logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Stunning

Sarah berdiri di bawah kucuran air hangat, ia kembali menggosok tubuhnya dengan sabun cair aroma strawberry. Mendadak air matanya tumpah, ia jijik dengan tubuhnya. Diko tak berperasaan, saat Sarah meminta suaminya berhenti, tetapi Diko justru semakin menggila, meluapkan emosi dengan cara sama seperti yang sudah-sudah.
"Ibu... Sarah mau pu-lang...," tangisnya pecah. Suara gemericik air membuat tangis dan jeritannya teredam. Ia tak kuasa menahan juga pada akhirnya.
Sementara Diko, asik menatap layar ipad sembari duduk bersandar, ia sudah lebih dulu membersihkan diri di saat Sarah masih berusaha menahan semua rasa di dalam dirinya.
Sarah keluar dari kamar mandi, aroma sabun itu tercium, membuyarkan konsentrasi Diko saat menatap layar tipis itu. Ia melirik, Sarah duduk di meja rias, jam menunjukan pukul satu malam, tak menyurutkan wanita itu melakukan kegiatan mengeringkan rambutnya. Suara alat pengering rambut tak begitu bising, raut wajah Sarah meredum, tak ada senyuman, apalagi binar setelah mendapat pelepasan di atas ranjang, semua, hampa.
Diko melirik lagi, melihat pantulan wajah Sarah dari cermin, lalu kembali menatap ke layar ipadnya. "Besok malam ada undangan acara ulang tahun salah satu production house, kamu ikut, temani aku ke sana. Pakai gaun malam yang bagus. Jangan sam–"
"Aku nggak punya. Maaf." Begitu bernada dingin ucapan Sarah. Diko memejamkan mata sejenak. Mau tak mau, ia harus membeli bersama ke salah satu mal.
"Besok kita beli, aku kerja setengah hari, jam sebelas kita berangkat ke sana." Diko meletakkan ipad, ia merebahkan tubuh, membiarkan Sarah terus melanjutkan kegiatan mengeringkan rambut panjang sepunggungnya.
***
Sarah sudah bangun pukul lima, ia membuat teh hangat untuknya, sambil mulai membuat sarapan sederhana, perkara Diko akan memakannya atau tidak, itu belakangan, ia tak peduli, yang penting sudah dihidangkan.
Ia melanjutkan dengan mengurus pakaian yang sudah kering, dengan alat steam pakaian, ia merapikan baju-baju itu lalu ia gantung, kecuali dalaman yang dilipat dan masuk ke lemari berbentuk laci.
Suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga. Diko segera ke arah meja makan, ia melihat sarapan sudah tersedia, padahal masih jam enam pagi. Ia duduk di kursi meja makan, menyesap teh dan menggigit roti bakar butter dengan keju mozarella. Kedua matanya menatap ipad lagi. Setengah jam Diko duduk disana sambil makan, ia kemudian beranjak, mengenakan jas kerjanya, lalu berjalan ke arah garasi.
Sarah keluar dari ruang setrika baju, dekat dengan ruang cuci juga. Membawa pakaian yang sudah selesai di rapikan. Mendadak langkahnya terhenti, saat melihat Diko setengah berlari, lalu mengecup pelipis Sarah.
"Aku berangkat," ucapnya lalu berlari ke kembali ke arah garasi. Sarah diam. Ia mengelap bekas kecupan Diko dengan lengannya, masih dengan wajah datar, berjalan ke kamarnya di atas.
Ia tak memikirkan apa pun setelah kecupan itu, justru Diko yang tertawa sinis. Ia berharap jika Sarah akan masuk perangkapnya, wanita itu harus hamil, melahirkan, dan akan ia campakan setelah membawa anak mereka. Sudah terlalu jahat pikiran Diko, ia tak menyadari satu hal, jika sesungguhnya, hatinya terus tergelitik saat mengingat ia mengecup pelipis istrinya tadi.
Sesuai janji, Diko pulang jam sebelas, Sarah sudah menunggu di ruang tamu, karena pembawaan Sarah yang anggun, penampilannya juga mewakili dirinya. Dress warna kuning pucat, dengan sandal selop warna navy, membuat penampilannya santai tapi elegan. Riasan wajah juga sesuai perintah Diko 'tidak menor', pria itu tak berganti pakaian, ia justru menunggu di dalam mobil. Sarah membuka pintu bagian belakang, ia duduk di sana, suaminya membiarkan hal itu.
Kurang dari satu jam mereka tiba di mal, sata berjalan bersisian, Diko melihat kaki Sarah yang masih merah, luka itu pasti akan membuat perhatian banyak orang nantinya.
"Beli stocking, jangan bikin malu aku karena luka bakar kakimu itu." Ketusnya.
"Ya." Hanya itu jawaban Sarah. Keduanya masuk ke toko yang menjual gaun pesta merk ternama, mal besar itu jelas sekali tak menjual sembarang merek. Mal kelas atas.
"Jangan pilih gaun dengan belahan dada rendah, juga punggung terbuka. Aku benci melihat wanita memakai gaun itu, seperti pelacur." Ketusnya. Sarah diam, ia berjalan menyusuri toko itu. Diko mengikuti dari belakang, takut Sarah kabur, padahal, ini kesempatannya untuk melakukan hal itu. Lagi-lagi, Diko seperti tahu jalan pikiran Sarah.
"Boleh saya lihat yang ini, Mbak?" tanya Sarah diakhiri senyuman. Diko diam, ia melihat Sarah tersenyum untuk pertama kalinya.
"Boleh, Bu," jawab pramuniaga itu. Sarah menerima gaun warna silver dengan model terompet panjang selutut, lengan panjang tertutup hingga leher, namun memiliki aksen bunga.
"Boleh saya coba?" tanyanya.
"Boleh, saya antar, mari, Bu," ajak pramuniaga itu. Diko masih terus membuntuti, ia duduk di sofa putih, tepat di depan ruang ganti. Di dalam, Sarah mencoba pakaian itu, ia takjub dengan penampilannya, seulas senyum muncul dari bibirnya, ia mematut diri, di sana, ia seperti menemukan dirinya lagi. Tapi tak lama, setelah kenyataan menampar dirinya saat itu juga.
Diko beranjak, saat Sarah menyukai gaun itu, tak peduli harganya, ia berjalan bersama pramuniaga lagi, kali ini ke rak sepatu. Diko juga memintanya untuk membeli, masih di toko yang sama. Sepatu warna senada dengan gaun terlihat cocok, Sarah meminta nomor 39 sesuai ukurannya. Ia duduk menunggu, sembari mengedarkan pandangan, dan masih tak bicara sengan suaminya.
"Ini, Bu, saya ban--"
"Biar saya. Saya tidak suka kaki istri saya di pegang orang lain." Ketus Diko. Sarah diam, ia berbicara kepada pramuniaga untuk memaklumi sikap Diko. Pria itu berlutut, mengambil sepatu sebelah kanan, lalu memasangkan ke kaki istrinya. Sangat pas dan cocok, sepatu dengan tinggi 15 cm itu cantik dikenakan Sarah. Untuk kaki kirinya, Diko perlahan memasangkan, terdengar ringisan pelan dari Sarah, namun kemudian ia kembali tenang. Sarah berdiri, mematut diri kembali ke cermin. Cantik, sepatu itu membuat tinggi badannya proporsional. Diko diam, ia lalu berjalan ke kasir untuk membayar belanjaan istrinya.
***
Malam datang. Pukul tujuh mereka berangkat ke gedung acara, pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, Sarah keluar dari kamar mandi, ia sudah selesai berpakaian dan berhias, kedua mata Diko menatap ke arah Sarah, ia bergeming di ambang pintu kamar.
"Aku nggak bisa pakai stoking, maaf. Luka bakar ini bisa aku tutupi pakai concealer, dan luka bakarnya juga udah mau sembuh." Sarah memakai sepatu, ia lalu mengambil clutch warna hitam, ia juga sempat membelinya, masih di toko yang sama.
Diko tak menjawab, ia berbalik badan, berjalan meninggalkan Sarah. Wanita itu berjalan menyusul, mereka menaiki mobil sedan mewah hitam kebanggaan Diko. "Duduk di depan," perintahnya. Sarah bergeming, tanpa banyak kata ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
Mobil melaju, keduanya membisu, hanya suara dari luar yang terdengar pelan karena peredam kabin mobil mewah itu. Bahkan, hingga mereka tiba di lokasi acara, keduanya masih membisu. "Sarah, dengarkan aku. Di dalam, bersikaplah biasa, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan kita kecuali teman dekat, dan keluargaku. Semua hanya tau pernikahan kita bahagia. Ingat pesta pernikahan kita? Seperti itu mereka melihat kita, ba-ha-gi-a." Keduanya menatap lekat.
"Padahal, seumur hidup, aku akan membenci kamu, Sarah!" tegas Diko. Sarah bergeming. Ia membuka pintu mobil, ikut turun setelah Diko melakukan lebih dulu. Sarah meraih tangan suaminya, dan akting pun dimulai.
Acara bertabur artis ibu kota, Sarah tersenyum ramah menyapa kolega suaminya. Bahkan tangan Diko setia merengkuh pinggang ramping Sarah. Tyo berjalan mendekat, dokter itu hadir atas undangan anak pemilik rumah produksi itu yang merupakan temannya.
Ia menyapa Diko dan Sarah, teruntuk Sarah, Tyo tersenyum begitu manis. Sarah... biasa saja. Lalu muncul Russel dan Riska, dua kakak kandung Diko yang menatap Sarah penuh licik.
"Hei... adik ipar," sapa Riska sembari mencium pipi Sarah.
"Kau cantik. Dan... apa luka bakar sudah sembuh? Kasihan..." ucapnya lirih sembari berdecak sinis. "Baiklah, aku akan ke suamiku di sana, bye..." Riska melambaikan tangan seraya berjalan ke arah suaminya. Sedangkan Russel, ia berdiri di sebelah Sarah. Mereka berempat berdiri di pojok, dengan standing table yang berisi minuman mahal, nantinya, mereka akan masuk ke ruangan lain untuk makan malam.
Russel kurang ajar, tangannya meremas bokong Sarah. Membuat wanita itu membeku. Russel mendekat ke telinga wanita itu. "Aku ingin mencicipimu, mau berbagi kehangatan dengan adikku, hum?" bisiknya. Lalu berjalan santai meninggalkan area itu. Sarah marah, ia direndahkan, dilecehkan. Tyo menyadari perubahan raut wajah Sarah.
"Ada apa?" tanyanya lirih. Sarah masih diam. Sementara Diko, meraih jemari tangan Sarah, ia menatap tak suka saat Tyo berbicara selembut itu kepada istrinya.
Sarah sesak, ia ingin menangis, memaki, mengumpat Russel. Bahkan saat ia dan Diko melewati pria tersebut, seringai mengerikan jelas diperlihatkan Russel ke Sarah.
"Aku tahu Kakakku menginginkanmu, Russel, dia buaya. Abaikan dia." ucap Diko.
"Kakakmu buaya, dan kamu... iblis."
Diko menghentikan langkahnya, menatap Sarah terkejut, karena ia melihat kedua mata Sarah sudah memerah dengan tatapan penuh amarah.

Book Comment (217)

  • avatar
    ikaaa Manehh

    jalan cerita yang cukup sempurna ❤️

    4d

      0
  • avatar
    RiduanRiduan

    mntap

    12d

      0
  • avatar
    FikliMuhammad Fikli

    novela bagu boleh top AP gem tapi mahal tapi biar begitu gratis

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters