logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 5 AMIE KOMA

Sudah tiga hari Amie masih tetap belum sadarkan diri. Bude, pakde serta ketiga putra mereka bergantian menunggu Amie di rumah sakit. Keluarga Angga belum bisa datang karena masih sibuk dengan pengajian setelah kematian Angga. Bundanya Angga masih sering pingsan sehingga belum bisa menjenguk apalagi merawat Amie. Keluarga Angga sementara hanya bisa memantau kondisi Amie melalui telepon saja. Hari ini mas Pujono yang lebih beken dengan panggilan Jhon melihat jemari kanan Amie sedikit bergerak. Demikian juga pupil mata, walau terpejam terlihat ada gerakan. Dia langsung menyampaikan hal itu pada sang ayah yang juga bertugas jaga dengannya. Mereka memang tiap hari mengatur jadwal dua orang yang menjaga Amie.
‘Kamu kapan bangun dek? Kamu enggak kangen ama Mas?’ Jhon membatin, dia paling dekat dengan adik angkatnya ini. Adik sepupu yang karena menjadi yatim piatu langsung di angkat oleh ayahnya. Mas Putro terlalu jauh selisih usianya dengan Amie sehingga tidak akrab. Sementara adiknya Trisulo yang lebih akrab dipanggil Ragil tak disukai Amie karena lebih muda, suka usil dan cengeng. ‘Besok Mas enggak bisa nungguin kamu ya, Mas terbang pagi, lusa baru jadwal Mas nungguin kamu lagi. Mas harap besok kamu sudah sadar ya dek.’
Hari ke empat tanggal 21 Februari 2014. Giliran Drg Eka Putro dan Ragil yang menjaga Amie. Mas Putro menggenggam jemari adiknya yang dirasa sangat dingin. Dia memandang wajah manis adik sepupunya. ‘Mengapa nasibmu sering ditinggal orang yang dekat denganmu Dek? Setelah meninggalnya semua keluargamu, sekarang kamu ditinggal suami dan calon anak kalian. Kamu yang tabah ya, Mas berdoa saat kamu sadar nanti kamu kuat menghadapi berita duka yang kamu terima.’ Putro hanya bisa berharap adiknya kuat. Dia sudah berpesan pada ayah, ibu serta adik-adiknya untuk antisipasi saat Amie sadar dan menanyakan Angga serta merasakan bayinya tak ada lagi di perutnya.
Sambil memperhatikan Amie, Putro menjawab chat Putut. Tetangga Amie, yang rumahnya bersebelahan di Cangkringan. Putro tahu Putut, adalah sahabat Angga, sehingga dia tak curiga saat Putut rajin meminta info terkini kondisi Amie.
‘Masih sama, belum ada kemajuan apa pun,’ Putro membalas chat Putut siang ini.
Hari ke lima, kembali jatah Jhon dan bude yang menjaga Amie. “Ibu salat duluan aja, kalau kita barengan salat lalu Amie sadar, kita enggak tahu. Atau ada perawat datang ‘kan juga kita enggak bisa tanya-tanya ke perawat atau dokter,” Jhon memberi saran pada ibunya untuk bergantian.
Amie mengerjapkan matanya, dia serasa baru bangun tidur, tapi mengapa dia berada di ruangan yang asing dan berbau obat seperti ini? Dia melihat tangan kirinya dipasang selang infus. Jhon yang melihat adiknya membuka mata segera menekan tombol guna memanggil perawat. “Aku di mana Mas, kenapa dipasang infus?” tanya Amie heran. Jhon tak segera menjawab, dia takut salah. Dia melihat ibunya sudah akan selesai salatnya. Lebih baik dia menunggu ibu yang menjawab semua pertanyaan Amie.
“Sebentar ya Dek, tunggu perawat dan dokter datang dahulu. Kamu ada di rumah sakit,” jawab Jhon.
Dokter yang bertugas langsung memeriksa Amie dengan saksama. Dokter juga menanyakan apa yang Amie rasa, pusing atau tidak, mual atau tidak dan banyak hal lain. Bude yang baru selesai salat langsung mendekat, dia tahu habis ini segala pertanyaan Amie harus dia jawab dengan bijaksana. Dokter dan perawat keluar ruangan di ikuti oleh Jhon, dia akan menanyakan kondisi adiknya. Jhon juga sudah mengabari ayah, Putro dan Ragil tentang Amie yang sudah sadar.
***
‘Amie baru tersadar, Mas tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini . Saat dia tahu Angga dan janinnya meninggal dalam kecelakaan itu.’ Chat yang baru saja Putut terima dari mas Putro. Putut hanya bisa berdoa dari jauh, agar Amie bisa bertahan dan kuat menerima cobaan ini. Kemarin Putut sudah mengajukan cuti dan akan pulang ke Jogja. Dia sudah pesan tiket kereta api untuk keberangkatan malam ini. Sepulang kantor dia akan bersiap lalu berangkat ke stasiun Bandung. Putut ingin mendampingi Amie menjalani hari-hari beratnya sepeninggal suami dan calon bayinya. Dari Jogja nanti dia akan ke Solo naik mobil, karena kemungkinan besar ibu dan bapaknya juga ingin menengok Amie. Untuk bapak dan ibunya Putut, Amie adalah anak perempuan mereka.
***
“Bude, kenapa aku di sini, mana mas Angga?” tanya Amie, dokter baru selesai memeriksanya dan membolehkannya minum sedikit demi sedikit. Bude telah membuatkan teh manis hangat untuk Amie minum.
Setelah Amie selesai minum dan bude mengambil gelas dari tangan keponakannya itu, bude dan mas Jhon segera mendekati ranjang Amie. “Nduk, kamu kecelakaan, apa kamu ingat?” tanya Bude lirih sambil menggenggam jemari Amie.
Tersentak, Amie langsung ingat dia terjatuh dari motor sehabis periksa kandungan. Dia tak tahu mas Angga jatuh ke mana, karena begitu jatuh, dia langsung tak sadarkan diri. “Aku ingat habis pulang periksa rutin. Saat pulang, mas Angga tidak tahu ada lubang sehingga motor goyang dan aku terjatuh. Aku enggak ingat yang lainnya.” Jelas Amie, dia langsung meraba perutnya karena ingat terjatuh.
“Apa bayiku tak selamat? Bagaimana mas Angga? Kenapa dia enggak ada di sini? Apa dia dirawat di ruangan lain? Di mana mas Angga?” Amie mulai terisak dan histeris. Bude langsung memeluknya dan mas Jhon langsung memencet bell memanggil perawat.
“Kamu terjatuh sangat keras Nduk, bayimu tak selamat. Kamu harus sabar, belum rizky mu mendapat momongan,” hibur Bude. “Kamu tak sadar lima hari.”
“Mas Angga?” tanya Amie makin keras. “Ke mana mas Angga, aku mau mas Angga!”
“Mas mu tidak selamat, dia langsung meninggal ditempat kejadian,” jelas bude sambil memeluk erat Amie.
“Enggaaaaaaaaaaaak … aku mau mas Angga … dia enggak mungkin ninggalin aku!” teriak Amie sambil memberontak, infusnya sampai copot karena tertarik. Mas Jhon berupaya mengurangi gerakan Amie dengan cara memeluknya erat. Suster datang dan langsung membetulkan infus serta menyuntikan obat di cairan infus itu.
“Istigfar dek, istigfar ya,” hanya itu yang terus diulang mas Jhon melihat adiknya terpuruk. Karena pengaruh obat yang disuntikkan, Amie langsung tenang dan tidur. Mas Jhon meminta mas Putro dan ayah hadir di rumah sakit, untuk membahas kondisi Amie saat ini. Ragil masuk saat Amie baru saja tidur. Sekolah memang diliburkan, tapi karena dia sedang kelas 12 maka tetap harus hadir untuk pendalaman materi karena UAN sudah dekat.
“Ono opo Mas? Kok Ibu nangis?” bisik Tri atau yang lebih ngetop dengan panggilan Ragil ( artinya bungsu ). Dia bertanya ada apa Mas, mengapa ibu menangis?
“Amie baru saja sadar, dan dia histeris tahu kalau Angga dan janinnya tidak selamat. Ini baru saja di suntik agar tenang.” Jelas Jhon, mereka sedang menunggu ayah dan mas Putro untuk konsultasi ke dokter. Ayah datang lebih dulu, pukul 16.32 beliau sudah sampai ruang rawat Amie. Sedang mas Putro masih lama, karena dia baru selesai praktik di klinik pukul 17.00. paling cepat sampai ke rumah sakit saat maghrib nanti.
“Enaknya nunggu mas Putro, atau Ayah dan Jhon aja sekarang menghadap ke dokter?” tanya bude, dia sangat sedih anak perempuannya terpuruk seperti itu.
“Nunggu mas Putro aja Bu, dia lebih tahu prosedur rumah sakit, walau dia dokter gigi, namun setidaknya tidak buta seperti aku,” jawab Jhon yang seorang pilot. Sesuai perkiraan Putro baru sampai saat waktu maghrib. Ibu memerintah Ragil membeli makan malam sekalian salat di mushola. Yang lain akan bergantian salat di ruangan.
Sambil makan malam mereka berembug bagaimana penanganan Amie. Terutama masalah kejiwaannya. Karena luka badan Amie tak ada, selain lecet-lecet saja. Kalau melihat luka tubuh, Amie bisa langsung pulang, walau baru keguguran. Seperti orang melahirkan, cukup 2 atau 3 hari di rumah sakit bisa pulang. Namun masalah kejiwaan tak bisa sembarangan penanganannya.
“Bagaimana bila kita kembali membawa ke Jogja? Karena hanya di sana tak ada tempat kenangan Angga dan Amie. Di rumah kita, walau sesekali, mereka sering bersama. Apalagi sejak mereka menikah di rumah, dan beberapa kali Angga menginap di kamar Amie setelah mereka menikah,” saran Jhon malam itu.
“Benar, hanya di Jogja tak ada tempat kenangan antara Angga dan Amie. Masalahnya siapa di sana yang bisa menemani Amie secara full? Untuk merawat mbah kakung saja kita minta temani dengan mbok Pedes. Sedang Amie bukan hanya butuh di rawat namun dia wajib pulihkan kejiwaannya.” Putro setuju dengan saran Jhon. Tapi mereka semua bekerja di Solo. Tak ada yang bisa merawat Amie di Jogja. Mereka memang membayar mbok Pedes untuk merawat mbah kakung karena mbah kakung sudah tinggal sendirian.
“Kalau kita sewa perawat bagaimana?” pakde Siswojo memberi pendapat.
“Amie bukan butuh perawat Yah, dia perlu pendamping agar jiwanya tidak kosong. Harus orang yang sayang dengan dia, atau perawat yang mengerti ilmu kejiwaan,” jelas bude. Andai dia sudah pensiun, dia tak akan segan menemani Amie di Jogja. Sayangnya dia belum pensiun, masih dua tahun lagi masa pensiunnya berlaku.
“Sekarang kita konsultasi ke dokter dulu saja, sambil jalan kita pikirkan siapa yang akan mendampingi Amie hingga pulih. Kita juga belum tahu, seperti apa kondisinya nanti saat dia bangun.” Jhon mengambil keputusan lugas. Malam ini dia harus bersiap untuk terbang. Namun dia tak ingin ketinggalan info tentang adik kesayangannya itu.
***
“Kalau melihat rentetan cerita Ibu dan Bapak mengenai kehilangan yang di alami Ibu Rahmi, saya skeptis dia akan normal tanpa gangguan, menikah baru hampir 6 bulan, kehilangan suami dan calon anak, pasti guncangan jiwanya akan berat. Saya sarankan dia untuk tidak bersinggungan dengan semua hal yang mengingatkannya dengan suami dan calon anaknya. Kalau saya dengar tadi mereka satu kampus, ya sementara biarkan dia cuti kerja dahulu agar tidak mengingat kegiatannya bersama sang suami di kampus,” jelas bu dokter yang didatangi keluarga Amie.
“Rahmi masih kuliah, suaminya dosen di kampus yang sama Dok, jadi bukan dia bekerja di kampus itu.” Jelas bude.
“Itu lebih mudah, urus cuti kuliah saja, kalau pegawai akan sulit izin cuti yang panjang kecuali cuti melahirkan. Kalau bisa dia jangan tinggal di rumah yang dia tempati dengan suaminya, karena tiap sudut ruang akan mengingatkan kebersamaan mereka. Kalau tak ada tempat yang aman, dia bisa di titipkan di yayasan yang menampung pasien kejiwaan. Namun tentu ada resiko dia akan merasa kalian buang!” demikian poin terpenting dari diskusi dengan dokter yang menangani kasus Amie.

Book Comment (170)

  • avatar
    Fadey Sungate

    the best novel i reading and will be attach for me

    31/07/2022

      0
  • avatar
    ImutzKeysa

    baguss

    7d

      0
  • avatar
    RamandaIkslah

    pppp

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters