriak pada Gadis itu.
"Ireeeeeene!" Teriakannya bukan hanya membuat Irene menatapnya, melainkan hampir semua yang mendengar disana, menatapnya.
"E-eh, Syaira?"
"Ayah, aku diantar Irene aja ya," Pinta Syaira, yang dibalas kernyitan dari Pak Jefry. "Irene buruan sini!" Teriak Syaira.
Irene berjalan dengan ragu menghampiri Syaira.
"Berbalik!" Pinta Syaira saat Irene sudah ada dihadapannya.
"Gini?" Irene memunggungi Syaira.
"Jongkok!" Titahnya lagi yang langsung dituruti Irene.
HUP.
Syaira naik kepunggung Gadis itu. Irene sempat tersentak kaget, tapi ia kembali menguasai dirinya.
"Ayah, aku diantar Irene yaaa. Dadah Ayah, hati-hati." Syaira melambaikan tangannya pada Pak Jefry. Jefry menggelengkan kepalanya.
"S-Syaira, ini berat—"
"Udah cepet, anterin aku ke kelas!" Bentak Syaira. Mau tidak mau Irene mengikuti perintahnya. Meski Syaira berat, meski dirinya lemas, tapi Irene tidak bisa menolaknya.
Irene melangkah perlahan dengan tertatih. Itu tidak luput dari pandangan semua orang. Ada yang iba, ada yang menertawai, ada yang tidak peduli.
Bruuk
Irene terjatuh mengakibatkan Syaira pun ikut terjatuh juga. Tapi tidak biasanya, saat terjatuh begitu Syaira langsung berdiri kemudian meninggalkan Irene begitu saja.
Irene termenung dibuatnya. Irene memperhatikan bagaimana Syaira berjalan dengan terpincang-pincang. Biasanya Syaira akan marah-marah kan?
Ya. Syaira kini memang tidak dalam kondisi baik. Sejak di rumah dia memang merasa tidak karuan. Ibunya yang belum memberikan penjelasan apapun, Ayahnya yang memaksa, lututnya yang sakit lalu terjatuh pula tadi bersama Irene. Syaira benar-benar kesal. Saking kesalnya, ia ingin menangis.
Listy kebetulan mau ke kantin bersama dengan Virly. Listy melihat Syaira dari kejauhan yang berjalan dengan menunduk dan kakinya yang pincang. Listy menyikut Virly untuk melihat Syaira.
"Omaygad, itu Baby Syaila kenapa Ty?" Tanya Virly yang dibalas delikan tajam dari Listy.
"Mana aku tau, kita kan baru liat dia disini." Kata Listy. Tanpa menunggu lama, mereka menghampiri Syaira.
Syaira melihat Listy dan Virly yang memandangnya dengan tatapan khawatir. Seketika dadanya makin sesak dan airmata yang ia tahan sejak dirumah akhirnya keluar. Syaira menangis bak anak TK. Syaira memukul bahu Virly dan Listy pelan.
"Syaira kamu kenapa?" Tanya Listy dengan khawatir, kemudian ia menghapus airmata dipipi Syaira.
"Jangan nanya hiks—"
"Yaudah yaudah, kita ke kelas ya, yu kita ke kelas." Virly meraih tas gandong Syaira untuk dibawanya. Kemudian Virly dan Listy memegang lengan Syaira untuk membantunya berjalan perlahan-lahan menuju kelas.
"Hiks sakit, hiks hiks kesel, hiks hiks."
"Udah dong jangan nangis." Listy menatap Syaira dengan iba. Syaira emang cengeng, tapi dia sebenarnya jarang nangis kejer kayak sekarang.
Sebelum benar-benar sampai kelas, mereka bertemu dengan Geng Best boy yang sedang nongkrong di dekat lapang basket. Para pemuda itu menatap kearah Syaira, Listy dan Virly dengan penasaran.
Mungkin jika Ketua Geng ada disana, sudah dipastikan akan menghampiri Syaira. Sayangnya Aruna Hardiastra tidak ada.
Suasana kelas yang sepi mendadak ramai saat Syaira masuk kelas. Listy dan Virly membantu sampai Syaira duduk dibangkunya. Gadis itu masih menangis hingga Make Upnya luntur.
"Kalian ngapain Syaira?" Itu Disya, menatap garang pada Listy dan Virly.
Listy berkedip beberapakali. "Nggak ya, bukan sama kita kok. Dia udah nangis, tapi kita juga ngga tau kenapa." Jawab Listy yang diangguki oleh Virly.
"Syaira kenapa sih?" Tanya Sofia khawatir.
"Kes-hel hiks hiks."
"Ha?"
"KESEL IH! hiks hiks hiks."
Tiba-tiba segerombolan Siswa-Siswi masuk kedalam kelas Syaira, dengan membawa Irene. Irene sepertinya dipaksa, bahkan didorong dengan keras untuk datang sampai ke hadapan Syaira.
"Woy, ada apaan sih!" Teriak Sofia pada gerombolan itu.
"Ini nih yang bikin Syaira nangis! Dia tadi bikin Syaira jatuh!" Ucap salah satu Siswi yang ada di dalam gerombolan itu, sambil menunjuk Irene yang terlihat gemetaran.
"Cunguk ini bahkan nggak minta maaf pada Syaira!" Timpal yang lain.
"Kasihan Tuan Putri kakinya luka."
"Iya, ini semua salah Irene!!!"
"Sana minta maaf!"
"Cepet minta maaf sama Syaira!"
"Malah diem aja, minta maaf sana!"
Gerombolan itu mendorong-dorong tubuh Irene, hingga tubuh Gadis itu terhempas kesana-kemari. Irene tidak berdaya, Gadis itu bingung dan takut saat ini. Menatap Syaira saja Irene enggan, Irene hanya menunduk dengan kedua kakinya yang mendadak lemas.
Syaira masih menangis. Sebenarnya Syaira juga bingung, kenapa Siswa-Siswi itu membawa Irene, lalu memojokan Irene dihadapannya. Memangnya ada masalah apa?
Lagipula, sepertinya Syaira juga tidak mempermasalahkan masalah jatuh tadi.
Berbeda dengan Listy, Virly, Sofia. Mereka bertiga memandang tidak suka pada Irene. Jika benar Syaira menangis karena Irene. Bakal tamat sudah Irene ditangan mereka. Begitupula Eliya dan Disya, kedua Gadis itu ikut merecoki Irene yang terlihat makin tidak berdaya.
BRAKK
Seseorang baru saja melempar kursi ke papan tulis hingga papan tulisnya sedikit bengkok.
Semua yang berada didalam kelas terkejut dan menatap siapa dalang yang baru saja melempar kursi itu.
"Aruna!" seru yang lain bersamaan. Kini keadaan hening seketika, terlebih Aruna memancarkan aura gelap yang mengintimidasi dan ya, sialnya dia memang masih mempesona. Pesona yang menakutkan.
Aruna menatap Irene yang terlihat lemah ditengah kerumunan itu, lalu pandangannya berakhir di Syaira. Aruna melihat Syaira yang sedang menghapus airmatanya. Syaira mendengus kasar.
"Selalu membully yang lemah, hanya itu kerjaan kalian?!" Teriak Aruna.
Tidak ada yang berani bersuara. Mereka semua hanya menunduk dan sesekali menatap Aruna.
"Jawab jangan kayak orang bisu!" Bentak Aruna. "Tidak ada yang mau menjawab?!"
Bukan jawaban, hanya segerombolan Siswa itu serentak melepaskan cekalannya pada Irene perlahan. Aruna menghela nafas kasar. Masih menatap satu-satu gerombolan itu. Lalu tatapannya jatuh pada Irene.
"Irene," Panggilan Aruna pada Gadis itu dengan suara lembutnya. Irene hanya menggelengkan kepalanya tanda ia tidak salah, ia tidak tahu harus bagaimana. Lalu pandangan Aruna beralih pada Syaira, menatap Gadis itu dari atas hingga bawah, lalu berhenti dilututnya yang terlihat luka. Kedua tangan Aruna mengepal erat saat melihat luka Syaira. Luka yang sempat dia obati kini bertambah parah?
Aruna melangkah perlahan. Siapapun yang melihat pasti akan berpikir jika pemuda itu akan menghampiri Syaira. Pandangan Aruna fokus menatap Syaira, membuat Syaira sempat salah tingkah.
Sekitar 5 langkah lagi, Aruna menghentikan kakinya. Bohong jika Syaira biasa saja, karena nyatanya Syaira mengernyit bingung. Aruna mematung tidak jauh darinya duduk. Diam saja? Kenapa?
Bukankah Aruna melihatnya terluka? Bukankah harusnya Aruna khawatir karena melihat ia menangis? Pikir Syaira. Merasa hubungannya dengan Aruna sudah sedekat itu.
Sreet
Aruna meraih lengan Irene untuk dibawanya pergi dari sana. Irene terkejut begitupula Syaira dan yang lainnya. Syaira mendesah melihat Aruna yang berjalan pergi dengan memunggunginya.
Aruna melangkah dengan percaya diri. Tanpa menoleh, tanpa bicara apapun. Irene yang diperlakukan begitu, wajar jika ia tersenyum bahagia kan?
Irene merasa berdebar didadanya. Irene diam-diam tersenyum sambil menatap Aruna yang menuntunnya. Irene, bahagia.
Sedangkan Syaira, Gadis itu merasa aneh dengan perasaannya. Jujur, rasa penasarannya pada Aruna adalah salah satu hal yang membuatnya menangis. Kejadian kemarin terus membayang dalam pikirannya, Syaira ingin tahu sosok Aruna yang sebenarnya.
Kepergian Aruna dan Irene, membuat kelas ramai dengan bisikan-bisikan Siswa-Siwi itu. Banyak yang mencibir karena Irene dibawa Aruna.
Syaira menunduk. Kejadian Aruna yang peduli padanya, mengobatinya, membuat Syaira merasakan hatinya seperti diremas, karena nyatanya Aruna lebih memilih Irene. Lalu perhatian dan kepeduliannya kemarin karena apa?
"Irene kan kekasihnya, aku siapa? Aku Syaira Janis," Gumamnya hampir berupa bisikan, Syaira menepuk-nepuk kepalanya pelan. "Sadar, sadar, sadar. Jangan sampai aku—" Syaira tidak berani meneruskan ucapannya.
'Ini pasti gara-gara Irene! Aku ngerasain perasaan aneh ini pasti gara-gara jatuh tadi sama Irene!'
Dan, Irene memang selalu salah bagi Syaira.

Book Comment (30)

  • avatar
    Meysin

    Syukak bangettt🥰

    17/07

      0
  • avatar
    Sisca Siscallist

    menarik

    10/07

      0
  • avatar
    ErnawatiVera

    cerita nya sangat keren

    11/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters