logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 7 RA & PU

“Apa tak sebaiknya di bawa ke rumah saya saja? Dia ‘kan juga tak punya banyak memori dengan Angga di sana?” demikian pendapat bunda mertua Amie.
“Tidak banyak, bukan berarti tidak ada ‘kan?” pakde Siswojo kali ini bersuara. “Tapi monggo saja. Saya manut yang terbaik. Tapi saya pribadi merasa, sejak Angga tidak ada, maka pengasuhan Amie kembali pada saya. Bukan tidak percaya, namun saya takut anak saya merepotkan di rumah keluarga besan.”
Bude Diah juga berpikir seperti itu. Apa keluarga Angga akan merawat Amie dengan sepenuh hati seperti dia merawat Amie? Amie adalah kejoranya, sejak dia punya dua jagoan. Kelahiran Amie membuatnya merasa bahagia karena ikut merasa memiliki bayi perempuan. Bude Diah lebih setuju Amie di bawa ke rumah orang tuan suaminya, bukan ke rumah bu Handoyo mertua Amie. Akhir pekan mereka semua bisa menginap di Jogja menemani Amie. “Saya juga berpikir lebih baik Amie di rumah simbah di Cangkringan. Setiap pulang kerja hari Jumat kita semua bisa berangkat ke Jogja hingga hari Minggu tengah malam. Kalau dia dibawa ke Purbowinangun, saya takut dia merasa asing di lingkungan yang tak biasa untuknya.”
Dengan perdebatan panjang, akhirnya diputuskan Amie akan dirawat bu Pratiwi, istri pak Cokro. Dengan penanggung jawab perawatan Putut dan akan ada satu perawat yang menemaninya. Besok bu Cokro akan mencari perawat yang bisa bekerja di rumahnya. Mungkin 2 atau 3 perawat akan dia pekerjakan dengan shift yang terjadwal sehingga para perawat itu tetap bisa bekerja di klinik atau rumah sakitnya. Bu Cokro sangat senang, karena sejak dulu Amie juga anak perempuannya. Ketiga anaknya semua laki-laki. Adiknya Putut saat ini masih kelas 10 dan si bungsu baru kelas 6. Dahulu dia mengira anaknya hanya Putut, ternyata masih di beri tambahan 2 bonus. Memang dia sulit hamil. Hamil Putut saja setelah 5 tahun pernikahannya.
Setelah semua sepakat, Putut masuk ke kamar, dia ingin menemui Amie. “Apa khabar RA? Inget sama Mas PU?” bisiknya lirih. Mereka memang punya panggilan tersendiri. Putut memanggil Amie dengan RA, dari Rahmi, sedang Amie memanggil Putut dengan PU, dari Putut. Panggilan itu tak sengaja mereka cetuskan saat Amie masih kelas 5 SD sedang membaca komik di ayunan yang dibuat simbah di pohon nangka.
Amie memutar bola matanya, dia menoleh pada orang yang berbisik di telinganya. Lalu tanpa ragu dia memeluk sosok yang selalu dirindunya sejak kecil. Bagi Amie, mas PU adalah heronya. Pahlawannya. Amie menangis dalam pelukan Putut, dan semua yang di luar melihat dengan bermacam pikiran yang berbeda. “Ssttt … jangan nangis, istigfar ya?” bujuk Putut yang direspon dengan anggukan oleh Amie.
Putro dan bude Diah sampai bingung Amie merespon Putut. Sedang sejak dia sadar, Amie tak pernah merespon siapa pun. Mau makan hanya bila disuapi oleh Ragil. Putro meraba, ada hubungan batin seperti apa antara Putut dan Amie? Pantas sejak Angga meninggal Putut tak pernah mau terlambat sedikit pun mencari info perkembangan Amie.
“Sekarang kamu minum air putih yang banyak lalu tidur ya? Mas PU ada di sini nungguin kamu.” Putut memberikan gelas yang disodorkan bude Diah. Tanpa membantah Ami meminumnya hingga tersisa sangat sedikit. Putut menurunkan sandaran kepala kasur. Dia membenarkan selimutnya dan mematikan televisi agar Amie bisa tidur nyaman. Setelah itu Putut duduk di tepi ranjang dan mengusap-usap kening Amie agar cepat tidur. Amie memegang erat tangan kiri Putut seakan takut ditinggal.
Bude Diah dan Putro hanya bisa saling tatap. “Mas, tolong panggilkan Ibuku,” pinta Putut. Dia tak bisa beranjak karena Amie memegang erat lengannya.
“Nang opo Nang ( ada apa nak )?” bisik bu Cokro. Dia melihat Amie sudah terlelap namun masih memeluk erat tangan Putut. Bahkan Putut berupaya melepasnya pun Amie merasa keberatan dan bergumam seakan tak rela melepas pegangannya.
“Ibu lihatkan? Kalau nanti Amie tak mau aku tinggal pulang, Ibu dan Bapak pulang dengan Pramex aja ya?” bisik Putut pada ibunya sambil memperlihatkan kalau Amie tak mau tangannya dilepas. Dia merasa Amie akan merengek bila dia tinggal pulang ke Jogja.
Bu Cokro mengerti, rupanya cinta keduanya memang sangat dalam, hanya waktu dan tempat yang belum membuat mereka bisa bersatu.
Flash back on
Bu Cokro baru saja pulang halal bihalal dengan rekan-rekan pengajiannya. Dia melihat Putut termenung tak mendengar kedatangan bahkan salamnya pun tak dibalas. “Kamu ngelamunin apa Mas?” tanya bu Cokro lembut sambil menepuk pelan bahu anaknya. Tapi reaksi Putut membuatnya berpikir ada yang tak biasa pada anak sulungnya itu. Dengan tepukan pelan Putut sampai sangat terkejut dan pias.
“Ibu, masuk enggak kasih salam, bikin kaget aku aja,” protes Putut kala itu.
“Ibu sudah memberi salam dua kali, dan kamu tidak mendengar. Maka Ibu menepuk bahumu,” balas bu Cokro lembut. “Apa yang membuatmu melamun?”
“Enggak ada apa-apa kok Bu. Kalau aku besok balik ke Bandung boleh enggak?” tanya Putut.
“Lebaran baru tiga hari Nang ( panggilan untuk anak lelaki ), ada apa koq kamu jadi pengen kembali ke Bandung? Apa pacarmu di Bandung menyuruhmu segera kembali ke sana?” selidik bu Cokro.
“Aku enggak punya pacar di Bandung!” dengan sedikit ketus Putut menjawab perkataan ibunya.
“Lalu masalahmu apa? Jangan biasa memendam sendiri. Jangan ambil jalan pintas. Bila salah jalan, tak akan mungkin kamu memutar waktu,” nasihat bu Pratiwi lembut sambil masuk ke kamarnya. Dia hendak mandi dan berganti baju sehabis halal bihalal tadi.
“Bu.” Panggil Putut saat sang ibu keluar dari kamarnya hendak menuju dapur. “Aku mau cerita.”
Bu Cokro membuat teh untuk suaminya juga Putut dan dirinya sendiri. Mereka duduk di meja makan. Lalu mengalirlah cerita dari mulut Putut. Mulai dia menolak Amie, hingga niatnya ingin nembung ( meminta ) Amie saat lebaran. Dan pertemuannya tadi siang dengan Angga yang bercerita sudah nembung Amie dan akan melamarnya bulan depan. Bu Cokro merasakan kepedihan yang dirasakan putra Sulungnya. Namun dia tak bisa menolong bila memang ada Angga yang sudah akan melamar gadis kecil belakang rumah yang sejak dahulu juga dia harapkan akan menjadi menantunya suatu saat nanti.
“Sedang ngapain kalian?” pak Cokro yang baru bangun tidur bingung melihat istri dan anak sulungnya duduk berhadapan dengan wajah sedih. Namun saat itu keduanya seakan sepakat tak mau berbagi cerita dengan pak Cokro.
Flash back off.
“Kalau begitu mau bagaimana lagi? Yang penting dia nyaman dulu saja. Soal pulang ke Jogja gampang. Ibu juga bisa koq nginep semalam ini di rumah pakde Siswojo.” balas sang ibu penuh pengertian.
Saat itu Jhon datang membawa 15 kotak nasi untuk makan siang. Rupanya mas Putro tadi bertanya jam berapa Jhon akan ke rumah sakit. Saat tahu Jhon akan berangkat, mas Putro memintanya membawakan nasi box untuk makan siang mereka.
“Jadi bagaimana keputusannya?” bisik Jhon pada ayahnya.
“Kita menunggu konsultasi dengan dokter jiwa hari Senin pagi. Kalau bisa pulang, ya langsung di bawa ke Cangkringan. Ayah minta sore ini, kamu dan Ragil menemani ibu membereskan pakaian dan perlengkapan Amie dari rumahnya. Nanti perlengkapan itu di bawa ke rumah dahulu. Hari Senin pagi baru di taruh di mobil, jadi saat dapat izin pulang dari dokter, langsung bisa kita bawa ke sana.” Pak Siswojo menerangkan langkah yang akan mereka ambil.
Sementara itu bu Cokro sedang sibuk memerintah asisten rumah tangganya membersihkan kamar tengah di rumah Amie. Dia ingin saat lusa Amie datang, kamarnya sudah bersih dan siap untuk di tempati.
Semua sudah makan siang kecuali Putut yang tak bisa bangkit dar ranjang karena tangan kirinya dipegang erat oleh Amie. “Kamu makan dahulu,” Putro memberikan kotak nasi yang sudah dia buka dan di taruh di paha Putut. Putro juga meletakkan gelas air mineral yang baru dia tusukan sedotan di meja dekat brankar. Dia tahu, begitu Amie bangun, maka Putut tak akan bisa makan. Jhon memandang bingung mengapa Amie memeluk erat tangan Putut.
“Kenapa?” tanya Jhon tanpa suara sambil menunjuk tangan Putut yang dipegang Amie. Putro hanya tersenyum kecil sambil mengangkat bahu.
Putut merasa pegangan Amie mulai mengendur, dia mencoba untuk beringsut. Dia belum salat dzuhur. Bergegas Putut lari ke toilet dan sesudah itu dia pamit untuk ke mushola. Sepeninggal Putut, Amie terbangun dan menjerit lalu menangis. Bunda mertuanya mencoba mendekati dan berkata lirih agar menantunya mau diam. Selanjutnya bude Diah dan bu Cokro. Namun tak juga membuat reda tangis Amie. “De, cup ya, jangan nagis lagi, diem ya sayang,” bujuk mas Jhon sambil berupaya memeluk kepala adiknya. Namun Amie menggeleng dan terus menangis. Putut yang baru kembali dari mushola kaget mendengar isak Amie.
“RA, cukup nangisnya,” bisik Putut lembut sambil memegang kepala Amie agar tak memberontak. Mendengar sapa lembut Putut, Amie mulai menghentikan tangisannya. “Maem ya?” Putut menerima piring makan jatah rumah sakit dari bude Diah. Sang bude mengerti, hanya Putut yang bisa membuat Amie berinteraksi. Amie tetap diam, pandangannya masih kosong. “Buka mulutmu, mas PU akan menyuapi, kalau kamu enggak maem, mas pulang.” dengan sedikit ancaman Amie menghabiskan makanan jatah rumah sakit. Biasanya bila disuapi Ragil, habis separo saja bude Diah sudah sangat bersyukur.
Sesudah makan, bude memberikan obat pada Putut. “Bude, biasanya kalau dia mau pipis atau buang air bagaimana?” tanya Putut.
“Dia akan menurunkan kaki dan mencoba membawa botol infusnya. Lalu kita tolong ke kamar mandi. Pintu jangan di kunci. Nanti dia bisa sendiri kok,” jawab bude Diah.
“Wah sudah bangun ya bu Rahmi. Sudah habis makannya? Ini pas infus habis, kita copot ya infusnya.” Seorang perawat yang dipanggil Jhon masuk dan mencopot infus. Tadi Jhon memanggil karena memang melihat cairan di botol sudah hampir habis.
Sehabis dicopot infusnya, Amie bergerak turun. Mas Jhon mendekatinya dan mencoba menjaganya dari dekat walau tidak memegangnya. Biasanya Amie menuju toilet. Namun kali ini tidak, dia menuju pintu kamar. Semua yang ada disana hanya mengamati, mau ke mana Amie melangkah.

Book Comment (170)

  • avatar
    Fadey Sungate

    the best novel i reading and will be attach for me

    31/07/2022

      0
  • avatar
    ImutzKeysa

    baguss

    7d

      0
  • avatar
    RamandaIkslah

    pppp

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters