logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Aku Ingin Tahu Siapa Dirimu

Setelah menimbang-nimbang, Rose memutuskan untuk tetap melukis Taj Mahal. Ia tidak peduli menang atau kalah. Toh di kelas melukis banyak mahasiswa yang memiliki bakat luar biasa. Yang terpenting adalah mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati. Seorang seniman sejati harus bisa mengendalikan emosi, bukan membiarkan diri terlarut di dalamnya.
Rose mulai mencampur cat minyak dan menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Tidak ada gunanya ia terlalu mencemaskan Luke. Belum tentu juga pria itu mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam keadaan yang berbeda.
Sementara itu, Mr. Zack dan Luke sudah sampai pada gadis yang duduk di samping kiri Rose. Mereka berhenti untuk menanyakan apa yang akan dilukis gadis itu.
"Jean, apa yang akan kamu lukis?" tanya Mr. Zack.
"Saya akan melukis Machu Picchu, Sir."
"Pilihan yang bagus. Selamat bekerja, Jean," puji Mr. Zack.
"Semoga berhasil," timpal Luke memberikan semangat. Ia berlalu mengikuti Mr. Zack menuju ke kursi Rose.
Rose sudah bersiap. Sekarang tiba gilirannya untuk ditanya oleh Mr. Zack dan ia harus bersikap sewajar mungkin.
"Rose, bagaimana kabarmu? Bangunan apa yang kamu pilih?" tanya Mr. Zack. Ia penasaran dengan karya Rose karena gadis ini adalah salah satu murid terbaiknya.
"Kabar saya baik, Sir. Hari ini saya akan melukis Taj Mahal," jawab Rose menghadapkan wajahnya kepada Mr. Zack. Ia tidak menatap Luke sama sekali walaupun pria itu berdiri di samping dosennya.
"Kenapa memilih Taj Mahal? Apa ada alasan khusus?"
"Saya suka dengan kisah di balik pembangunan Taj Mahal. Saya ingin melukisnya sebelum mempunyai kesempatan untuk berkunjung kesana," jelas Rose.
Mendengar alasan Rose, mata Mr. Zack berbinar terang.
"Saya tidak sabar ingin melihat Taj Mahal dalam versimu, Rose. Buatlah lukisanmu dengan penghayatan rasa cinta yang mendalam. Cinta akan membuat lukisan Taj Mahal lebih hidup. Benar kan, Tuan Luke?"
Luke hanya tersenyum tipis tanpa memberikan komentar. Dari sikap yang ditunjukkannya, Rose beranggapan bahwa Luke tidak mengenalinya dan dia sangat bersyukur atas hal ini.
"Selamat bekerja, Rose. Semoga kamu beruntung menjadi pemenangnya," ucap Mr. Zack.
Luke dan Mr. Zack terus berkeliling hingga sampai pada giliran terakhir yaitu Anneth. Gadis itu kelihatan tidak sabar memperlihatkan lukisannya yang setengah jadi kepada Luke.
"Kamu menggambar Petra, Ann?" tanya Mr. Zack mengkonfirmasi.
"Iya, Sir."
Tanpa malu Anneth menanyakan pendapat Luke atas lukisannya.
"Bagaimana menurut Anda lukisan saya, Tuan Luke?"
"Bagus, Ann. Kamu bisa menambahkan langit di atasnya untuk menambah komposisi warna," ucap Luke menanggapi pertanyaan Annneth dengan ramah.
"Terima kasih atas sarannya, Tuan Luke. Saya juga berpikiran sama dengan Anda."
Hati Annneth berbunga-bunga karena mendapat perhatian lebih dari Luke. Ia sungguh berharap akan keluar sebagai pemenang supaya terus berdekatan dengan pria tampan ini. Siapa tahu kedekatan mereka akan berujung menjadi kisah asmara.
"Baiklah, kalian bisa melanjutkan lukisannya besok. Kita berjumpa lagi Senin depan," ucap Mr. Zack mengakhiri sesi kuliahnya.
"Saya tunggu hasil karya kalian semua," sahut Luke sebagai kata penutup.
Mr. Zack mengajak Luke keluar dari ruang kelas. Setelah mereka pergi, Rose merasa sangat lega. Kerisauannya tidak terbukti. Ternyata ia lolos dari pengamatan Luke dengan mudah tanpa perlu bersusah payah.
Rose dan para mahasiswa lain bergegas merapikan peralatan melukisnya. Melihat Rose mengemasi barangnya, Gwen menghampiri Rose sembari meregangkan kedua lengannya.
"Tanganku pegal sekali. Seharusnya kita melukis Luke Brown, bukan melukis bangunan," gerutu Gwen.
"Kamu perlu melukis Mr. Zack supaya lebih semangat," goda Rose.
"Rose, mau kemana?"
"Aku mau ke perpustakaan, Gwen. Aku perlu mencari referensi tambahan untuk tugas akhir. Apa kamu mau ikut?"
Gwen menyilangkan tangannya pertanda menolak ajakan Rose.
"No, Babe. Aku sedang malas ke perpustakaan. Aku butuh mencari inspirasi dengan mengencani pria tampan. Aku pulang duluan," ucap Gwen buru-buru meninggalkan Rose.
Rose menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Gwen. Ia memungut tasnya lalu berjalan keluar dari kelas.
Ruang perpustakaan terletak di basement. Rose memilih menuruni tangga daripada mengantri di depan lift. Ia ingin tiba lebih cepat agar tidak berebut buku dengan mahasiswa lain.
Saat menyusuri koridor, Rose merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Belum sempat ia menoleh, sebuah tangan kekar tiba-tiba menariknya. Secara refleks Rose hendak melawan dengan memukul lengan orang itu, namun tangannya lebih dulu dikunci ke belakang.
"Siapa?" teriak Rose.
"Pura-pura lupa padaku? Aku bahkan sudah mengenalimu sejak aku menginjakkan kaki di kelas, Nona Rose."
Rose menoleh. Sekarang ia tahu benar siapa orang yang menahan tangannya.
"Tuan Luke, Anda mau apa? Tolong lepaskan saya. Jika saya berteriak maka orang-orang di kampus ini akan berdatangan dan membawa Tuan ke kantor polisi," ancam Rose.
Luke terkekeh pelan. Ia mengendurkan genggamannya lalu melepaskan tangan Rose.
"Jangan terlalu percaya diri, Rose. Aku tidak berminat padamu. Aku hanya ingin bertanya kenapa sekretaris Miss Black kuliah di fakultas seni. Ini tidak masuk akal."
Luke menajamkan sorot matanya seolah ingin menguliti Rose hidup-hidup.
"Denzel mengatakan kamu adalah mahasiswi semester akhir. Aku kira latar belakang pendidikanmu berkaitan dengan bisnis atau arsitek sehingga kamu diterima bekerja di perusahaan ayahku. Tapi aku menemukanmu di kelas melukis. Lalu siapa yang konyol disini, Miss Black, Denzel, atau kamu? Apa kalian bertiga sedang membuat lelucon?" cecar Luke.
"Saya diterima bekerja di Brown Group lewat tahap seleksi dan wawancara. Tidak ada unsur kekonyolan sama sekali. Anda bisa menanyakannya langsung pada Tuan Denzel," tandas Rose kesal.
"Tetap saja kamu tidak cocok untuk posisi sekretaris CEO. Dan tingkahmu sangat mencurigakan. Tadi kamu berlagak tidak mengenalku di kelas. Apa Miss Black yang menyuruhmu melakukan itu?" tanya Luke menginterogasi Rose.
"Tuan Luke, sudah saya katakan kalau saya belum pernah bertemu Miss Black. Maaf, sekarang saya harus ke perpustakaan. Jika Anda ingin mencari tahu tentang Miss Black tanya saja pada Tuan Denzel."
"Aku butuh jawaban darimu, bukan dari Denzel," tukas Luke.
Luke berusaha mendesak Rose agar buka mulut tentang Miss Black. Tapi kedatangan Anneth menghentikan aksinya.
Bibir Anneth mengerucut saat melihat Rose berduaan dengan Luke di koridor.
"Rose, Tuan Luke, kenapa kalian bisa ada disini?"
"Aku akan ke perpustakaan. Kebetulan Tuan Luke lewat dan kami bertegur sapa," jawab Rose.
Luke menaikkan sebelah alisnya. Rose begitu ahli dalam merangkai kalimat yang pas untuk menutupi kebohongannya. Luke bertambah yakin bila gadis ini telah dididik oleh Denzel dan Miss Black untuk memuluskan rencana mereka menguasai Brown Group.
"Kalau begitu kita pergi bersama ke perpustakaan, Rose," ajak Anneth.
"Saya permisi, Tuan Luke," ucap Anneth menampilkan senyum termanisnya. Padahal di dalam hatinya terpantik api cemburu yang semakin berkobar.
Sempat dari kejauhan, Amneth melihat Rose berbincang akrab dengan Luke layaknya orang yang sudah saling mengenal. Dan hal ini membuat Anneth sangat kesal. Ia tidak mengerti mengapa Rose selalu selangkah lebih unggul darinya.
"Aku akan memastikan kamu kalah dalam kompetisi melukis kali ini. Luke Brown adalah milikku,"
batin Anneth menggandeng tangan Rose.
Setelah Rose menghilang dari hadapannya, Luke berbalik arah menuju lobi kampus. Dia tidak ingin menunda lagi. Sekaranglah saatnya ia harus menemui Denzel lalu memaksanya untuk mempertemukan dirinya dengan Miss Black. Bila Denzel menolak, Luke sudah menyiapkan cara ampuh untuk memancing anak haram ayahnya itu keluar dari tempat persembunyiannya.

Book Comment (175)

  • avatar
    Aisyah ZhaThan

    cerita nya seru dan bikin penasaran

    01/06/2022

      0
  • avatar
    SahlaArum

    semangat yup

    10d

      0
  • avatar
    ardian putra

    Sangat luar biasa

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters