logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 6 JADI INI MAKSUDMU, ‘KEMANA PUN MAS PERGI DEDEK AKAN MAS BAWA’

Amie bangun subuh seperti kebiasaannya saat sehat, dia melihat berada di ruangan asing bukan kamarnya. Ruang ini menggunakan cat minyak warna cream dan berbau obat. Di tangan kirinya terpasang infus. Amie teringat, semalam bude Diah menyampaikan suaminya sudah meninggal. ‘Jadi kamu serius Mas, kamu bawa dede’ bersamamu sesuai ucapanmu di depan bu dokter kala itu?’ tanya Amie dalam batinnya sambil mengusap perutnya. Dia terisak mengingat perkataan Angga. ‘Andai bisa saya akan bawa bayi ini kemana pun saya pergi. Karena Bundanya suka lupa.’
Amie juga teringat saat dia kolokan pada Angga minta dipeluk dan Angga menggodanya. ‘Mas enggak suka anakmu enggak mau jauh dari kamu?’ tanya Amie saat itu.
Angga menjawab, ‘Mas cuma ngegoda doang Yank, jangan nangis gitu dong. Mas senang kok dede maunya dekat ayahnya. Kemana pun dia akan selalu bersama Mas!’
‘Janji ya? Mas enggak akan tinggalin dede’?’ tanya Amie kala itu dengan manja.
‘Kemana pun Mas pergi, dede’ akan bersama Mas,’ janji Angga sambil mengusap perut Amie dengan lembut. Bodohnya, saat itu Amie hanya minta Angga tidak meninggalkan dede, bukan dirinya. Dia ingin ikut bersama Angga dan calon bayi mereka.
Tangis Amie semakin keras, bude yang selesai salat subuh segera membuka mukenanya tanpa melakukan zikir seperti yang biasa dia lakukan. “Sabar Nduk, istigfar … istigfar ya, kamu kuat kok.” Hibur bude. Saat ini bude bertugas jaga dengan Ragil. Ragil sedang ke masjid sekalian beli sarapan. Jadi di ruangan bude hanya sendirian.
“Minum ya, tadi bude buatkan su5u coklat untukmu.” Dengan sabar bude menyodorkan gelas berisi su5u coklat yang sudah hangat dan ada sedotannya. Namun Amie bergeming. Dia tak memberi respon apa pun. Pandangan matanya kosong.
Amie ingat setelah selesai periksa dan menebus resep, di parkiran Angga tidak langsung menyalakan motor atau memakai helm. Dia lebih dahulu memeluk Amie dengan erat seakan tak ingin berpisah. Amie ingat Angga mengecup kening dan puncak kepalanya lalu berbisik . ‘Mas sayang banget ke kamu Yank. Mas cuma bisa bilang terima kasih buat hari-hari indah yang sudah kamu berikan.’
‘Rupanya itu pesan terakhirmu Mas,’ Amie tak habis pikir mengapa hari itu Angga ngotot mau periksa dengan motor saat badai debu gunung Kelud. Mengapa Angga tak mau menunda hingga esok. Mengapa?
Sampai siang, Amie tetap tidak ada respon apa pun pada sekitarnya. Ditanya dokter atau siapa pun dia diam seakan tidak mendengar, walau bude bertanya sambil sedikit mengguncang tangannya sekali pun, Amie tidak merespon. Tentu saja hal itu membuat bude hanya bisa menangis sepanjang hari.
“Makan ya, Mas suapin,” bujuk Ragil. Walau lebih muda dua tahun, karena dia anak pakdenya Amie, maka Amie memanggilnya dengan sebutan MAS. Ragil menempelkan sendok di bibir adik sepupunya. Dengan sabar dia menggeser sendok di bibir tipis itu. Akhirnya Amie membuka mulutnya namun tidak lebar. “Yang besar buka mulutnya, sendoknya enggak bisa masuk kalau hanya kecil begitu kamu buka mulut.”
Bude yang melihat Amie mau membuka mulut walau tidak lebar sudah sangat senang. Dia menyodorkan sendok teh pada Ragil, agar mengganti sendok makan yang sejak tadi dia gunakan. Akhirnya siang ini Ragil berhasil menyuapi setengah piring nasi dan lauk untuk Amie makan. Putro dan pakde yang datang sore untuk menggantikan bude dan Ragil sangat sedih melihat kondisi Amie. Dokter bilang kalau kondisi Amie tinggal menangani goncangan jiwanya saja. Badannya sudah sehat. Infus masih terpasang hanya untuk antisipasi asupan makanan saja, karena Amie masih sulit untuk makan. Dia mau makan bila disuapi Ragil saja.
“De, selama kamu sempat, kamu wajib ke sini. Kasihan Amie bila dia tidak makan. Buktinya dia tidak mau makan walau dengan ibu sekali pun.” Putro berpesan pada Ragil. Karena ibu pun tak digubris oleh Amie.
“Iya, Mas. Aku upayakan tiap jam makannya Amie aku berada di sini.” Ragil tentu akan melakukan itu tanpa diminta sekali pun. Dia merasakan sedih yang ibunya hadapi karena sakitnya Amie. Selain dia juga sayang pada Amie seperti pada adiknya sendiri. Walau lebih tua, karena Amie dipanggil ade’ oleh Ragil, maka Amie juga sangat kolokan pada Ragil. Semua memang sangat menyayangi Amie sebagai adik bungsu mereka.
***
Sore ini Putut sudah sampai rumahnya di desa Cangkringan. Sejak kemarin dia sudah mengatakan besok pagi-pagi akan berangkat ke Solo. Dia meminta ayah dan ibunya bersiap bila ingin menengok Amie.
“Pak, kondisi kebun dan ternak kita apa terganggu dengan abu gunung Kelud ini?” Putut bertanya pada ayahnya saat mereka sedang duduk di teras sehabis makan malam.
“Kebun hanya tertutup debu, tidak merusak panen. Sapi agak repot karena para pekerja sulit mencari pakan. Selain tertutup debu, mereka juga kan harus mengurusi rumah mereka selama cuaca seperti sekarang ini. Yang parah ya tambak. Endapan debu di kolam merusak keasaman air sehingga banyak ikan yang mati, beberapa kolam masih bisa selamat karena segera di tutup dengan plastik, saat badai debu baru turun.” Pak Cokro menerangkan kondisi usaha mereka pada anak sulungnya itu.
“Kalau aku kembali ke desa, dan melepas pekerjaanku di Bandung piye Pak?” Putut meminta pendapat ayahnya. Dia tak mau ayahnya kecewa atas tindakan yang diambilnya.
“Bapak terserah karepmu. Ra perlu mikirin pendapat calon mertuamu. Nek ra gelem nduwe mantu petani, yo tinggal wae!” pak Cokro tak keberatan. Dia bilang semua terserah Putut, anaknya itu tidak perlu memikirkan pendapat calon mertuanya. Bila sang calon mertua tak suka punya menantu petani, ya anaknya tak usah dinikahi.
Putut senang, orang tuanya tak melarang bila dia ingin keluar dari pekerjaannya di Bandung. Walau dia sendiri merasa sayang, untuk masuk PT Telkom tentu sangat sulit. Namun dia merasa lebih sayang bila semua orang tercintanya di desa tidak mendapat manfaat dari ilmu yang dia dapatkan di bangku kuliah. Dia lebih memilih berkiprah di desa. Sekalian menggapai cintanya.
***
Putut sengaja mampir ke makam Angga terlebih dahulu sebelum berangkat ke rumah sakit di Solo. Dia tak menyangka sahabatnya pergi sangat cepat. Mereka terbiasa diskusi mata pelajaran. Kadang Angga menginap di rumahnya, kadang Putut yang menginap di rumah Angga. Sejak kenal di kelas 10, mereka langsung klop. Mungkin karena merasa sama-sama anak sulung dengan dua adik. Karena sering menginap, maka sosok Angga tak asing bagi orang tua Putut. Demikian pun sebaliknya. Orang tua Angga tak asing dengan sosok Putut.
***
Hari ini di rumah sakit hampir full team. Yang tak ada mas Jhon karena jadwal terbang tidak tergantung hari kerja pada umumnya. Hari Sabtu pakde, bude dan mas Putro libur. Sekolah tentu juga libur sehingga Ragil pun bisa hadir di ruang rawat Amie.
Baru saja kedua mertua Amie datang. Bundanya Angga awalnya menangis histeris. Namun melihat Amie hanya diam dengan pandangan kosong sang bunda menjadi hanya terus terisak melihat kondisi menantunya itu.
“Makan ini ya,” bujuk sang bunda sambil memberikan potongan buah pear pada Amie. Seperti biasa Amie tak bereaksi. Tak tahan mendapat respon seperti itu, sang bunda hanya bisa terisak sambil mendekap menantunya yang sedang terbaring dengan posisi tempat tidur bagian kepala ditinggikan 45°.
“Assalamu’alaykum,” bu Cokro memberi salam lirih.
Hampir bersamaan yang ada di ruangan berpaling ke arah pintu dan menjawab salam itu. “Wa’alaykum salam.”
Bu Cokro menghampiri bude Diah, mereka berpelukan dan menangis. Perkenalan bude Diah dan bu Pratiwi istri pak Cokro dimulai saat pak Siswojo membawa calon istrinya ke rumah orang tuanya yang berada di belakang rumah pak Cokro. Saat itu bu Pratiwi baru saja menikah dengan pak Cokro. Walau menikah lebih dulu, bu Pratiwi lebih lambat punya anak, itu sebabnya usia mas Putro dan mas Jhon lebih tua dari Putut. Putut dan mas Jhon hampir seumuran, lebih tua mas Jhon beberapa bulan. Sejak kecil bila Putro dan Jhon menginap di Jogja, maka mereka bertiga main bersama. Sejak sebelum menikah pakde Siswojo memang sudah bekerja di Solo.
“Sing sabar Mbak,” bisik bu Cokro pada bude Diah. Sehabis itu bude Diah memperkenalkan besannya pada bude Cokro.
***
“Bagaimana kata dokter, Mas?” Putut menanyakan kondisi Amie. Karena di lihatnya Amie seperti mayat hidup yang tidak responsif. Para lelaki memang ngobrol di teras ruang rawat agar ruangan tak terlalu sesak oleh orang.
Putro menerangkan semua info dari dokter. Juga rencana mereka membawa Amie ke Jogja, namun terbentur pada SDM yang akan menemani Amie di sana. Mendengar itu Putut langsung menghampiri ibunya dan memintanya keluar untuk berbicara dengan Putro.
“Bu, mas Putro ingin membawa Amie ke Jogja, karena saran dokter dia harus di jauhkan dari semua kenangan yang membuat trauma. Tapi mereka kebingungan karena tak ada yang bisa mendampingi Amie full di rumah simbah di Jogja. Apa Ibu bisa bantu cari perawat yang bisa mengurus Amie? Kalau untuk yang menjaganya, aku bersedia. Tapi harus ada perempuan yang menemani, aku takut timbul fitnah.” Putut meminta pendapat sang ibu.
“Kamu yakin? Kamu ‘kan kerja di Bandung?” Putro tentu bingung mendengar ucapan Putut barusan.
‘Ibu senang kalau kamu mau merawat Amie, tapi kamu harus minta izin pakde Siswojo dan mertuanya terlebih dahulu. Nanti kita kesalahan Nang,” balas bu Pratiwi. Sejak lebaran lalu dia tahu anaknya mencari Amie ingin dinikahi namun ternyata sudah terlebih dahulu ditembung ( diminta ) Angga.
“Mumpung semua ada di sini, biar aku yang bicara dengan Ayah,Ibu dan mertuanya Amie,” Putro senang bila ada solusi untuk masalah Amie. Karena baginya keluarga pak Cokro bukan orang lain.

Book Comment (170)

  • avatar
    Fadey Sungate

    the best novel i reading and will be attach for me

    31/07/2022

      0
  • avatar
    ImutzKeysa

    baguss

    7d

      0
  • avatar
    RamandaIkslah

    pppp

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters