logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Di Rumah Tante Ningsih

Bersekutu Dengan Iblis
Part 4
***
Nova segera memencet bel yang ada di belakang pagar rumah Tante Ningsih. Mungkin hanya orang tertentu saja yang mengetahui keberadaan bel itu, sebab posisinya agak tersembunyi. Barangkali memang sengaja bel tersebut diletakan di sana oleh si empunya rumah. Agar tidak bisa dilihat oleh sembarang orang, terlebih anak-anak kecil yang kadang suka iseng bermain bel. Sebab rumah saudaranya Nova kebetulan berada tepat di depan jalan yang bersebelahan dengan sebuah Pustu (puskesmas pembantu), Kantor Kelurahan dan dua buah Sekolah Dasar Negeri serta sebuah PAUD (pendidikan anak usia dini) dan sebuah TK milik swasta. Yang sudah pasti ramai dan notabene banyak anak sekolah berlalu lalang di sekitarnya.
Tak lama berselang, muncul seorang lelaki berperawakan tinggi kurus dari arah belakang rumah, dengan berlari tergopoh-gopoh menghampiri pintu pagar. Dia masih mengenakan sarung, mungkin tadi lelaki itu sedang tidur. Barangkali dia adalah orang yang disuruh untuk menjaga rumah Tante Ningsih, yang sebelumnya diceritakan oleh Nova, aku membatin.
"Maaf ya Mang Asep. Saya udah mengganggu tidurnya. Tengah malam datang bertamu," kata Nova, begitu lelaki yang dipanggil Mang Asep itu membuka gembok pintu pagar.
"Nggak apa-apa, Neng. Tadi Ibu juga sudah bilang ke saya kok, kalau Neng Nova sama temannya mau datang ke sini," kata lelaki berumur sekitar lima puluh tahun itu.
Ternyata memang benar, lelaki setengah baya yang dipanggil Mang Asep itu adalah orang yang setiap malam disuruh untuk menjaga rumah saudaranya Nova.
"Ini kunci pintu rumah, Neng. Tadi Ibu pesan, kalau Neng Nova sudah datang, suruh langsung masuk saja lewat pintu samping," kata Mang Asep seraya memberikan sebuah kunci pintu pada Nova, setelah kami berada di teras dan Mang Asep mengunci pintu pagar kembali.
"Makasih ya, Mang Asep," ucap Nova sambil mengambil kunci itu dari tangan Mas Asep. "Memangnya Om Dedi sekarang sedang nggak ada di rumah, Mang?" tanya Nova kemudian.
"Nggak ada, Neng. Bapak kebetulan sedang piket malam ini," jawab Mang Asep.
Belakangan aku tahu, kalau Tante Ningsih ternyata adalah seorang dosen di Untirta (Universitas Tirtayasa), yaitu sebuah universitas negeri yang ada di Kota Serang Banten. Dia adalah adik bungsu mendiang ibunya Nova. Sedangkan Om Dedi, suami Tante Ningsih, adalah seorang ABRI yang dinasnya di rumah sakit tentara (DKT), karena dia juga seorang tenaga kesehatan (lulusan STIKES, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan jurusan keperawatan). Sepasang suami istri itu sudah menikah hampir sepuluh tahun, tapi mereka belum dikarunia seorang anak, jadi di rumah hanya tinggal berdua saja.
Setelah berbincang sekadar basa basi dengan Mang Asep, Nova segera membuka pintu samping rumah Tante Ningsih, dan kami berdua bergegas masuk lalu menutup serta mengunci pintu kembali. Nova langsung berjalan menuju ke sebuah kamar yang letaknya di belakang ruang tamu, dan aku mengikutinya dari belakang. Aku dan Nova lalu menaruh barang bawaan kami di atas meja yang ada di dalam kamar itu. Sepertinya Nova memang sudah sering datang berkunjung ke rumah tantenya ini, sebab aku perhatikan dia terlihat tidak merasa canggung sama sekali. Dia langsung tahu di mana letak kamar tidur untuk tamu dan seluk beluk rumah ini. Nova tampak tidak merasa sungkan lagi berada di rumah Tante Ningsih, seperti layaknya berada di rumahnya sendiri. Sama seperti aku kalau sedang menginap di rumah Nova. Aku sangat paham dan hafal semua ruangan yang ada di dalam rumah sahabatku itu. Dan aku pun tidak lagi merasa canggung atau sungkan, karena aku sudah menganggapnya seperti rumahku sendiri.
"San, aku mandi dulu ya. Badanku lengket banget," kata Nova seraya mengambil handuk dari dalam tas miliknya.
"Iya, nanti gantian. Aku mau ngadem dulu, gerah banget."
Sebentar kemudian, Nova pergi ke dalam kamar mandi, sementara aku 'ngadem' dengan duduk di tepi ranjang sambil menghidupkan kipas angin yang menempel di dinding di samping pintu kamar. Sejenak pandanganku mengitari seluruh ruangan kamar tidur itu. Sebuah kamar yang lumayan luas, berukuran sekitar 24 meter persegi dengan kamar mandi di dalam dan berjendela kaca mati seluas dua meter. Ada sebuah ranjang ukuran nomor 1, yang ditaruh di sudut dekat pintu masuk, sebuah pesawat TV berukuran sedang yang diletakan di dinding menghadap ke arah tempat tidur, sebuah lemari pakaian tiga pintu di sebelah ranjang, satu set meja hias beserta kursinya di dekat pintu kamar mandi dan sebuah meja dengan dua buah kursi di dekat jendela kamar. Semua furniture tersebut berukir dan terbuat dari bahan kayu jati. Yang penataannya terlihat amat rapi, sehingga membuat kamar tidur itu terasa nyaman. Ada juga sebuah jemuran handuk di sebelah lemari pakaian. Betul-betul mirip kamar di sebuah hotel berbintang. Hanya bedanya tidak ada AC di dalamnya. Mungkin karena kamar tersebut tidak ada yang menempati dan jarang digunakan.
"Kamu jadi mau mandi nggak, San?" tanya Nova, begitu dia keluar dari dalam kamar mandi, sekitar sepuluh menit kemudian.
"Ya mau dong. Badan lengket kena debu dan bau keringet gini masa nggak mandi?" ucapku seraya melihat jarum jam yang menempel di dinding kamar, di atas pesawat TV. Waktu sudah menunjukan hampir pukul dua malam.
"Ya udah gih buruan kamu mandi sana. Nanti terus lanjut tidur, soalnya masih malam ini. Biar besok pagi kita nggak bangun kesiangan. Lumayan masih ada beberapa jam untuk istirahat," titah Nova seraya menaruh handuk di jemuran.
Tanpa mengatakan apa pun, aku segera beranjak dari duduk, lalu mengambil handuk dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dari shower, seketika tubuhku terasa segar dan rasa lelah pun berkurang. Sama sekali tak terasa dingin, padahal sudah tengah malam.
"Va, kamu udah bilang belum ke Tante Ningsih, kalau kita mau pergi ke rumah Abah Karta?" tanyaku, saat kami akan beranjak tidur.
"Belum. Besok pagi saja aku ngomongnya ke Tante Ningsih, biar jelas. Lagian sekarang dia pasti udah tidur. Mending sekarang kita tidur aja, yuk," jawab Nova.
Aku mengangguk mengiyakan ajakan Nova, karena memang sudah mengantuk sekali. Kami berdua pun segera beranjak tidur. Dan tak memerlukan waktu yang lama, aku dan Nova pun sudah terlelap dalam mimpi masing-masing.
***
Aku terbangun ketika samar-samar terdengar suara azan subuh berkumandang dari toa musala yang letaknya berada tak jauh dari rumah Tante Ningsih, hanya berjarak satu rumah tetangga setelah puskesmas pembantu yang letaknya persis di samping rumah tantenya Nova tersebut.
Perlahan aku membuka mata lantas menoleh ke arah Nova yang berada di sebelahku. Tampak gadis itu masih tertidur dengan nyenyaknya sambil memeluk guling. Sejenak aku menggeliat, lalu merentangkan kedua tangan ke atas seraya menautkan semua jari. Meluruskan kedua kaki yang sudah tidak begitu terasa pegal lagi seperti tadi malam.
Aku beranjak dari tidur dan duduk sejenak di atas kasur, menunggu sampai nyawa terkumpul semua. Beberapa kali aku mengucek mata sambil menguap, karena memang masih merasa agak mengantuk. Lima menit kemudian aku membangunkan Nova.
"Va bangun. Nova … bangun, Va. Udah azan subuh. Kita salat bareng yuk, Va. Nova bangun, udah subuh," kataku seraya menepuk-nepuk tangan sahabatku itu agar dia segera bangun.
Perlahan Nova membuka matanya. Dia lantas memandangku sejenak dengan matanya yang belum terbuka semua. Kentara sekali kalau Nova masih amat mengantuk. Beberapa saat dia bergeming, sembari memejamkan mata, lalu membukanya lagi, begitu bergantian berulang kali. Agaknya nyawanya masih belum terkumpul semua. Aku menunggu sampai Nova benar-benar terbangun.
"Bangun, Va. Udah subuh. Kita salat bareng ya," kataku sambil memandang sahabatku itu, setelah sekitar tiga menit lamanya dia masih saja memejamkan matanya.
Nova lantas mengangguk. "Iya," katanya sembari menguap dan membuka mata.
Dia lalu bangkit dari tempat tidur dan duduk di sampingku. Kami pun segera beranjak dari kasur dan bergantian mengambil air wudu, kemudian mendirikan salat subuh berjama'ah.
Tok … tok … tok ….
"Va … Nova … udah bangun belum kamu?"
Tok … tok … tok ….
"Nova … kamu udah bangun belum?"
Terdengar suara orang memanggil Nova seraya mengetuk pintu kamar kami, saat aku dan Nova baru saja selesai mengerjakan salat subuh.
"Iya, Tante. Sebentar," kata Nova dengan suara agak keras, mungkin agar bisa terdengar dari luar.
Bergegas Nova beranjak dari duduk, lalu membuka mukenanya. Dia lantas menuju ke pintu kamar dan membukanya.
Tampak seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun sedang berdiri di depan pintu sambil tersenyum, begitu pintu kamar terbuka. Wajah dan perawakannya amat mirip dengan mendiang ibu sahabatku itu. Hanya bedanya, badan Tante Ningsih terlihat lebih gemuk. Nova lalu mencium punggung tangan kanan perempuan itu. Dan mereka berdua lantas berpelukan. Aku segera melipat mukena serta sajadah, lalu menaruhnya di atas kasur. Kemudian berjalan menghampiri Tante Ningsih.
"Ini Santi, Tante. Teman sekantor aku. Sengaja aku ajak dia ke sini untuk nemenin biar aku nggak sendirian," kata Nova memperkenalkan aku pada Tante Ningsih, saat aku sedang bersalaman dengan adik mendiang ibunya itu.
Tante Ningsih tersenyum ramah padaku. "Saya Ningsih, adik ibunya Nova," ucapnya sambil membalas uluran tanganku.
Aku tersenyum menanggapi seraya menyebutkan namaku. Tante Ningsih lalu mengajak aku dan Nova duduk di ruang tengah, yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur kami.
"Kamu itu sebetulnya mau pergi ke mana, Va?" tanya Tante Ningsih, setelah kami bertiga duduk di kursi ruang tengah.
"Aku mau pergi ke rumah Abah Karta, Te," jawab Nova.
"Abah Karta itu siapa, Va? Terus kamu ada perlu apa pergi ke sana?" tanya Tante Ningsih lagi seraya menautkan kedua alisnya.
"Aku mau ada perlu sama dia, Te," jawab Nova singkat dan Tante Ningsih tak bertanya lebih lanjut, apa keperluan Nova sehingga dia harus datang ke rumah Abah Karta. Mungkin Tante Ningsih berpikir, tak sepatutnya dia mencampuri urusan keponakannya itu. Atau mungkin juga Tante Ningsih sudah tahu, kalau orang yang dipanggil dengan sebutan 'Abah' itu pastilah semacam dukun, orang pinter, paranormal dan semacamnya, yang sering dimintai tolong oleh sebagian orang yang percaya pada mereka.
"Terus rumah Abah Karta itu ada di mana, Va?"
Nova lalu mengambil secarik kertas bertuliskan alamat Abah Karta dari dalam saku celananya. Dia kemudian memberikan kertas tersebut pada Tante Ningsih. Sekilas adik mendiang ibunya Nova itu lantas membacanya seraya mengernyitkan kening.
"Apa Tante tahu alamat itu ada di mana?" tanya Nova, setelah beberapa saat.
"Kalau tahu pastinya sih enggak, Va. Tapi kayaknya alamat ini masuk ke wilayah Badui Dalam. Loh … memangnya kamu nggak tahu alamat ini ada di mana? Terus kamu dapat alamatnya dari siapa ini?" Tante Ningsih balik bertanya sembari menaruh kertas itu di atas meja.
"Itu Iyul yang ngasih ke aku, Te."
"Terus, kenapa kamu nggak coba tanya ke Iyul aja?"
"Dia bilang kalau dia juga udah lupa, soalnya waktu dia pergi ke sana udah lama banget. Sebelum ayah sama ibu meninggal."
Tante Ningsih menghela napas panjang, lalu manggut-manggut.
"Oh … gitu. Ya sudah nanti kita coba tanyakan ke Om kamu saja kalau dia sudah pulang. Mudah-mudahan Om Dedi tahu alamat itu. Sekarang kita bikin sarapan dulu aja yuk, sambil nunggu Om kamu pulang," kata Tante Ningsih.
Aku dan Nova mengangguk mengiyakan. Maka kami bertiga pun segera beranjak dari tempat duduk dan menuju ke dapur. Tante Ningsih dan Om Dedi memang belum dikarunia anak, jadi suasana rumah mereka tampak sepi. Sebab hanya mereka berdua yang tinggal di rumah ini. Itu pun kalau salah satu dari mereka tidak sedang dinas. Kalau Om Dedi dinas sore atau malam seperti sekarang, tinggal Tante Ningsih yang berada di rumah ini. Atau kalau Tante Ningsih sedang dinas keluar kota, tinggal Om Dedi sendiri. Oleh karena itu, mereka meminta Mang Asep untuk setiap malam menjaga rumah, agar tidak terlalu sepi.
Dan kebetulan juga Mang Asep tidak punya keluarga di sini. Selama dua puluh lima tahun lelaki setengah baya itu hanya tinggal sendirian di rumahnya. Entah apa sebabnya, mantan istrinya minta cerai waktu anak semata wayang mereka berumur dua tahun. Dia lalu pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa anak perempuan mereka satu-satunya. Sejak saat itu Mang Asep tinggal seorang diri. Dan ketika Tante Ningsih membangun rumah ini, Mang Asep ikut bekerja sebagai tukang bangunan. Begitu rumah tersebut selesai dibangun, Om Dedi meminta agar Mang Asep bersedia untuk menjaga rumahnya saat dia dinas malam, sampai sekarang. Karena kebetulan rumah Mang Asep berada persis di sebelah rumah Tante Ningsih.
"Ini Tante masak kemarin sore, sebelum Om kamu berangkat dinas malam. Masih bagus kok, tinggal diangetin aja," kata Tante Ningsih seraya membuka tutup saji.
Di atas meja makan tersedia beberapa macam lauk. Ada rendang daging sapi, perkedel kentang, dan tumis kacang panjang yang dicampur kol dan tauge. Nova segera memanaskan semua lauk tersebut. Sedangkan aku menyiapkan peralatan makan. Setelah semuanya siap, kami bertiga pun lantas sarapan bersama.
"Assalamualaikum."
Terdengar suara orang mengucapkan salam dari ruang tengah, saat kami bertiga tengah sarapan. Tak lama berselang, muncul seorang lelaki yang usianya sepertinya sama dengan Tante Ningsih. Ternyata dia adalah Om Dedi, suami Tante Ningsih.
***
Bersambung

Book Comment (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    20h

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters