logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Home

Rumah. Itu yang diinginkan Sarah. Jika ia bisa pergi, kabur, itu yang ingin ia lakukan, tetapi, nyatanya itu hanya ilusi di kepalanya saja. Ia kembali dari klinik, masuk ke dalam rumah yang dingin dan sepi. Satpam, membukakan kunci, menyambutnya pulang. Tanpa adanya Diko. Siapa juga yang peduli.
Sarah menuju dapur, ia akan menyiapkan makan siangnya, bahan makanan masih ada, bahkan sayuran dan buah juga tampak segar. Wanita itu menguncir tinggi rambutnya, memperlihatkan leher mulusnya. Mendadak ia diam mematung, ia merasakan tangan seseorang memeluk pinggangnya dari belakang.
"Hei..." suara itu menyapanya. Sarah diam. Ia lalu meneruskan mencuci sayuran, lalu beralih membuka bungkusan daging cincang yang akan ia masak bersama beberapa bahan lainnya.
"Tyo bilang, kondisimu baik," suara Diko terdengar lembut di telinga Sarah, tak ada sikap dingin seperti biasanya. Sarah masih diam, hanya helaan napas yang ia perdengarkan.
"Aku pulang subuh tadi." ucapnya lagi. Diko kini mengendus leher Sarah. Kali ini Sarah tak diam. Ia melepaskan kedua tangan Diko, berbalik badan lalu menampar wajah pria itu dengan sangat keras, bahkan hingga wajah Diko menoleh ke arah kanan.
"Jangan sentuh aku." Kali ini Sarah bersuara. Diko marah, namun, ia tahan karena mengingat rencana itu.
Sarah kembali fokus memasak, tak memperdulikan Diko yang menatapnya di tempat dengan marah.
Sarah memasak sebisanya, ia harus minum obat juga, ia sebenarnya ingin membeli makanan dari luar, namun Diko tak memperbolehkannya memegang uang. Nasi juga sudah ia masak, laki-laki itu masih setia berdiri di dapur, terus melihat Sarah memasak. Hingga masakan matang, kali ini Diko dibuat terkejut, karena Sarah menikmati makanannya sendiri tanpa menawari atau menyiapkan untuknya.
Lima belas menit berlalu, Sarah sudah mencuci piring dan lanjut membersihkan seiri rumah. Mengabaikan Diko lagi. Pria itu mengurusi makan dirinya sendiri masih sambil memperhatikan Sarah memaksakan diri membereskan rumah, padahal seharusnya ia istirahat.
Pukul tiga sore.
Suara Anita - ibu Diko - terdengar. Wanita itu bahkan tak menyapa Sarah saat menantunya membukakan pintu. Sebelumnya, Sarah baru selesai menjemur pakaian.
"Kamu masih nggak berubah pikiran untuk sewa pembantu, kan! Suruh istri kamu yang kerjain semua. Jangan mentang-mentang istri CEO maunya enak-enakkan!" suara itu melengking tinggi. Sarah diam. Ia melanjutkan merapikan lantai dua, ruang keluarga di lantai itu juga butuh dibersihkan.
Pendingin ruangan juga sudah menyala, Diko dan Anita duduk di ruang TV. "Apa Kakak-kakakmu sudah ceritain semua?" tanyanya.
"Udah. Diko pagi tadi sempat ke makan Abel, Ma, setelah Diko bersih-bersih dulu di sini. Mama kenapa nggak bilang. Diko cinta sama Abel, Ma! Mama kenapa tega bohongin Diko!" suara Diko terdengar hingga ke lantai atas. Membuat Sarah diam sejenak.
Anita memeluk putranya, "jangan keras-keras ngomongnya, nanti Sarah dengar."
Diko menangis, meluapkan kekesalan juga rasa sedihnya ke Anita. Sarah mengintip, melihat raut wajah suaminya yang terpukul.
Abel meninggal? ucap Sarah dalam hati.
Diko mengurai pelukannya, ia menatap ibunya dekat penuh emosi tertahan. "Aku tidak akan pernah bisa mencintai Sarah, Ma, tidak-akan-pernah-bisa." Begitu pelan kata-kata itu diucapkan Diko, Sarah tak bisa mendengarnya. Ia melanjutkan membersihkan karpet dengan alat yang disimpan di gudang lantai dua. Ia mengabaikan ibu dan anak itu.
***
PRANG!
Anita membanting mangkuk berisi sup panas ke arah kaki Sarah, kuah itu menyiram kaki itu, terasa panas seketika, Sarah menggigit bibirnya, terasa perih, ia segera merapikan pecahan mangkok, tanpa berbicara satu kata pun. Diko diam, ia hanya bisa melirik sambil meneguk air putih.
"Ngapain masak kalau nggak bisa masak! Nggak becus!" ketusnya. Sarah masih fokus membersihkan. Anita beranjak, mengambil panci berisi sop sayuran dan bakso yang Sarah masak, lalu ia buang ke bak cucian. Melempar panci ke arah Sarah juga.
"Kita makan di luar Diko!" perintah Anita. Diko beranjak, ia melirik penuh kebencian ke Sarah yang masih berjongkok. Ia tak menangis, hatinya seolah sudah siap dengan semua kebencian. Terdengar suara pagar terbuka, tak lama tertutup karena mobil Diko sudah pergi dari rumah. Pak Eko, melesak masuk, terkejut melihat kekacauan di ruang makan.
"Nyonya, saya bantu. Nyonya kan baru sembuh sakit, sini, Nyonya," ujar pria itu. Sarah mengangguk. Ia beranjak, berjalan ke kamar mandi di lantai bawah, menyiram kakinya yang terkena kuah panas, ia duduk di kloset sembari menahan perih.
"Ssshhh...," ia menggigit bibir bawahnya. Tak hanya merah, bahkan panas. Sarah mengeringkan dengan handuk. Ia lalu berjalan keluar, melihat Pak Eko sudah merapikan kekacauan itu.
"Bapak sudah makan? Saya sampai lupa nawarin, makan," ucap Sarah dengan jalan terpincang-pincang.
"Udah, Nyonya, beli di depan tadi. Nyonya baru mau makan? Tapi sayurnya...," tunjuk pria itu ke arah bak cucian.
"Saya bisa goreng telur. Makasih ya, Pak, udah saya repotin beresin ini." Sarah tersenyum tipis, satpam itu mengangguk.
"Nyonya, panggil saya kalau butuh apa-apa," ujarnya. Sarah hanya mengangguk.
Ia berjalan ke arah bak cuci piring, membuat isi sayur sop ke tempat sampah, lalu membersihkan bak cuci juga dari lengket sisa kuah. Setengah jam kemudian, meja makan dan area dapur sudah bersih, Sarah bisa menikmati makanannya seorang diri. Ia melihat sekeliling, teringat rumahnya dulu, kehangatan, juga suara ibu yang bawel mengingatkan ia ini itu. Ia dulu bak putri raja, tapi kini, begitu terbalik semuanya.
Sarah tak bisa menghubungi ibunya, Diko membatasi siapa-siapa saja yang boleh Sarah hubungi, bahkan, Diko mengancam akan membahayakan nyawa ibunya jika ia sekali saja berhasil menghubungi. Sepertinya, tujuan mereka ingin membuat Sarah mati perlahan dan tersiksa, menang benar.
Malam larut. Diko baru pulang setelah makan malam mewah bersama ibunya, ia berjalan menaiki anak tangga ke kamar ia dan Sarah. Dengan perlahan, ia membuka pintu, terlihat Sarah sudah terlelap, tubuhnya terlihat kurus saat posisi tidur meringkuk seperti itu. Kedua mata Diko menatap ke kaki kiri Sarah yang merah cenderung cokelat muda, luka bakar jelas terlihat.
Diko tersenyum puas, mensyukuri yang terjadi pada kaki istrinya itu. Mendadak, pandangannya mengarah ke sisi tubuh Sarah lainnya. Baju tidur yang dikenakan Sarah seperti daster, namun tak bercorak, hanya daster polos warna hijau tua sepanjang betis. Kedua mata Diko terpejam, ia bahkan lupa kapan terakhir bercinta dengan Sarah.
Tunggu, bercinta? Diko salah, seharusnya lebih tepatnya memperkosa, karena Sarah sama sekali tak menikmati dan justru diam membatu tak bereaksi setiap kali Diko menyentuhnya, tak terdengar desahan, apalagi bibir Sarah yang menyebut namanya. Hasrat itu seperti terkubur dengan luka yang sudah Diko berikan sejak awal pernikahan mereka.
Pria itu membangunkan Sarah dengan kasar, tepatnya dengan memukul-mukul pelan wajah Sarah, hingga wanita itu terbangun dan terkejut saat melihat Diko yang sudah tak mengenakan pakaian lengkap.
"Bangun. Aku mau sekarang." Perintahnya. Sarah diam, ia harus apa. Ia mundur perlahan, berusaha menjauh, sayangnya, Diko sudah mencengkram tangan wanita itu.
"Menolak? Heh?!" Pelotot Diko.
"A-aku, Diko... a-aku," Sarah terbata.
"Apa aku perlu telpon Tyo untuk memastikan kamu siap untuk layanin aku apa nggak, gitu!" bentaknya.
Satu tamparan mendarat di wajah Sarah. "Itu balasan untuk kamu karena tadi siang tampar aku." Gumamnya. Sarah diam, terasa nyeri. Diko memerintahkan ia untuk berdiri, menanggalkan pakaiannya, sementara Diko sudah bersiap di atas ranjang.
"Sekarang Sarah!" Bentaknya lagi. Sarah menuruti. Ia mulai melepaskan apa yang ia kenakan, perlahan, dan itu membuat Diko semakin terpancing, satu hal yang Diko sadari untuk pertama kali saat Sarah melakukan hal itu dengan begitu pelan. Diko, menyukai lekukan tubuh Sarah, jantungnya berdebar hebat, darah berdesir cepat. Tubuh Sarah begitu indah dan sempurna. Diko, lekat menatap, terlena, tak bisa berkata.

Book Comment (217)

  • avatar
    ikaaa Manehh

    jalan cerita yang cukup sempurna ❤️

    4d

      0
  • avatar
    RiduanRiduan

    mntap

    12d

      0
  • avatar
    FikliMuhammad Fikli

    novela bagu boleh top AP gem tapi mahal tapi biar begitu gratis

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters