logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Haruskah?

Diko mengemudikan mobil mewahnya seorang diri, ia tak suka jika memakai supir, kecuali jika ia baru tiba dari perjalanan bisnis di luar kota atau luar negeri. Sarah tidak duduk di posisi samping pria itu, tapi di belakang. Diko tak sudi jika berjajar dengan Sarah.
Mobil masuk ke area perumahan mewah. Salah satu rumah besar di sana milik Diko. "Jangan turun sebelum saya pastikan di dalam sudah sesuai sama yang sama mau." ujarnya bernada dingin.
"Ya." Jawab Sarah tak kalah sengit.
Seorang satpam rumah membuka pagar, Diko memarkirkan mobil ke garasi yang ada dua motor besar mewah, dan satu mobil jeep mewah warna merah yang sudah pasti miliknya juga.
Sarah menghela napas. Rumah bernuansa hitam dan putih itu megah bak istana, ia sadar, kehidupannya akan terkekang setelah kakinya melangkah masuk ke dalam sana. Tak tahu akan seperti apa nasibnya nanti. Ponsel Sarah berbunyi, nama Diko muncul. Kening wanita itu mengkerut, sejak kapan ia menyimpan nomor Diko, seingatnya, ia enggan menyimpan.
"Ya," jawab Sarah.
"Masuk."
Hanya itu ucapan Diko, lalu telepon terputus. Sarah memasukan ponsel ke dalam tasnya, ia turun. Satpam berama Eko - Sarah membaca dari nama yang tertera di dada kanan seragam - tersenyum menyapa ramah.
"Selamat datang, Nyonya," sapanya. Sarah mengangguk ragu dengan senyum kaku. Ia berjalan mengikuti Eko yang mengantar hingga ke dalam. Dekorasi rumah khas orang berduit tampak nyata di depan matanya. Ia tak kaget, karena beberapa waktu lalu pun, ia pernah berada di posisi Diko hingga hal itu terenggut paksa.
"Kita tidur satu kamar. Tugas kamu melayani saya, tanpa mengeluh sekali pun. Saya nggak peduli kondisi kamu. Di saat saya butuh, kamu harus siap. Untuk-urusan-apa pun." Tatapan tajam menusuk netra Sarah yang hanya bisa menjawab dengan tatapan kosong. Ia melihat sekeliling rumah, tangga berada di sebelah kiri, menempel pada dinding bercat putih.
"Kamar kita di atas. Di sini ada tiga kamar. Halaman belakang berukuran kecil dan sebelahnya ruang cuci baju. Itu dapur, itu pintu tembus ke garasi. Kamar tamu di bawah satu, ruang keluarga luas. Jangan sesekali kamu sentuh piano itu. Hanya Abel yang boleh memainkannya."
Saat menyebut nama itu, guratan kesedihan tampak pada raut wajah Diko. Sarah tak peduli. Ia mengabaikan ucapan Diko. Sarah juga tak tertarik dengan piano, ia hanya bisa bernyanyi, tapi tidak bermain alat musik.
"Hal terpenting. Di sini, semua kamu kerjakan sendiri. Saya tidak memakai jasa pembantu. Hanya Pak Eko yang saya pekerjakan sebagai satpam rumah."
Sarah bergeming. Ia meremas tas tangannya hingga buku-buku jemari memutih. Ia tau, Diko tak akan memberikan kemudahan baginya untuk menjalani hari-hari di rumah itu, maka dengan tetap sabar dan tegar, ia akan melakukan semuanya.
"Urusan belanja bahan makanan. Kita pergi bersama. Belanja kebutuhan makanan untuk satu minggu sekaligus. Aku lihat kamu pergi keluar rumah sendirian. Aku nggak akan segan hajar kamu."
Tatapan itu masih menusuk. Sarah tak gentar, ia menatap pria yang sudah menjadi suaminya itu dengan lekat.
"Kamu mau melakukan KDRT?" pertanyaan itu terlontar cepat dari mulut Sarah. Diko berjalan mendekat. Memegang rahang Sarah dengan keras. Menatap lekat kedua mata yang semakin redup binarnya, dengan sudut bibir tertarik sinis.
"Jika... perlu. Aku... akan sangat senang... melampiaskan ke kamu, Sarah." Lalu Diko melepaskan cengkraman di wajah itu dengan kasar, ia berjalan ke sofa mewah berbahan beludru warna red wine. Bokongnya sudah ia letakkan di sana, menyalakan TV dan penyejuk ruangan.
"Ngapain masih di sana! Lakukan tugas kamu! Bisa masak, kan!" ucapnya ketus. Sarah menuju ke lantai atas, ke arah kamar, ia ingin ganti baju lebih dulu sebelum kembali ke dapur untuk memasak nasi. Koper mereka sudah dibawa Eko sejak tadi, satpam itu juga hanya bisa diam dan mencoba tak peduli dengan ucapan Diko yang pasti jelas terdengar saat tadi ia masuk membawa dua koper besar.
Di dalam kamar, Sarah duduk lemas di pinggir ranjang. Ia mematut dirinya ke arah cermin.
Kuat, Sarah, kamu kuat. Sabar, sampai tiba waktunya, kamu bisa pergi sejauh mungkin dari Diko. ucapnya dalam hati.
***
Sarah sedang merapikan bahan makanan yang akan ia masak. Jujur, ia tak pandai memasak, hanya sebatas bisa, dan untuk rasa tak bisa dikatakan enak sekali. Biasa saja. Ia tak tahu apa kesukaan Diko perihal makanan, ia memasak sesuai apa yang akan ia makan. Malas ribet, ia memasak nasi goreng dengan bahan tuna kaleng, potongan wortel yang ia rebus setengah matang, irisan cabe rawit, bawang putih cacah halus dan butter.
Tak sampai setengah jam, masakannya tersaji di meja makan besar dengan kursi sebanyak delapan buah. Tawa pria itu terdengar dari arah luar, ia tak sendiri, ada dua temannya yang tak dikenal Sarah. Wanita itu menunduk, mengamati dirinya yang penampilan dengan pakaian rumah masih tampak tak memalukan suaminya.
"Hei! Sar..., aku kenalin ke dua sahabatku. Mahes dan Kyle. Satu lokal, satu blasteran."
Sarah tampak terkejut, ia melihat wajah ceria Diko seperti tak sebelumnya yang tampak dingin, congkak juga ketus saat bicara dengannya.
"Ini bini lo? Cantik gini, nggak kalah sama Ab–" Kyle belum sempat melanjutkan ucapannya, Mahes sudah menyikut lengan pria tersebut.
"Siapa bilang dia bini gue. Pembantu gue. Orang yang paling pantas gue injak-injak setelah keset di depan rumah." Nada bicara Diko menjadi berubah berat.
"Gila lo!" tukas Mahes.
"Bagus kita berdua nggak dateng kemarin, pesawat kita delay, hujan deras di Changi," lanjut Mahes.
"Gue emang lebih mengharap lo berdua nggak dateng. Dari pada lo lihat gue yang emosi karena pernikahan konyol ini. Bokap gue udah geser isi kepalanya." Diko berjalan santai ke arah meja makan. Menatap dua piring nasi goreng yang tersaji di atas meja makan. Sarah masih bergeming, ia menatap ke arah Diko yang mengambil satu piring, lalu membawa makanan itu ke tempat sampah.
"Kita pesan makan. Gue nggak sudi makan makanan dia." Dengan telunjuk mengarah pada wajah Sarah, Diko berjalan cuek bersama dua sahabatnya yang hanya menggelengkan kepala.
"Maafin, Diko. Dia terlalu cinta sama Abel," ucap Mahes sesaat sebelum berjalan menyusul suami Sarah itu ke ruang TV.
"Kita berdua nggak bisa apa-apa, Sar, sorry." Begitu pun Kyle. Ia bahkan mengangkat kedua tangannya ke atas. Tandanya, memang Sarah hanya sebatas pelampiasan kekecewaan dan amarah atas pernikahan paksa itu.
Sarah menuju ke meja makan, ia menarik kursi, duduk perlahan, menikmati makanannya dengan perlahan, otaknya berpikir keras, baru dua puluh empat jam ia menjadi istri Diko, sudah mendapat hinaan sebesar itu. Tangan Sarah meremas sendok yang ia pegang, ia mengunyah makanan dengan pelan, kemudian memejamkan matanya, mencoba mengontrol rasa emosinya yang menjalar mengakar.
Malam semakin larut. Diko sibuk mengerjakan pekerjaannya di kamar, meja di dekat pintu menuju balkon, menjadi tempat pria itu bekerja. Kedua matanya melirik ke arah Sarah yang pulas tertidur. Diko teringat kejadian semalam, bagaimana ia begitu kasar merenggut tubuh dan jiwa istrinya. Namun, kini mendadak ia menjadi terpancing dengan reaksi Sarah semalam yang menolaknya. Bagaimana itu bisa terjadi, yang seharusnya Diko membenci, mengapa justru membuatnya terangsang.
Diko beranjak. Mendekat. Lalu menarik selimut yang menutupi tubuh Sarah dengan piyama tidurnya. Wanita itu terkejut, kedua matanya menatap ke arah Diko dengan raut wajah takut.
"Bangun." Aura dingin merasuk pria itu yang sudah melucuti apa yang ada di tubuhnya. Sarah menggeleng. Diko tak mau tahu.
"Sekali kamu menolak. Aku suruh orang usir Ibu kamu dari rumah itu. Mau!" bentaknya.
"Kamu ancam aku dengan bawa-bawa Ibu?!" nada bicara Sarah tak kalah tinggi.
"Ya. Jika itu perlu." Pelototnya. Diko sudah tak sabar. Ia sudah begitu menginginkan. Sarah diam. Kedua matanya memerah, juga berkaca-kaca.
"Apa... aku cuma kamu jadikan pemuas nafsu dan pembantumu." tanya Sarah datar. Ia masih tak mau melepaskan pakaiannya.
"Ya. Kalau itu jawaban yang kamu mau tahu. Seharusnya nggak perlu kamu tanya. Di mata aku kamu terlalu rendah untuk disanjung sebagai seorang istri dan wanita yang berharga. Sama sekali tidak. Abel tetap yang aku cinta. Kamu nggak akan bisa minta aku apalagi memohon supaya aku jatuh cinta sama kamu. Berlutut!" perintahnya. Sarah bergeming. Diko emosi, ia buru-buru memakai pakaiannya. Mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.
"Kamu akan lihat apa yang bisa aku lakukan untuk bikin kamu ikuti semua kemauanku. Sampah." Kalimat itu seringan kapas diucapkan Diko. Sarah berdebar. Mau apa pria di hadapannya itu.
"Bawa mereka ke sini. Saya mau ajari wanita ini bersikap." Lirik Diko dengan tatapan tajam.
"Mau apa kamu, Diko!" bentak Sarah. Senyum sinis tersungging dari bibir pria itu.
Tak sampai setengah jam. Pintu kamarnya di ketuk. Ia berjalan, membuka pintu dengan dua orang pria bertubuh tinggi kekar layaknya penjaga pribadi masuk.
"Gagahi dia. Saya mau kalian rekam. Di kamar sebelah."
Sadis. Tega. Tak punya hati. Biadap. Kata-kata itu pantas Sarah ucapkan pada Diko. Sarah meronta, ia menolak, tetapi, tangan dua pria yang tampak sumringah itu segera membopong Sarah. Kaki Sarah menendang-nendang ke sembarang arah, ia berteriak. Diko hanya berjalan mengikuti sembari menatap tajam ke Sarah dengan begitu merendahkan. Teriakan Sarah begitu kencang. Diko mengambil dasi miliknya. Ia menutup mulut Sarah dengan ikatan Dasi. Air mata wanita itu mengalir deras, kali ini ia memohon, tapi Diko diam, dengan raut wajah penuh amarah. Dua penjaga itu menatap Diko. "Panggil Juan." Perintah Diko.
"Baik, Pak." Jawab keduanya kompak. Tak lama, datang pria bule, yang merangkul bahu Diko.
"Yakin, boleh saya cicipi istri kamu?" tanya pria itu.
"Lakukan. Dua penjaga tadi, boleh di sini kalau mau lihat. Sekedar melihat, anda yang bermain. Saya duduk di sini." Diko duduk santai. Menatap Sarah yang turun dari ranjang, mencoba kabur. Namun, tangan Juan sudah menarik tangan Sarah. Menjatuhkan tubuh wanita itu ke atas ranjang.
"Cantik, Bos, sekali lagi saya tanya. Yakin?" Juan menatap dengan sebelah alis terangkat ke arah Diko.
"Cepat lakukan atau kamu saya hentikan menjadi icon perusahan property saya!" bentak Diko.
"Ya, baiklah."
Juan melucuti pakaiannya. Sarah berlari, ia berlutut di kaki Diko, memohon untuk melepaskannya. Tangan Diko mencengkram wajah Sarah penuh ketakutan.
"Haruskah seperti ini, Diko?" tanya Sarah lirih.
Mata mereka saling beradu tatap. Diko tak lagi merasa menginginkan tubuh istrinya. Hal itu tertutup amarah luar biasa.
"Ya. Karena kamu harus hancur." jawabnya dengan seringai mematikan.
Tak ada ampunan. Sarah menjerit, saat Juan mengangkat tubuhnya. Dua penjaga tadi akhirnya diminta Diko keluar. Ia sendiri yang akan merekam perbuatan Juan ke Sarah.
"DIKO!" teriak Sarah. Wanita itu masih meronta, memanggil nama suaminya. "Di-ko, aku mohon jangan lakukan ini...," begitu penuh memohon juga lirih. Juan sudah menggerayangi tubuh wanita itu. Sehebat apa pun ia meronta, menolak, bahkan menjerit. Diko tak peduli, ia terus merekam, hingga hal itu terjadi, tepat di depan mata Diko, bagaimana tubuh wanita itu dinikmati pria yang bukan pasangan sah istrinya.
Setengah jam berlalu. Juan masih tak puas. Kamera ponsel menyorot Sarah, merekam ekspresi wajah wanita itu yang seperti hilang kesadaran. Kedua matanya terbuka dengan air mata mengalir deras membasahi wajahnya. Menatap ke arah ponsel Diko dengan kekosongan. Tak peduli apa yang Juan lakukan padanya, Sarah, ingin mati saja.

Book Comment (217)

  • avatar
    ikaaa Manehh

    jalan cerita yang cukup sempurna ❤️

    5d

      0
  • avatar
    RiduanRiduan

    mntap

    13d

      0
  • avatar
    FikliMuhammad Fikli

    novela bagu boleh top AP gem tapi mahal tapi biar begitu gratis

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters