logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Pikiran resah

Entah bagaimana pikirannya saat ini selalu tertuju pada sosok pria di sampingnya yang tengah menyetir.
Sudah dua minggu lebih statusnya berubah menjadi tidak lagi sendiri.
Dirinya saja saat ini masih tengah meraba-raba, apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki pasangan?
Tapi semua ini terasa aneh baginya. Meskipun mereka terlihat bersama, tapi nyatanya, semua hanya sebuah status, pria itu sudah mengatakannya dengan jelas beberapa hari lalu.
“Kamu pasti tahu simbiosis mutualisme bukan, jadi kita saling mengisi dan bantu, tapi tidak ada yang boleh tahu tentang ini, cukup Zeina saja, dan sekali lagi saya ingatkan, yang lain tidak perlu tahu.”
Tatapan mata Meisya kala mendengar semua itu merasa tidak adil. Dia hanya ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki kekasih di depan teman-temannya, bukan bersembunyi. Tapi sedari awal itu semua juga sudah jelas, dan hal paling menakutkan bagi Meisya adalah dia memiliki banyak penggemar di kantor terlebih banyak wanita dari divisi lainnya yang selalu terang-terangan mendekati atau bahkan merayu Alva yang sering dikatakan mirip dengan Goong Yo.
Dan paling menjengkelkan adalah ketika tanpa sengaja dirinya melihat Sherlly manajer divisinya mendekati Alva.
Memangnya ada yang bisa dia lakukan selain hanya bisa berbalik dan anggap tak pernah melihatnya.
Tepukan pelan membuat Meisya sontak tersentak dan menoleh ke arah pria yang menatapnya dengan kerutan di keningnya.
“Apa ucapan selamat dari Kaffi membuatmu sadar kalau ternyata dia jauh lebih baik dari saya? Tapi saya ingatkan sekali lagi, selama hubungan ini berjalan, tidak boleh ada yang bermain di belakang.”
Meisya tak percaya ucapan seperti itu dapat dilontarkan dengan mudahnya oleh seorang pria seperti Alva.
Menyedihkan memang dirinya saat ini, di saat dia tengah memikirkan kalau ada sepercik rasa dihadirkan untuk pria itu, namun sayangnya pria itu sama sekali tak memikirkan perasaannya, bagaimana bisa pria itu berprasangka semacam itu padanya.
“Aku jelas berterima kasih, bulan ini adalah pencapaian terbaik buatku, jadi kalau ada yang mengucapkan sesuatu seperti yang Kaffi ucapkan, memberikan semangat juga buatku, Bapak sendiri tidak ada mengucapkan selamat, hanya beberapa kali menatap ke arah saya dengan tatapan kesal seolah tak terima kalau saya bagus bulan ini.”
Alva yang tengah menyetir menoleh sekilas sambil menyunggingkan seulas senyuman remeh.
Dan semua itu jelas tertangkap oleh sepasang matanya yang mulai meredup.
Mungkinkah perasaan baru ini hanya bisa dia rasakan sementara? Padahal kenyamanan sudah dengan jelas dia rasakan ketika bersama Alva.
Meski semunya hanya sebuah kepura-puraan semata, tapi sikap dan tindakannya pria itu padanya seolah tidak ada batas sementara, seakan semuanya terjadi tanpa ada unsur apapun di belakangnya.
Tapi ketika dikatakan secara gamblang maka semua itu hanya sebuah cerita indah yang memiliki batas waktu.
“Lumayan.”
Hanya itu yang bisa diucapkannya? Cukup keterlaluan bagi Meisya yang berharap ada ucapan yang jauh lebih baik dari itu, setidaknya dia bisa menghargai usahanya
Berbeda di dalam benak Alva. Dia sebenarnya tidak ingin berkata demikian. Karena sejujurnya kinerja Meisya jauh lebih baik tapi entah mengapa. Yang keluar dari bibirnya seperti itu, dirinya juga tak mungkin memperbaiki ucapannya.
Yang sudah terlanjur dikatakan tak mungkin ditarik lagi bukan.
“Zeina nanti ada di sana. Jadi kamu nggak perlu canggung, saya rasa kamu malah akan menikmatinya dan lupa kalau ada di sana dengan siapa?”
Meisya mengerutkan keningnya bingung.
“Memang kita akan ke mana Pak? Maksud saya. Bukannya kita hanya akan pergi ke sebuah acara di mana orang tua anda juga berada di sana?”
Kali ini Meisya benar-benar penasaran. Ini adalah kali ketiga di mana dirinya akan bertemu dengan orang tua atasannya yang cukup dingin dan egois tanpa tanya pendapat dan main tarik sana sini.
“Pak, kalau memang ini pertemuan keluarga, saya tidak bisa ikut, saya ada acara lain.”
Alva menggeleng tegas, dia tidak menerima alasan apapun.
“Bukankah dari awal sudah saya katakan dengan jelas ini merupakan simbiosis mutualisme, jadi tolong jangan layangkan alasan apa pun di saat kita sudah berada di sini.”
Meisya seketika melongo, saat mobil memasuki wilayah perumahan elit di bilangan Jakarta Barat.
Menyadari kebodohannya, seharusnya sedari awal mengatakan kalau tidak bisa pergi, kalau sudah ada di sini semua percuma saja.
Meisya selalu tertegun beberapa kali dengan tindakkan Alva yang begitu gentelman. Membukakan pintu mobil untuknya.
Sejauh ini belum pernah ada yang melakukan hal itu, karena dia belum pernah merasakan memiliki pacar, dan ketika mendapatkan jackpot dengan pacar bohongan seperti ini rasanya sungguh tidak adil.
Semua akan sirna seiring berjalannya waktu, dan orang tua Alva tidak lagi memaksakan keinginannya untuk menjodohkan dirinya dengan wanita lain yang sudah disiapkan untuknya.
Beberapa pelayan muncul dari dalam rumah yang kali pertama dilihat Meisya, besar seperti istana. Ada beberapa bagian kecil dari rumah itu di mana mereka keluar dari sana, menyambut keduanya.
“Sudah siap kan, jadi tolong seperti biasa.” Meisya di bawa pergi para pelayan sesuai perintah dari Alva sampai Alva hanya meliriknya sebentar sebelum berjalan ke arah berlawanan, dan dia dapat melihat kalau pria itu masuk ke sebuah rumah kecil yang dalam pikirannya apakah itu paviliun?
Sejenak tertegun kala melihat wajahnya di cermin besar di sebuah ruangan yang luar biasa megah, masih tak percaya dengan penglihatnya saat ini, di depan sana, jelas bukan dirinya, sosok itu begitu cantik dan tampak elegan.
“Apakah ada yang kurang nona?”
“Nona?” ucapnya menirukan ucapan si pelayan muda yang membantunya merias dan mengganti pakaiannya.
Sadar kalau perempuan muda itu menunggunya, Meisya hanya menggeleng sebagai jawaban.
Meisya terkejut saat pintu ruangan terbuka lebar, dan sosok yang muncul di balik pintu semakin membuatnya kaget dan bahagia, dia tidak sendirian.
“Kamu cantik Mei. Kalian itu serasi sekali, aku yakin sekali. Lihat wajahmu jauh sekali berbeda."
Meisya tersenyum dan mereka saling memuji.
“Tapi tunggu, kamu pasti tahu sesuatu bukan, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa aku harus memakai pakaian dan kamu juga pakai pakaian yang tidak jauh beda denganku, ada acara apa sebenarnya ini, Alva tidak ada mengatakan apapun, aku benar-benar buta.”
Zeina menenangkan Meisya yang terlihat kalut dan kebingungan. Dirinya juga ikut menyalahkan tindakan Alva yang kadang suka susah diingatkan untuk menjelaskan apa yang terjadi dan dia butuhkan pada sahabatnya ini.
“Hanya acara keluarga, dan aku mohon bantu Alva ya, dia butuh kamu juga. Nanti akan ada beberapa wanita yang dijodohkan dengan sahabatku itu, dan maafkan dia yang sejak awal tidak mengatakan apapun padamu, itu sengaja dia lakukan karena dia tahu kamu pasti akan menolaknya, jadi tolong bantu dia ya,”
Dugaannya tidak salah.
“Kalau dijodohkan bukannya jauh lebih baik ya, jadi kepura-puraan ini bisa terselesaikan, dan semua kesepakatan batal. Aku bisa menjalani hari-hariku jauh lebih baik dan tidak tertekan setiap harinya.”
Tanpa sadar Meisya keceplosan mengatakan sebaliknya.
Refleks Zeina memeluk Meisya erat.
“Aku tahu, Alva adalah lelaki yang kamu cari bukan? Meski dia dingin tapi dia baik hati, jadi harus lebih banyak bersabar dengannya ya, tidak ada yang tidak mungkin, perasaan tulus itu pasti akan terbalas.”
Meisya merasa malu luar biasa. Bagaimana bisa dia keceplosan kalau dia juga mengharapkan Alva juga ada untuknya, bukan hanya status pacar semata.

Book Comment (28)

  • avatar
    Nia

    awesome

    1h

      0
  • avatar
    WastutiWastuti

    bagus ceritanya

    10/05

      2
  • avatar
    SyamimiNur

    bgus

    01/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters