logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Cerita bersamamu

Kania langsung melotot ke arah depan kamar dan buang ponselnya, ia ambil piring itu cepat-cepat dari Kenneth, sambil nyengir ke arah Roni.
"Eh, ada Papa. Kok sudah pulang Pah?" tanya Kania coba bersikap biasa saja. Roni geleng-geleng melihat Kania.
"Kania sudah umur berapa sekarang?" tanya Roni.
Kania menunduk sambil menjawab takut.
"E-empat belas." ucapnya. ''Sudah cukup besar, kan? untuk enggak makan dikasur?" tanya Roni.
"I-iya." jawabnya.
"Bukan sapi, kan?" tanya Roni.
"Iya." jawabnya.
"Lainkali kalo Papa masih liat kamu makan di kamar, Papa enggak akan isiin pulsa kuota kamu! papa masukin kandang kamu!" tandas Roni dengan kalimat akhir yang terkesan membentak.
Kania terdiam menunduk.
"Kenny juga jangan nurut aja kerjaannya. Kamu kan udah tahu kalau Papa akan marah dengan hal seperti ini. Paham kamu, Ken?" tanya Roni.
Kenneth ikut menunduk. "Paham, Tuan eh Papa." ucap Kenneth gugup.
Sejujurnya ada alasan kenapa Kenneth sekarang memanggil Roni dengan sebutan Papa, karena beberapa hari yang lalu beliau sendiri yang memutuskan dan meminta hal tersebut.
Roni sudah menganggap Kenneth sebagai anak angkatnya sendiri, meskipun tidak menutup kemungkinan jika mereka masih berstatus sebagai tuan dan pelayan.
Kenneth masih sangat hormat dan disiplin dalam melayani mereka.
"Ayo ke ruang makan dulu sana." suruh Roni, Kania dan Kenneth pun segera keluar dari sana seraya membawa piring dan gelas tersebut.
Kania dan Kenneth pun duduk di kursi makan. Kania mencebik, cemberut. Kenneth bergerak untuk menyuapi Kania. gadis itu pun kembali semangat dan mulai membuka mulutnya dengan lebar.
"Dan jangan suapin Kania lagi." ucap Roni yang tampak berdiri dibelakang sana. Kania segera menutup mulutnya dan cemberut.
"Kamu itu sudah besar, Kania. Apa perlu Papa sebut ulang berapa umur kamu? mau Papa kasih mainan lego sama masak-masakan lagi?" tanya Roni.
Kania segera merebut sendok dan piring itu dari tangan Kenneth.
"Aku aja sini." ujarnya tidak ikhlas. Kenneth sedikit tidak nyaman dengan ini.
Beberapa saat kemudian, Kania yang sudah selesai makan lalu kembali lagi ke dalam kamarnya, menyalakan televisi, duduk menonton serial FTV romantis di pojok kasur.
Kania melihat adegan sang pemeran utama laki-laki mengenggam tangan pemeran utama perempuan. Kania jadi penasaran, apa sebenarnya hebatnya dari menggenggam tangan? apakah itu menyenangkan?
Kenneth terus berada disamping kasur, berdiri disana dengan pandangan ke arah televisi namun sesekali ia alihkan matanya ke arah lain. Ia melihat ke arah boneka doraemon yang jatuh ke lantai.
Ia berniat mengambilnya dan meletakkan ke tempat semula, namun ketika baru akan melangkah.
Tangannya seperti dipegang sesuatu yang hangat, ternyata itu adalah tangan Kania yang coba memegang tangannya. Kenneth tersentak, apalagi ketika melihat gadis itu tersenyum riang ke arahnya sangat manis.
Kenneth tergugah dengan senyuman itu, entah kenapa ia ingin terus memandangnya lama dan melihatnya lagi serta lagi. Sebuah keinginan yang terdengar egois.
Malam harinya Kania sedang memandang bintang bersama Kenneth di luar balkon kamarnya.
Terpajang ribuan bintang menghampar diatas sana, Kania merasa sangat senang dan antusias melihat itu.
Kenneth duduk disampingnya dan ikut memandang apa yang menurut Kania objek paling indah itu.
Apa sebenarnya yang menarik dari ini? Kenapa nonanya itu terlihat begitu senang dengan hal yang tidak menggugah dirinya sama sekali?
Kenneth penasaran, apa sebenarnya... yang menarik dari pemandangan ini? Tidakkah dirinya sedikit... berlebihan?
"Kamu tahu? Sewaktu dulu, dibawah sinar bulan. Aku sering main nenek gerondong sama teman-teman tetanggaku. Aku yang tadinya takut sama permainan itu terus-terusan dibujuk sama mereka, sampai akhirnya aku ikutan mereka main." ucap Kania, Kenneth menatapnya seraya menyimak.
"Permainan nenek itu, permainan apa?" tanya Kenneth penasaran.
"Itu mainnya jadi gini, pertama kan kita hompimpa dulu lalu setelahnya empat orang atau lebih saling duduk satu baris ke belakang. Mereka saling pegang pinggang temannya masing-masing. Terkecuali anak di baris paling depan, anak itu pegangan ke tiang atau pohon. Nanti anak yang berperan sebagai nenek itu lalu menarik-narik anak paling belakang sampai pegangan mereka terlepas dari anak didepannya. Itu terus lanjut sampai anak paling depan. Nenek itu kadang suka pakai cara mengelitiki sampai aku kegelian. Haha, lucu tapi serem gitu mainnya." ucap Kania heboh. Kenneth tersenyum tipis mendengarnya.
"Aku yang tadinya enggak terlalu suka sama permainan itu tiba-tiba jadi berubah suka. Aku ngerasa udah kayak menemukan permainan yang sangat menarik." ucap Kania.
Kenneth terus melihatnya. "Apakah sebegitu menyenangkan, Nona?" tanya Kenneth.
"Iya.. sangat menyenangkan." ucap Kania.
"Oh iya, kamu sendiri di Jepang permainan apa aja yang waktu kecil suka kamu mainin?" tanya Kania.
"Saya jarang bermain sewaktu masih kecil." ucap Kenneth, Kania tidak percaya.
"Masa sih?" tanyanya.
"Saat usia 5 tahun ke bawah, saya memang selalu bermain tapi hanya sebentar, lalu usia 7 tahun ke atas saya sibuk bekerja sebagai pengawal pribadi." ujar Kenneth.
Kania masih tampak tidak percaya. "Kok bisa sih kamu betah kayak gitu? Kamu masih usia sekecil itu harus rela bekerja?" tanya Kania. Kenneth mendadak murung.
"Saya...terpaksa melakukannya." ujar Kenneth.
"Kenapa kamu terpaksa, Ken?" tanya Kania.
"Ayah saya memiliki hutang pada majikan beliau. Jadi hutang itu harus dilunasi dengan saya, selepas beliau meninggal." ujar Kenneth.
"Apa sekarang kamu masih terlibat hutang sama mereka?" tanya Kania penasaran.
"Masih." jawab Kenneth.
"Memang berapa hutang ayahmu?" tanya Kania.
"Hutangnya bukan berbentuk uang. Tetapi nyawa." ujar Kenneth, kedua mata Kania melebar sesaat.
"Ayah saya dituduh lalai dalam menjaga anak majikan saya lalu dia dicap sebagai penyebab utama anak majikannya itu meninggal. Jadi ayah saya maupun saya diharuskan untuk mengabdi bekerja sama keluarganya sepanjang waktu tanpa dibayar sepeserpun." ujar Kenneth.
Kania merasa sedih. Ia menghela nafas, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa ya, orang sebaik, sesopan, sedisiplin dan sesetia kamu bisa mengalami hal kayak gitu? Padahal kamu orang yang baik, Ken. Maksud aku kok bisa gitu, kamu ketemu sama majikan kayak gitu?" ujar Kania.
"Enggak, Non. Saya bukan orang yang baik. Saya bahkan selalu merasa kalau saya ini memiliki banyak kekurangan, salah satunya adalah tidak bisa membuat majikan saya merasa puas atas pekerjaan saya. Saya selalu takut jika hal itu terjadi." ujar Kenneth.
Kania tertawa mentah. "Ken, kamu itu terlalu polos atau terlalu baik sih? Majikan kamu itu loh yang enggak tahu diri! Sebal aku! Masa hal kayak gitu bisa dihitung hutang sih?! Enggak masuk akal! Orang enggak waras itu!" tandas Kania.
Kenneth merasa sedikit senang mendengar pembelaan ini. Entah kenapa... ia merasa beruntung bisa dibela oleh anak berusia tiga belas tahun ini.
"Dan yang kamu bilang barusan itu benar-benar fix menandakan kamu itu aneh. Masa iya orang nagih kamu hutang gak jelas asal-usulnya, eh kamunya malah iyain aja maunya. Kamu itu aneh tauk!" ucap Kania.
Kenneth memandangnya tanpa berkedip. Ia benar-benar terkesan dengan gadis ini.
"Terus kamu--" Kania langsung menghentikan bicaranya. Ia memandang heran Kenneth yang terus menatapnya.
"Kenapa?" tanya Kania.
"Kenapa Nona.. terus-terusan membela saya? Apa karena Nona mengharapkan imbalan yang lebih setelah ini?" tanya Kenneth.

Book Comment (68)

  • avatar
    Yunitafr

    500

    17d

      0
  • avatar
    SeptyanRafif

    mantap bgt

    26d

      0
  • avatar
    Balz Epep

    Sangat menarik

    04/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters