logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Fakta lain

Selang infus masih tertancap di punggung tangan Sarah. Ia masih pucat, akibat menahan nyeri saat keguguran sebelumnya. Suara detak jam dinding memecah kesunyian, telinga Sarah menangkap suara itu dengan baik. Ia membuka mata perlahan, kamar rawat di klinik bersalin itu tampak sepi, hanya ada dirinya, tetapi, tak lama terdengar suara orang berbicara.
Mata sarah menatap ke arah pintu, Tyo dan Juan masuk, kedua raut wajah mereka tampak kesal. Entah apa yang sudah mereka bicarakan, yang jelas Tyo segera berjalan menghampiri. Pria dengan jas putih itu segera mengecek kondisi Sarah. Sedangkan Juan mendadak membeku di tempat. Ia menatap Sarah iba, namun Sarah hanya diam, sedikit melirik ke Juan yang kala itu memperkosa dan begitu brutal melakukan hal itu padanya.
"Kamu agak demam, saya suruh perawat kasih obat demam, ya, lewat cairan aja. Sebentar," ujar Tyo bicara bernada lembut. Sarah bergeming.
"Sar..." Juan mencoba bicara. Sarah menatapnya, namun tatapan itu kosong. Sinar di dalam diri Sarah jelas sudah hilang.
"Aku...," Juan menunduk sejenak. "Kemungkinan itu anakku, kan?" tanyanya dengan keberanian yang ia kumpulkan cepat ke dalam dirinya.
Sarah tak menjawab, ia mana bisa tahu. Dua pria itu yang melakukannya, dan ia tak bisa memastikan juga. Kedua mata Sarah kembali terpejam, wajah cantik dengan kulit putih itu membuat Juan merasa bersalah. Ia sadar kebejatannya. Perlakukannya atas permintaan Diko memang di luar batas. Kata maaf juga tak kan mampu membuat Sarah mau mengabulkannya.
Juan mendekat, meraih jemari tangan Sarah yang sontak wanita itu lepaskan perlahan. Pria itu menghela napas pasrah. "Aku minta maaf atas kesalahanku, Sar, aku ingin bertemu denganmu, karena aku memimpikanmu beberapa malam ini, dan aku memaksakan datang ke rumah, sampai aku lihat kamu di dapur dan... Tyo cerita apa yang terjadi sama kamu." Ia diam sejenak. Mencoba mengumpulkan oksigen untuk paru-parunya karena sedikit sesak.
"Andai aku tahu kamu hamil, aku akan tanggung jawab dan paksa Diko menceraikan kamu. Walaupun Diko nggak mau, aku akan bawa kamu lari. Menyelamatkan anak itu. Sarah, aku memang bajingan, tapi aku bukan pengecut yang membunuh darah daging sendiri."
Sarah masih diam, ia terus memejamkan mata. Mau siapa pun ayah anak yang saat itu ada di rahimnya, ia tak akan bisa merasakan bahagia, perlakuan keduanya melebihi binatang kepadanya. Tyo masuk bersama perawat, perlahan perawat menyuntikan obat penurun demam. Juan menunduk, tampaknya Sarah memang tak bisa melihat ke arahnya.
"Aku pamit. Aku terima kontrak kerja dengan stasiun TV luar negeri, untuk acara reality show yang pesertanya dari berbagai negara. Kalau kamu bosan di rumah, lihat acara TVku, Sar, siapa tahu menghiburmu. Dan, maafkan aku atas kesalahanku kemarin. Aku... pergi. Permisi."
Pria setengah bule itu berjalan keluar kamar rawat. Sarah masih memejamkan matanya. Tyo menyeret kursi, ia duduk di samping ranjang.
"Hei... Sar, kamu baik-baik saja, kan? Diko, sudah aku kasih tahu kondisi kamu, dia nggak balas apa pun, tapi pesanku dibaca. Kamu kuat, suatu hari kamu pasti keluar dari sana, bebas dari Diko." Kalimat Tyo membuat Sarah membuka mata, ia menoleh ke kanan. Menatap Tyo yang tersenyum ke arahnya. Tangannya memegang erat jemari Sarah.
"Bisa kamu lepasin tangan kamu dari aku?" pinta Sarah pelan. Tyo mengangguk seraya tersenyum tipis. Perlahan ia melepaskan genggamannya dari tangan Sarah.
Sarah diam, ia hanya bisa menatap ke satu titik, tepatnya dinding di hadapannya. Ia terus berpikir, apa dirinya masih memiliki kebahagiaan, dan tujuan hidup. Kurang dari dua bulan, hidupnya sudah mendadak hancur. Melumpuhkan jiwanya, juga mematahkan semua tulang di tubuhnya.
"Sar ..., hei..." panggil Tyo lembut.
"Apa aku boleh memilih untuk pergi, Tyo?" tanya Sarah dengan tatapan masih ditempat yang sama.
"Jangan berpikiran pendek. Aku yakin akan ada saatnya Diko sadar dan menyesal karena kesalahannya. Dia... memang terlalu mencintai Abel, sampai terlalu tega untuk melampiaskan semuanya ke kamu."
Sarah hanya menghela napas. Ia menoleh ke Tyo kemudian. "Apa resep obat penenang itu, bisa kamu kasih ke aku?" tanyanya. Tyo mengangguk.
"Pengawasan kamu minum obat itu, harus sesuai dosis yang aku kasih. Aku nggak bisa resepin sekarang, aku nanti minta temanku yang psikiater untuk ketemu kamu dulu."
"Aku nggak gila. Aku cuma butuh obat itu untuk–"
"Mau coba overdosis, kan? Jangan kamu pikir aku nggak tau, Sar, tujuan kamu apa sama obat itu." Tyo bersedekap. Sarah tersenyum tipis.
"Aku salah anggap kamu bodoh, ternyata kamu bisa baca pikiranku." Lanjut Sarah dengan nada bicara begitu pelan dan lembut.
"Kenapa kamu mau tolongin aku, Tyo? Kamu seharusnya ada dipihak Diko, bukan?"
Tyo terkekeh, ia beranjak, merapikan jas dokter yang ia kenakan. "Ada kalanya, seseorang profesional demi tujuan tertentu dalam berlakon. Aku butuh uang Diko untuk penelitianku, tetapi aku masih punya hati untuk menolong orang lain. Aku dokter, harus sembuhin dan tolong pasien yang membutuhkan." Pria berambut cepak dengan tatapan lembut itu, membuat Sarah mampu menatap ke arahnya tanpa berpaling.
"Tapi aku nggak percaya kalau kamu tulus tolong aku, atau, berteman." Lanjut Sarah.
"Kita bisa berteman kalau kamu izinkan, aku rasa Diko juga nggak masalah. Aku harus mulai praktek, pasien wanita hamil banyak. Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan, makanan klinik cenderung hambar, sudah standar nya memang, untukmu, aku kasih kelonggaran." Kekehnya. Sarah diam, ia menggelengkan kepala. Menolak tawaran Tyo.
Vancouver.
"Gue nggak percaya Papa dan Abel rencanain ini semua. Kenapa Abel nggak cerita kalau dia sakit! Justru Papa dan kalian semua yang tau!" Maki Diko saat mengetahui fakta tersebut.
"Mama juga tahu, jangan lo lupain itu." Sambung Russel.
"Abel ketemu Papa dan Mama awalnya, dia bilang tentang sakitnya, dia nggak mau lo tau dan minta cari orang yang bisa pantas buat lo. Sayangnya itu nggak mudah, dan yang ada di depan mata Papa Mama cuma Sarah, ditambah masalah bisnis mereka yang saingan ketat." Lanjut Russel.
"Dan, Abel mau lo lupain dia dengan cara ini, ya emang kesannya karena tuntutan Papa seratus persen, padahal Abel juga yang mau. Setahun belakang baru ketahuan sakitnya itu. Keluarga Abel cuma bisa ikutin maunya dia. Dan, kita semua hadir waktu Abel dimakamkan, tanpa elo hadir." Riska kini menjelaskan.
Diko marah, ia mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. "Intinya. Apa yang kalian semua mau dari gue?!" Geramnya tertahan.
"Bertahan sama pernikahan lo, kasih Papa cucu, cewek atau cowok nggak masalah. Kita semua mau nama baik keluarga tetap utuh dan harus semakin melambung tinggi. Jangan karena rasa cinta lo ke Abel, lo korbanin kita semua. Orang-orang tau siapa kita. Bersikap baik lo sama Sarah. Seharusnya. Tapi sekarang malah lo minta di gugurkan anak itu. Lo gila." Ketus Riska dibarengi tatapan seolah ingin membunuh.
"Tujuan Abel lakuin ini karena dia nggak mau lihat lo sedih dengan sakitnya dia dan dia nggak mau lo akan terpuruk pada akhirnya." Sambung Russel.
Diko mengusap tengkuknya sembari tertawa sinis. "Dia bilang begitu. Dengan dia lakuin ini, dia salah kalau bilang gue nggak sedih dan bisa bahagia sama Sarah. Justru gue akan benci Sarah seumur hidup gue!"
Diko menggebrak meja begitu keras. Kedua matanya memerah, wajahnya kaku dengan guratan urat wajah yang menonjol, rahangnya mengeras, napasnya juga memburu cepat karena luapan emosi. Russel dan Riska masih duduk di tempatnya dengan keangkuhan yang tampak jelas.
"Sarah bukan wanita sembarangan. Dia dari keluarga baik-baik, hanya karena bisnis Ayahnya dan Papa kita, dia jadi kena imbas, juga terseret di permainan ini. Kalau lo nggak bisa cinta sama dia, setidaknya jangan lo sakitin dan hancurkan dia. Karena kita semua, sejujurnya, sama bencinya ke Sarah. Cuma Papa yang akan belain dia.
Lo mau hancurkan dia? Lo yang rugi. Kecuali, setelah lo berhasil bikin Sarah hamil, setelah anak itu lahir, lo bisa pisah, atau bertahan dengan tetap di keadaan ini. Tahta lebih berkuasa daripada cinta. Lo harus tau itu, Diko." Ucapan Russel membuat Riska melirik tajam. Ia tak menyangka Russel bisa lebih memiliki ide licik darinya.
Rencana Riska justru lebih simple, namun, terlalu berbahaya jika diceritakan sekarang. "Satu lagi. Mama juga benci dengan Sarah, karena, Ibu Sarah, dulunya rival Mama waktu di kampus. Mama tersaingi dengan wanita itu. Dan itu membekas sampai sekarang." Kalimat terakhir Russel membuat Diko menatap lekat kakaknya itu.
"Jadi... kalian semua membenci Sarah, tetapi, mau gue hamilin dia buat kasih cucu ke Papa, dan nanti Papa akan atur lagi kepemimpinan perusahaan. Kalian berdua mau di posisi CEO juga?" Kini, Diko sudah lebih tenang, ia bisa berpikir setelah menganalisa semuanya dengan cepat.
"Jelas. Udah capek di bawah kepemimpinan lo. Lo cukuplah, pegang bisnis media, apa stasiun TV nggak cukup. Nilai saham terbesar. Nanti gue sama Kak Riska akan bujuk Papa untuk pecah kepemimpinan, jadi, setiap bisnis akan punya CEO sendiri, nggak kayak sekarang yang semua di satuin jadi satu nama dan elo yang pimpin. So..., sanggup untuk melanjutkan semua ini, bukan?" tatap Russel dengan senyuman tipis, Riska juga menatap lekat adiknya. Diko tak menjawab, hanya menatap kedua kakaknya bergantian.

Book Comment (217)

  • avatar
    ikaaa Manehh

    jalan cerita yang cukup sempurna ❤️

    4d

      0
  • avatar
    RiduanRiduan

    mntap

    12d

      0
  • avatar
    FikliMuhammad Fikli

    novela bagu boleh top AP gem tapi mahal tapi biar begitu gratis

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters