logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 7

"Alaah, pastinya dititipin ke eyangnya. Gak mungkin dibiarkan di rumah sendirian! Sudah, yuk, duduk dulu. Gak usah nyari alasan!"
Aku mendengus kesal dan akhirnya pasrah duduk di sini menerima dengan lapang semua ceritanya meskipun aku tidak berselera mendengarnya. Lagi pula hari menjelang siang dan panas terik mulai bersinar yang siap membakar kulit.
Ingin sekali aku meninggalkannya, tapi sudah terlanjur duduk dan mendengarkan setiap ocehannya. Aku hanya tak ingin kedua putraku menunggu lama di rumah mertua. Jarak rumah kedua mertuaku dengan rumahku, tempat tinggal yang baru hanya sekitar satu jam lebih bila tidak macet.
"Bagaimana ceritanya bapak bisa bertemu mereka berdua tadi di sini?" tanyanya, memulai dengan menginterogasiku seakan belum puas dengan jawabanku tadi.
"Sudah saya jelaskan tadi, Pak. Mohon bahas yang lain saja. Saya sedang tidak berselera membahas yang tadi," ujarku yang mulai terpancing.
"Saya tertarik ingin membahasnya, Pak," tukasnya lagi.
"Assalamualaikum. Ternyata, kalian sudah lama di sini?" Pak Rudi menyapa kami.
"Waalaikumsalam. Silakan duduk, Pak Rudi!"
"Eh, Pak Ayes ada di sini juga to. Kenapa cepat pulang dari kantor kemarin?"
"Biasalah, kayak gak tau aja Pak Ayes gimana sibuknya dia," celetuk Pak Ihsan dengan cepat tanpa menunggu jawabanku.
"Kemarin terburu-buru mau pindahan. Jadi, aku pulangnya cepat."
"Oh, gitu. Ngomong-ngomong lengkap dong kita kalau Pak Iwan datang," sambung Pak Rudi.
"Apa! Kalian diusir warga sekitar situ?" tanya Pak Ihsan.
Entah dia terkejut atau sengaja terkejut. Aku sulit membedakan ekspresi wajahnya. Kadang, kami tak bisa membedakan dia serius atau tidak.
"Hush, Pa Ihsan ini ada-ada saja." Pak Rudi berusaha menenangkan.
"Tidak. Hanya ingin anak-anak dekat dengan kakek-neneknya," tukasku. "Oh, iya. Maaf, saya harus balik. Waktu sudah hampir siang. Assalamualaikum."
"Wah, padahal kami masih ingin berbicara lebih lama."
"Maaf, sekali lagi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab mereka bersamaan.
Aku pun beranjak meninggalkan mereka. Aku hanya tak ingin kedua mertuaku dan juga putraku menunggu terlalu lama. Aku sudah telanjur bilang ke mereka bahwa aku keluar tidak terlalu lama. Lagian hari ini ialah hari Ahad, waktu untuk menemani mereka bermain dan berlibur.
**
Aku menemani mereka, Riski dan Reza bermain di salah satu taman kota, sesuai janjiku hari ini. Meskipun agak terlambat, aku tetap menemani mereka. Kalau tidak, mereka akan merengek seharian karena tidak diajak bermain. Selain itu, untuk membiasakan mereka agar terbiasa menjalani hari tanpa Umi mereka.
Aku juga dilema, ingin menitipkan mereka di Mbah-nya, tapi tak enak merepotkan. Mbah-nya pun sudah mulai sepuh. Mereka akan kewalahan mengurus dua anak laki-laki di rumah. Dan satu lagi, aku khawatir kedua putraku tersebut akan terus mencariku. Apalagi semenjak Umi-nya tidak ada, mereka akan kesepian. Aku tak tega membuat mereka makin sedih.
Lama, aku duduk di atas tembok atau batas jalan yang setinggi betis ini, memerhatikan mereka yang sedang bermain dan berlarian ke sana ke mari bersama anak-anak kecil yang lain. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat beberapa orang yang sedang berolahraga dan juga senam. Taman ini cukup ramai di hari Ahad.
Hampir semua warga kota dari tua-muda berkunjung ke sini untuk berolahraga atau sekedar melepas penat di akhir pekan. Selain berolahraga, aneka jajanan juga tersedia di sini. Ketika orang-orang lelah setelah berolahraga, mereka akan berhenti sejenak untuk menikmati aneka jajanan kota yang sesuai lidah dan selera mereka. Anda hanya perlu membawa banyak duit untuk menikmatinya. Jadi, anda tidak perlu dipusingkan dengan membawa bekal dari rumah lagi.
Biasanya, kami berempat selalu ke sini di akhir pekan bersama Umi mereka, tetapi kali ini hanya kami bertiga. Aku berharap Riski, si Bungsu sudah melupakannya. Reza sudah mulai mengerti karena sering kujelaskan perlahan.-lahan. Namun, terkadang ia lupa dan menanyakannya lagi. Aku yang harus ekstra sabar dan hati-hati memberikan pemahaman.
Seketika, mataku terhenti. Aku memfokuskan pandanganku ke arah empat orang yang berjalan. Dua wanita dewasa dan dua anak yang masih kecil, kemungkinan anak mereka. Salah satu wanita dewasa itu, aku kenal, tapi siapa. Ingatanku memutar kembali untuk mengingat-ngingat sosok wanita itu.
"Foto tadi," gumamku. Segera aku meraihnya di saku celanaku dan melihat kembali. Iya, benar. Tidak salah lagi, wanita itu Nisa. Jangan sampai hanya sama wajahnya, tetapi bukan Nisa. Apalagi, tadi Nadia bilang Nisa pindah ke luar kota, mengikuti suaminya.
Sebaiknya, aku tanya saja apakah dia benar Nisa atau bukan. Namun, aku yakin dia Nisa. Foto tadi sangat jelas mirip, takada yang beda. Aku terus memikirkan cara bagaimana agar bisa berbicara dengannya. Aku tidak berani menghampirinya secara langsung dan menanyakan perihal istriku.
Seketika, Riski berlari ke arahku.
"Ayah, Iki aus." Dengan napas tersengal-sengal.
"Oh, anak ayah haus."
"Reza juga, Yah!"
"Baik. Mari ikut ayah!"
Ada baiknya juga aku ke sana. Kebetulan ada yang jual minuman di sana tepat berdekatan dengan Nisa. Ini kesempatanku untuk menanyakan banyak hal padanya. Semoga saja, ia mau menjelaskan padaku.
"Kalian pilih yang mana?" tanyaku ke Riski dan Reza.
"Aku yang ini, Yah."
"Iki, yang ini, Yah."
Mba, pesan minumannya tiga ya."
Setelah membayar, aku mengajak kedua putraku tersebut duduk di kursi yang agak kosong dan kebetulan berdekatan dengan Nisa.
"Assalamualaikum. Mba Nisa, ya?"Ia sedikit mengernyitkan dahi. "Saya Ayes, suami Jannah."
"Oh, Pak Ayes! Waalaikumsalam. Maaf, Pak, aku lupa. Soalnya, bapak sudah memendekkan jenggotnya."
"Oh, ini. Hanya dirapihin sedikit."
"Wah, saya ikut berduka cita ya, Pak. Maaf, tidak sempat berkunjung. Saya turut sedih mendengar kabar itu."
"Iya, tidak apa."
"Ini Reza dan Riski ya! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Tante."
"Pintarnya! Ini Mikayla, anak Tante. Kenalan dong sayang!"
"Assalamualaikum. Aku Mikayla."
"Waalaikumsalam. Saya Reza. Ini adik saya Riski." Kami pun tersenyum.
"Katanya, Mba Nisa udah pindah ke luar kota?"
"Iya, benar, ngikut suami. Ini kebetulan ibu lagi sakit, jadi aku temanin dulu di sini untuk beberapa hari. Ini adik saya, Mba Lisa."
"Assalamualaikum," ucapku.
"Waalaikumsalam," jawabnya.
"Mba, Nisa. Boleh saya bertanya?" Aku meminta waktunya sebentar untuk menanyakan beberapa hal.
"Silakan, Pak!"
"Mba, tau apa yang sebenarnya terjadi dengan kematian istri saya?"
"Pak Ayes gak tahu?"
"Saya tidak tahu sama sekali," jawabku.
"Ada dua orang sahabat istri bapak yang sangat tahu. Mungkin bapak bisa menanyakannya ke mereka."
"Maksud Mba Nisa, Mba Syifa dan Nadia?" tanyaku tidak mengerti.
"Nah, kok bapak bisa tau nama mereka?"
"Saya tahu dari akun sosial media istriku. Saya juga sudah menanyakan ke mereka. Namun, mereka tidak tahu."
"Apa, Tidak tahu? Serius, Pak. Mereka jawabnya seperti itu?" Nisa mengernyitkan dahi.
***
Bersambung ....

Book Comment (227)

  • avatar
    ねえ

    cerita yang menarik

    8d

      0
  • avatar
    Nurul FitriResa

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    AmeliaDessi

    bagus

    01/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters