logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Rindu Yang Membuncah

Gadis berkulit putih termangu di meja belajar. Menatap buku diary yang selama ini menjadi teman bercerita.
"Ayah,"
Bkibirnya bergetar mengucap sosok laki-laki yang sangat dirindukan.
"Apakah kata rindu cocok diucapkan pada seseorang yang belum pernah ditemui?"
Gadis itu bergumam. Lalu kembali larut dalam lamunan. Dirinya yakin bahwa dulu ia pernah bertemu dengan sosok seorang ayah. Mungkin saat balita, walaupun kenyataannya tidak ingat sama sekali.
Rana menutup buku diary dan beranjak dari tempat duduk. Jemarinya yang lentik membuka lemari pakaian untuk melipat ulang beberapa baju. Tidak sengaja, tangannya memegang sebuah benda berbentuk kotak.
Terlihat ada beberapa kertas dan foto tentang Kenji Hideaki. Diperkirakan foto lama itu sudah berumur belasan tahun.
Rana baru ingat memiliki benda yang sangat istimewa ini. Kata Ibu, benda ini hadiah ulang tahun yang pertama daru ayah.
Seseorang terdengar berjalan menuju pintu kamar, ia bergegas merapikannya kembali. Tak lama, pintu pun diketuk.
"Rana, sedang apa?"
"Rana sedang merapikan baju, Bu!"
Gadis itu membuka pintu kamarnya. Terlihat sosok wanita berjilbab hitam telah mematung menunggu.
"Ibu dan Abah memanggil berkali-kali apa tidak terdengar?"
Rana meminta maaf dan bergegas mengikuti langkah ibu menuju dapur.
Dari kejauhan, tercium bau menyengat sambal terasi. Abah memang penikmat sambal. Makan tanpa sambal seperti belum makan, katanya. Beberapa piring lauk berisi ikan goreng, tempe, tahu, lalapan dan kerupuk, menemani makan malam.
Rana baru makan tiga suap, pikirannya masih melayang tanpa arah. Dia bingung, dari mana harus memulai untuk mengutarakan niatnya. Dengan penuh keyakinan gadis itu mencoba berterus terang.
"Bu, Rana akan mendaftar kuliah."
Abah berhenti mengunyah, Ibu yang baru akan menyuap nasi tiba-tiba tidak jadi. Seketika suasana hening.
Wanita berusia 38 tahun itu berjalan mendekat, lalu duduk tepat di samping putrinya.
"Rana, Ibu sangat mendukung niat baikmu, Tapi,"
Wanita itu diam, lalu menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Riana sadar, dirinya hanya seorang penjual warung nasi. Pendapatannya pun tidak seberapa. Apa mungkin dapat menyekolahkan putrinya tinggi-tinggi.
"Rana ngerti, masalah biaya? Ibu dan Abah tidak perlu khawatir. Rana akan coba masuk lewat jalur beasiswa."
Suasana kembali hening.
"Nanti, Rana akan ikut seleksi masuk Universitas di luar negeri."
"Kenapa harus jauh-jauh ke luar negeri? di Indonesia juga banyak Universitas bagus."
Dengan kasih sayangnya, Ibu mengelus pundak Rana. Abah masih diam dan menyimak percakapan anak dan cucunya.
"Rana ingin pergi ke Jepang, Bu."
Mulut Abah tiba-tiba gatal, segera memotong masuk topik pembicaraan sampai ikut berkomentar panjang lebar.
"Cita-cita kok, pergi ke Jepang. Negara yang sudah jelas-jelas menjajah Indonesia selama sekitar tiga setengah tahun dengan keji dan kejam."
Suara Abah bergetar penuh kebencian.
"Kamu tau Nyai Darsih, Nenek-nenek stress yang sering disebut Nyai Gembol itu? dulu, bapaknya ditembak mati di depan matanya sendiri. Ibunya diculik dipaksa buat jadi Jugun lanfu, perempuan penghibur tentara Jepang."
Tangan Abah merogoh gelas, lalu meminumnya. Setelah gelas kosong, Abah kembali melanjutkan cerita.
"Saat ibunya diseret tentara Jepang, Nyai Darsih tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka mendorong tubuhnya yang kecil sampai jatuh terbentur tembok, lalu pingsan. Akhirnya geger otak dan jadi stress sampai sekarang."
Rana menunduk, tidak berani berkomentar.
"Satu lagi, saat Abah masih berseragam militer. Abah hampir saja ditembak mati oleh tentara Jepang. Supri, Kakeknya Pele. Dia menyelamatkan Abah."
Laki-laki tua itu menyeka air matanya yang menetes dengan sapu tangan.
"Akhirnya, peluru menembus jantung Kakek Pele, hingga gugur. Saat itu Abah sangat merasa bersalah atas kematiannya. Seharusnya Abah yang mati."
Air mata Abah benar-benar jatuh dengan deras, laki-laki tua renta itu melepas kaca matanya lalu kembali mengusap butiran bening di pelupuk mata.
Mulut Rana terkunci setelah mendengar kisah Abah.
"Rana tolong, mengertilah. Kamu ini anak perempuan. Berat bagi Ibu melepasmu hidup sendiri di negara orang."
Gadis berbibir tipis itu, menggeser kursi lalu menggenggam tangan Ibunya. Dia bertekad harus bisa meyakinkan Ibu dan Abah karena ujian masuk akan segera dilaksakan.
"Kalau Rana kuliah di Jepang, bisa cari Ayah. Niat baik Rana pergi ke Jepang untuk menuntut ilmu, berjihad di jalan Alloh. Jadi Ibu dan Abah tidak perlu kawatir."
Mata gadis itu berbinar penuh keyakinan. Dia tidak menyerah untuk mendapatkan restu Ibunya.
"Abah tidak setuju!"
Suara Abah terdengar mulai meninggi dan tegas. Ana tertunduk, keningnya mengerut, sesekali melirik ke arah Abah.
"Kamu harus sadar, kita ini orang miskin. Bisa sekolah sampai SMA sudah syukur. Buat apa jauh-jauh ke Jepang? Punya uang dari mana? Satu lagi, jangan sebut-sebut laki-laki berengsek itu. Dia sudah menghancurkan hidup ibumu!"
Abah berdiri lalu menatap cucunya dengan tatapan tajam, kedua matanya seolah keluar. Jari telunjuknya berkali-kali mengarah pada Rana.
Emosi gadis itu, sedikit terpancing. Rana mencoba kembali berargumen dengan suara lembutnya, sambil mengelus pundak Abah.
"Rana sudah bilang, akan masuk kuliah lewat jalur beasiswa. Lalu apa salah jika Rana ingin mencari Ayah? Sebenarnya ada apa, kenapa semua orang menganggap Ayah laki-laki tidak baik?"
"Pokoknya tidak setuju!"
Abah menggebrak meja sampai beberapa piring menimbulkan suara, dua buah sendok jatuh ke lantai. Kaki Rana melangkah mundur. Dia tak tahan lagi, lalu menghampiri Ibu sambil merengek.
"Ibu, Jelaskan kenapa Abah tidak setuju Rana kuliah di Jepang? kenapa Abah bilang Ayah laki-laki berengsek seperti yang teman Rana katakan? Kenapa Abah selalu marah, saat kita membahas tentang Ayah, Bu?"
Ibu mengabaikan lalu mendekat ke arah Abah.
Mata gadis itu mulai sendu, dia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh di hadapan Ibu dan Abah.
"Masuk kamar!" suara Abah mulai terdengar lebih tenang. Laki-laki berumur itu mengelus dada, menenangkan diri.
Kali ini, Rana tidak bisa berkata apa-apa, dia memilih pergi daripada harus berdebat dengan Abah.
Di dalam kamarnya, Rana memandang haru sebuah foto. Terdapat beberapa coretan sebagai penanda usia anak-anak yang ada di Foto. Mata indahnya menatap laki-laki yang sedang menggendong balita.
Perawakan laki-laki di foto, tinggi, kulitnya putih, segurat senyuman membuat matanya yang sipit seolah tertutup rapat.
"Ayah!"
Tidak terasa butiran bening mulai membasahi pipi. Andai saja, Rana ingat bagaimana rasanya berada di pangkuan seorang ayah, mungkin kerinduan di hatinya akan sedikit terobati.
Terlihat, Ibu sedang menggandeng erat tangan anak perempuan dan anak laki-laki.. Sebenarnya mereka siapa? Batin gadis itu mulai bertanya-tanya.
"Menurut cerita Ibu, mereka keponakan Ayah. Apa benar Ayah seorang laki-laki jahat seperti yang Kakek dan Stela katakan? Lalu kenapa selama ini Ibu bercerita bahwa Ayah laki-laki baik dan setia." Rana mulai bergulat dengan perasaan.
Tentang impiannya, dengan kondisi keluarga seperti ini, apa Rana bisa melanjutkan sekolah ke Negeri Sakura dan mencari tau jati diri laki-laki yang tidak dia ingat sama sekali?
"Ayah, bagaimana wajahnya, perawakannya, sifat dan sikapnya sekarang?"
Gadis itu membatin, namun foto berusia belasan tahun ditangannya tidak bisa menjawab.
Rana menatap sebuah buku berwarna merah muda di meja. Dia ingin mengembalikan semangat yang mulai jatuh. Gadis itu menyalakan lampu lalu melanjutkan tulisannya di buku diary.
"Musim silih berganti, biarpun bunga-bunga sakura berjatuhan di musim gugur. Pohon sakura tetap merindukan datangnya musim Semi. Seperti halnya hati, merindukan bahagia setelah diuji. Musim semi yang lain akan muncul di hati mereka yang percaya kekuasaan Tuhan."
Bagi Rana, impian adalah suatu hal yang harus diperjuangkan. Jika memiliki niat baik, maka jangan pernah menyerah. Lakukan semua karena Alloh, Jadikan perjuangan dan pengorbanan sebagai salah satu cara untuk meraih ridho-Nya. Begitu nasihat seorang guru yang selalu terngiang di ingatan Rana.
Rana berusaha keras memejamkan mata, dia merebahkan tubuh, lalu menarik selimut. Tangannya meraih lampu di atas meja. Seketika ruangan gelap gulita. Tidak lama kemudian, lampu kembali menyala. Begitu berkali-kali. Gadis itu tidak kunjung tidur. Ada yang mengganjal di pikirannya. Dia segera melepas selimut lalu berjalan ke arah pintu.
Rana merasa harus minta maaf pada Ibu. Bisa jadi saat di meja makan tadi, ada kata-kata yang menyakiti hatinya.
Gadis itu berjalan menelusuri ruang gelap. Lampu ruang tengah sudah dimatikan. Sekilas dia menatap pintu kamar Abah yang sudah tertutup rapat. Dia mendekat, hatinya menyuruh agar meminta maaf pada Abah. Tidak seharusnya Rana bersikap keras kepala. Ternyata Abah sudah tidur pulas.
Langkah kakinya mengarah ke kamar yang ada di sampingnya. Pintu sedikit terbuka, lampu kamar masih menyala. Ternyata Ibu sedang berdiri menghadap jendela dengan mata penuh kerinduan, tidak lepas memandang ke arah langit.
Gadis itu memeluknya dari belakang,
"Ibu, Rana minta maaf!"
Ibu membalikkan tubuh lalu menggenggam tangan putrinya.
"Tidak! Kamu tidak salah, Na!"
"Rana sudah buat ibu sedih."
Rintik hujan di mata gadis itu mulai jatuh, dia memeluk wanita dihadapannya dengan erat.
"Ibu tidak menangis karenamu, Ibu tidak apa-apa!"
Seperti biasa, dengan penuh cinta, Ibu mengusap lembut punggung putrinya untuk menenangkan. Malam ini Rana tidur bersamanya. Dia rindu dekapan erat wanita yang dulu selalu membacakan dongeng sebelum tidur di waktu kecil. Kali ini, dia ingin mengulangi episode saat dirinya masih berada di pelukan seorang Ibu.
Gadis itu pun akhirnya bisa tidur pulas setelah mendengar cerita tentang Kenji Hideaki. Cerita yang sudah sekian kali dia dengar. Dia tidak sedikit pun merasa bosan, justru membuat kerinduan pada sosok ayah kian bertambah dan semakin menggebu.

Book Comment (111)

  • avatar
    Niko

    bagus ceritanya

    20d

      0
  • avatar
    MichelleYan

    beautiful story

    19/08

      0
  • avatar
    AzahraPutri

    terlalu panjang

    18/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters