logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 2 AKU TAK SANGGUP HADIR DI PERNIKAHANMU

Hari ini Putut kembali ke desanya di Cangkringan, desa kecil di kaki gunung Merapi. Sudah sangat lama dia tak pulang. Sejak dia lulus SMA dan harus kuliah di Bandung, Putut hanya bisa mudik setiap lebaran. Dan saat mudik pun Putut hanya di dalam rumah saja. Sepanjang hari dia sibuk mengerjakan tugas kuliah. Dia ingin bisa segera lulus lalu melanjutkan S2.
“Assalamu’alaykum,” Angga mengucap salam pada sosok yang baru akan membuka kaos kakinya untuk wudhu. Hari ini hari ketiga sesudah lebaran. Masjid desa masih penuh dengan para pemudik. Tak pelak Angga bisa bertemu dengan Putut di sini.
“Wa’alaykum salam,” Putut menengadahkan wajahnya. Dilihatnya sahabatnya sejak SMA berdiri tak jauh dari tempatnya duduk di tangga masjid. “Angga!” Putut setengah memekik. Sejak lulus SMA mereka tak pernah bertemu. Sudah hampir 6 tahun. Mereka juga tak punya nomor ponsel temannya itu sehingga tak bisa bertukar khabar.
“Kita salat dahulu, nanti sesudah salat baru kita bertukar cerita.” Angga tentu senang bertemu Putut. Sahabat yang tak pernah memandang teman dari sudut pandang materi. Putut rajin menolong siapa pun yang sedang kesulitan. Dia juga berteman dengan siapa pun walau hanya anak tukang kebun. Padahal dirinya adalah anak juragan buah terutama salak. Orang tua Putut juga mempunyai banyak sapi Australia dan tambak ikan.
***
Angga dan Putut melajukan motor mereka masing-masing ke kedai bakso langganan mereka sejak mereka SMA. Sesungguhnya ini bukan kedai bakso yang asli. Yang asli sudah hancur saat erupsi Merapi. Pemilik kedai sudah berganti, sekarang yang mengelola anaknya, karena penggagas kedai meninggal saat Merapi erupsi 2010.
“Kok kita enggak pernah ketemu tiap mudik?” tanya Putut, saat mereka baru saja memarkir motor mereka di kedai bakso. Pertanyaan bodoh. Tentu saja tak pernah bertemu karena dirinya tak pernah keluar rumah walau pulang mudik.
“Kamu terlalu sibuk sehingga melupakan kawanmu di desa. Aku setiap lebaran pulang dan bertemu teman-teman di sini. Dan tak ada rekan yang cerita bertemu denganmu.” Balas Angga. Karena memang seperti itulah kenyataannya.
“Maaf. Aku memang selalu pulang saat lebaran. Namun selain silaturahmi dengan keluarga yang datang ke rumah, aku tak pernah keluar ke mana pun. Aku terlalu sibuk mengerjakan tugas-tugasku agar aku bisa mendapat nilai terbaik. Jadi walau liburan, aku tetap berkutat dengan diktat,” Putut menyesali saat dahulu tak pernah menghampiri teman-temannya. Selain itu dia juga merasa ‘kehilangan seseorang’. Karena sejak dia pulang pertama kali dari Bandung, gadis kecil yang selalu menjadi ekornya tak pernah lagi datang ke rumah.
Flash back on
Putut teringat dua hari menjelang keberangkatannya ke Bandung, Amie, nama gadis kecil itu datang ke rumahnya. Putut yang sedang membaca di bawah pohon sawo di depan rumahnya kaget saat Amie sudah duduk di sebelahnya.
“Mas, jadi lusa berangkat ke Bandung?’”tanya Amie saat itu.
“Insya Allah jadi,” jawab Putut tanpa mengalihkan wajahnya dari buku yang dia baca.
“Aku mau bilang serius bisa?” tanya si kecil tanpa ragu.
Putut kaget, anak yang baru naik kelas 8 itu ingin bicara serius. Putut menutup bukunya dan menoleh pada wajah lugu gadis kecil di depannya. Gadis sederhana yang sangat manis. Putut adalah orang yang paling menghargai orang lain tanpa pandang bulu. Maka saat ada gadis kecil ingin bicara serius, maka dia pun menanggapinya dengan serius pula. “Kamu mau bicara apa?’”
“Aku mau Mas jadi pacar aku, dan tidak melupakan aku saat Mas sudah di Bandung nanti.” Tanpa ragu Amie menyatakan niatnya. Anak ABG itu membuat Putut terkejut.
“Mas tidak bisa, kamu baru aja naik kelas dua SMP ‘kan? Kamu belajar aja yang rajin. Mas aja yang sudah lulus SMA belum niat pacaran, masa kamu malah pengin punya pacar?” Putut berupaya menjawab dengan halus agar tak melukai perasaan gadis kecil di depannya.
“Aku tahu, aku masih kecil, namun Mas tunggu aku. Tunggu sampai aku bisa jadi dewasa. Aku akan selalu setia menunggu Mas pulang dari Bandung.” Balas Amie dengan yakin.
“Tidak bisa. Kamu tak usah menungguku. Aku terlalu tua untukmu. Dan terlalu lama aku menunggumu hingga dewasa!” tolak Putut halus.
Amie berbalik badan dan langsung berlari pulang.
Sejak itu Amie tak pernah datang saat Putut mudik, padahal rumahnya ada di belakang rumah Putut. Kalau dia ingin keluar rumah, akan selalu melewati gang kecil dipinggir pagar rumah Putut. Ada jalan lain, tapi memutar. Khabar terakhir saat erupsi Merapi, Amie kehilangan ayah, ibu dan kedua adiknya. Saat itu dia dan simbah berhasil selamat. Yang Putut tahu, Amie ikut pakdenya di Solo dan sudah kuliah di universitas swasta besar di Solo.
Flash back off.
Tahun ini Putut berniat bertemu dengan Amie, wajah gadis kecil itu sudah dua tahun selalu menghantuinya. Dan delapan bulan lalu Putut memutuskan akan meminta Amie menjadi pendamping hidupnya.
“Kamu ingat gadis kecil belakang rumahmu yang saat kita SMA dahulu selalu membuntutimu? Saat kita kelas 11 dia masih SD, lalu kita di kelas 12 dia kelas 7. Gadis kecil itu sekarang sangat cantik dan cerdas. Amie menjadi bintang di kampus tempatku mengajar. Dan aku sudah memintanya menjadi istriku.” Tanpa diduga Angga menceritakan khabar bahagianya pada Putut. Putut langsung lemas, gagal sudah niatnya mendekati Amie. Padahal saat lebaran pertama dia melihat gadis itu sepulang dari salat Ied di alun-alun. Namun saat itu dia harus menemani ibu segera ke rumah pakliknya yang kena serangan jantung. Esoknya dia ke rumah simbahnya Amie, dikabarkan Amie sudah berangkat ke Semarang sejak semalam.
‘Jadi Amie akan menikah dengan Angga? Apa dia sudah melupakan janjinya akan selalu menungguku?’ Putut hanya bisa diam dan berucap dalam batinnya saja. ‘Sepertinya Angga tidak tahu masalahku dengan Amie,’ batin Putut. Angga dan Putut terus bercerita dan saling tukar nomor ponsel.
Dua bulan kemudian Angga mengirim foto saat dia akad nikah dengan Amie. Akad nikah Angga dan Amie dilakukan tepat di ulang tahun Amie yang ke 20 yaitu tanggal 7 Juli 2013. Angga bilang baru akan menggelar resepsi satu bulan lagi dan berharap Putut bisa hadir di Solo. ‘Bagaimana aku bisa hadir? Aku tak sanggup melihat Amie disisimu. Karena aku baru menyadari, ternyata aku juga mencintai gadis kecil itu. Gadis kecil yang telah aku tolak.’
***
“Sejak para saksi menyatakan kalian SAH, maka status kalian sudah berubah. Nak Anggoro bukan lagi bujangan yang tanpa tanggung jawab. Sejak beberapa menit lalu kamu sudah menjadi suami nak Rahmi. Kamu wajib menjadi imam bagi istrimu. Semua kewajiban orang tua nak Rahmi sudah kau ambil alih. Jadi mau tidak mau, kamu harus menjalankan kewajibanmu itu. Sebaliknya kamu nak Rahmi, mulai tadi kamu bukan gadis bebas lagi. Kamu sudah menjadi makmum dari nak Anggoro. Kamu harus mentaati imammu dengan sebaik-baiknya.” Demikian penggalan nasehat pernikahan dari penghulu hari ini.
Banyak yang hadir di acara akad nikah pak dosen. Walau hanya akad, namun Angga dan Amie mengundang beberapa rekan agar tak timbul fitnah bila mereka sering nampak jalan berdua. Karena sebelum menikah, Amie atau Angga jarang mau jalan hanya berdua bila tak terpaksa.
“Selamat ya nak, tugas Pakde membimbingmu saat ini sudah beralih ke Angga. Pakde bahagia bisa menuntaskan tugas ayahmu mengentaskanmu.” Pakde Siswojo sangat terharu. Dia yang mengambil alih tugas almarhum adiknya Sisworo, sudah mengantarkan Amie ke jenjang rumah tangga. Itu kata-kata pakde Siswojo saat Amie sungkem sehabis akad nikah.
“Kamu adalah mawarnya Bude, sampai kapan pun kamu tetap anak Bude. Jangan pernah ragu untuk meminta apa pun yang kamu butuhkan dari Bude.” Amie hanya bisa menangis mendengar ketulusan cinta budenya. Sejak masih ada sang ibu, memang Amie sangat disayang bude Diah. Itu karena bude tak punya anak perempuan. Sejak Amie kecil memang bude Diah menganggapnya anak. Tiga anaknya semua laki-laki. Kadang di pasar atau swalayan dia melihat gaun atau pita rambut. Mau beli untuk siapa? Akhirnya sebagai kompensasi sejak baru punya dua anak lelaki, dia sudah menganggap Amie adalah putrinya. Saat dia hamil ketiga, dia sangat berharap akan mendapat bayi perempuan. Namun Allah berkehendak lain. Anak bungsunya juga berjenis kelamin laki-laki. Maka semakin cinta lah bude Diah pada Amie.

Book Comment (170)

  • avatar
    Fadey Sungate

    the best novel i reading and will be attach for me

    31/07/2022

      0
  • avatar
    ImutzKeysa

    baguss

    7d

      0
  • avatar
    RamandaIkslah

    pppp

    19d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters