logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Mengugurkan Kandungan

Kehidupan Sarah sudah hancur menurutnya. Bahkan dirinya sudah mati. Ia tak banyak bicara, bahkan, saat Diko menginginkan wanita itu melayaninya untuk urusan ranjang. Ia langsung melakukan tanpa bicara apapun. Ia bak mayat hidup berada di istana juga sekitar hidup Diko.
Satu bulan sudah mereka menikah. Kali ini, Diko memanggil dokter ke rumah. Ia ingin memastikan jika Sarah tak hamil. Wanita itu diminta Diko berdandan, ia tak suka melihat raut wajah Sarah yang pucat beberapa hari belakangan. Wanita itu menuruti kemauan Diko. Ia memoles wajahnya, ia diam saat menatap cermin. Bahkan, dirinya tak mengenali sosok cantik yang memantul di cermin itu.
"Kamu bukan Sarah. Sarah sudah mati." lirihnya. Ia merapikan alat mekap. Suara Diko memanggil dari luar kamar, terdengar jelas. Sarah membuka pintu. Sosok dokter itu masuk seraya tersenyum.
"Saya Tyo," sapa ramah dokter itu. Sarah mengangguk pelan, ia lalu berjalan ke arah ranjang. Duduk di tepi. Menunggu perintah selanjutnya. Diko berdiri bersedekap, Tyo meminta Sarah berbaring. Kedua matanya bertemu tatap dengan Diko yang sangat membencinya, kilatan itu tak luntur dari sorot tajam mata Diko.
Tyo mulai memeriksa Sarah. Ia meminta Sarah melakukan tes urine untuk mengetahui apakah wanita itu hamil dengan alat tes kehamilan yang keakuratannya seratus persen.
Sarah duduk di atas kloset setelah melakukan tes urine tersebut. Tak ada ekspresi saat melihat tulisan di alat tersebut setelah bunyi bip beberapa kali.
Pintu kamar mandi di buka, Sarah berjalan, menyerahkan alat itu ke tangan Tyo, sebelum duduk kembali ke tepi ranjang. Tyo melihat tulisan yang muncul.
"Hamil." Kalimat itu membuat Diko terbelalak. Ia diam beberapa detik. Sarah menatap ke arah jendela luar, tanpa ekspresi apa pun. Tyo menatap lekat Diko yang sangat terkejut.
"Gugurkan." ucapan Diko bak petir di siang hari yang cerah. Sarah memejamkan matanya beberapa detik sebelum kembali terbuka. Diko berjalan meninggalkan kamar dengan angkuh. Tyo menoleh, menatap Sarah yang tampak kosong.
***
Diko berada di kantor. Kehamilan Sarah menjadi pikirannya yang mengacaukan konsentrasi dirinya salam bekerja. Ruangan itu terbuka, muncul pria dengan setelan jas formal mahal berjalan menghampiri. Russel, kakak laki-laki Diko yang menjabat sebagai Manajer keuangan. Jabatannya di bawah Diko yang menjadi CEO perusahaan tersebut.
Russel duduk di kursi, mengangkat satu kaki ke kaki lainnya. Menatap lekat Diko yang mengabaikan kehadiran kakaknya itu.
"Pengantin baru kusut amat. Gimana? Enak nggak, Sarah. Gue mau cobain boleh?" kekehan sinis tampak di wajah Russel di tambah seringai licik.
"Dia istri gue. Jangan coba-coba," sahut Diko tanpa menatap sang lawan bicara.
"Kenapa? Gue kok dengar desas desus kalau lo siksa dia? Lo apain? Lo nggak kayak di film yang kita lihat di Singapore kan?"
"Apa? Bdsm? Nggak lah." Sanggah Diko. Padahal ia melakukan lebih dari itu. Ia sudah menghancurkan harga diri Sarah melebihi hal hina seperti permainan sex tersebut.
"Oh gitu. Kalau boleh, gue pinjam semalam." Russel tertawa licik. Diko fokus membaca laporan pekerjaan anak buahnya termasuk Russel.
"Papa cariin lo. Dia tanya ke gue, apa Sarah sudah hamil. Papa mau cucu dari lo sama Sarah."
Hal itu seperti selaras dengan apa yang terjadi. Diko diam, kepalanya terangkat, menatap Russel dengan amarah tertahan.
"Bilang sama Papa. Nggak akan ada anak diantara gue dan Sarah." Kata-kata yang diucapkan begitu bernada menunjukkan kepastian. Hal itu memang tak diinginkan Diko. Ia sendiri tak tahu anak yang dikandung Sarah, anaknya atau anak Juan, bintang iklan blasteran Indonesia-Spanyol.
"Papa mau atur warisan. Gue dan Kak Riska nggak mau ya, gara-gara lo nggak nurutin maunya Papa, hak kita jadi berkurang. Papa mau cucu, karena Papa mau kasih bisnis stasiun TV itu ke elo dan cucunya nanti. Jadi, gue dan kak Riska bisa handle bisnis tambang dan properti. Kita berdua udah capek ada di posisi yang dipimpin elo. Kita berdua kompeten, tapi Papa cuma lihat elo sebagai yang pantas memimpin semuanya.
Lo serakah kalau begitu namanya. Stasiun TV bisnis terbesar Papa. Satu itu aja lo pegang, lo nggak akan miskin sampai ke anak cucu lo nanti. Kasih dua Kakak lo buat pimpin." Kalimat panjang itu terdengar bukan seperti nasehat, tetapi lebih sebagai ungkapan isi hati.
Diko memang lebih dipercaya memegang kepemimpinan perusahaan. Sedangkan ayahnya kini hanya ingin memantau. Selain sudah tua, ia ingin anak-anaknya belajar mengendalikan apa yang seumur hidup mati-matian ia bangun. Konglomerat itu ingin menikmati hidupnya kali ini, dengan memiliki cucu sebagai pelengkap.
"Sekali lagi gue bilang. Nggak akan ada anak di antara gue dan Sarah. Kecuali kalau Papa merubah keputusannya, bolehin gue cerai dengan sarah untuk nikah sama Abel. Gue cuma cinta sama Abel." Tegas Diko.
"Terserah. Jujur, kalau gue lebih memilih tahta daripada wanita." Russel beranjak, meninggalkan sang adik yang menahan amarahnya. Diko melempar gelas berisi air putih miliknya ke dinding. Ia geram sembari berjalan mondar mandir. Mendadak, ide untuk ke Canada mengunjungi Abel terlintas. Dengan cepat ia meminta sekretaris mengurus semuanya. Gemuruh di dadanya, memunculkan energi baru yang membuat Diko tersenyum. Ia merindukan Abel, begitu dalam setelah lima bulan tak bertemu.
Sementara, di dalam kamar itu, Tyo yang kembali datang setelah sempat menolak untuk memberikan obat penggugur janin, kini sudah berdiri di tepi ranjang. Ia duduk setelah Sarah mempersilakan hanya dengan anggukan kepala.
"Sarah, aku tahu ini perbuatan melanggar hukum, baik hukum manusia atau pun Tuhan. Aku sadar itu. Pilihan ada di kamu. Diko menyulitkanku dengan mengancam menghentikan menjadi sponsor penelitianku untuk gelar profesor yang aku ingin raih. Kau berhak membenciku setelah ini. Posisiku sama sulitnya denganmu yang harus memutuskan hal ini."
Sarah diam, Tyo masih memegang obat tersebut di tangannya. Tyo terkejut saat ia benar-benar menatap lekat ke dalam netra Sarah. Baru pertama kali ia melihat tatapan kosong itu, yang justru seolah mati.
Tangan Sarah meraih obat, ia membuka dengan cepat, secepat ia menelan dengan dorongan air putih yang sudah disiapkan sejak tadi. Tyo terbelalak. Wanita di sampingnya tergolong nekat. Tyo mengusap kasar wajahnya sebelum menatap Sarah dengan kesedihan yang terpancar tanpa wanita itu ucap.
"Apa yang sudah Diko lakukan? Katakan?" Tyo meraih jemari tangan wanita itu. Namun, Sarah mundur, memberi jarak untuk posisi keduanya duduk.
"Apa aku bisa membantumu, Sar?" tanya Tyo lagi. Sarah masih diam.
"Apa reaksi obat ini, Dok?" Akhirnya Sarah berbicara.
"Kau akan merasakan seperti datang bulan, dengan nyeri yang sedikit lebih hebat. Hubungi aku jika kau mulai mengeluarkan darah. Aku akan membawa ke klinik, aku akan membersihkan rahim-mu."
Sarah mengangguk. Ia menyodorkan ponselnya ke arah Tyo. "Simpan nomormu di sini, aku akan hubungi jika itu terjadi."
Lalu Sarah kembali diam. Tyo mengangguk, ia mengetik nomor ponsel juga namanya untuk disimpan di ponsel itu.
"Hubungi aku jika Diko menyakitimu, Sarah," pinta Tyo. Bukannya jawaban, justru senyum sinis yang ditunjukan Sarah. Tyo paham, Diko begitu mencintai Abel, tapi terlalu jahat jika pria itu tega berbuat menyakiti Sarah terlalu dalam dengan hal diluar nalar. Tyo sebagai lelaki akan merasa malu mengenal pria sejahat itu.
Sarah masih bergeming, ia hanya menatap ke arah jendela lagi, Tyo mengikuti, ia melihat ke arah jendela balkon. "Kau mau keluar? Aku temani." Tawarnya. Sarah menggeleng.
"Pergilah, dan... terima kasih." Hanya itu. Sarah beranjak, ia akan membersihkan lantai bawah, karena tak ada pembantu, ia yang harus mengerjakan semuanya. Tyo berjalan di belakang Sarah yang postur tubuhnya semampai, harum wangi tubuh Sarah juga sangat baik. Diko keterlaluan memang, tak seharusnya Diko meminta Sarah menggugurkan kandungannya."
Tiba di lantai satu. Tyo memperhatikan Sarah yang mengeluarkan mesin pembersih lantai, ia mulai melakukan kegiatan membersihkan lantai ruang tamu besar, lalu ruang tengah, ruang TV dan berakhir di ruang makan.
Tyo masih di sana. Sarah tak memedulikan, hingga suara mobil masuk ke garasi. Tyo membuka pintu, tak lama muncul Diko yang terkejut melihat sosok Tyo. Diko hanya menyapa sekilas, lalu berjalan masuk.
"Istrimu sudah meminum obat penggugur kandungan itu. Sesuai maumu." ucapnya sedikit bernada kencang supaya Sarah mendengar juga. Diko berhenti melangkah. Ia diam sejenak.
"Bagus." Jawaban itu terdengar Sarah maupun Tyo. Kedua mata Sarah menatap Diko yang melangkah cepat ke arah kamar. Sempat Diko melirik ke arah Sarah hingga keduanya beradu tatap, lalu Diko memutuskan tatapan itu lebih dulu.
Tyo berjalan ke arah dapur, dekat ruang peralatan. "Sar, hubungi aku. Jangan lupa. Rahim-mu harus dibersihkan, jangan sampai timbul penyakit nantinya." Tyo tersenyum. Sarah menatap datar, bahkan mengangguk pun tidak.
Saat Tyo hendak melangkah pergi, Sarah memanggilnya. Tyo menoleh cepat. "Apa dokter punya obat penenang, aku kurang tidur akhir-akhir ini."
Tyo mengangguk. "Aku resepkan nanti," jawabnya. Sarah mengangguk. Ia mengantar Tyo hingga ke pintu ruang tamu. Dari atas, Diko melihat hal itu. Walau Sarah tak menunjukkan senyuman ke Tyo, ia tahu jika mereka tampak cocok dan berpotensi menjadi teman. Diko menerima panggilan telepon dari sekretarisnya, yang mengatakan jika ia bisa berangkat ke Canada lusa.
Tak sabar, Diko segera merapikan pakaiannya, dan memilih menginap di hotel dekat bandara hingga jadwal keberangkatannya nanti.

Book Comment (217)

  • avatar
    ikaaa Manehh

    jalan cerita yang cukup sempurna ❤️

    5d

      0
  • avatar
    RiduanRiduan

    mntap

    12d

      0
  • avatar
    FikliMuhammad Fikli

    novela bagu boleh top AP gem tapi mahal tapi biar begitu gratis

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters