logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Jiwa yang hilang

Tak terasa sudah lama sekali Kenneth tidak merasakan kehangatan keluarga.
Ibunya meninggal ketika Kenneth berusia 4 tahun, sedangkan Kei meninggal ketika dirinya berusia 7 tahun.
Lalu setelah itu ia harus bekerja sebagai pengawal pribadi Shinji selama lima tahun. Kemudian ia kembali tinggal kembali di kediaman Callisto bersama paman dan kakeknya.
Meskipun begitu, ia selalu menyendiri ketika disana, menyendiri dengan buku pelajarannya, menyendiri dengan semua latihan bela dirinya, menyendiri dengan mengasah kemampuan bekerjanya menjadi pelayan.
Namun dibalik itu, ia benar benar seperti orang yang tak sadar, matanya yang semula ceria bahkan kini menjadi kosong dan tak memiliki emosi, seakan orang disekitarnya pun tahu.
Jiwa anak lelaki ini sudah menghilang setelah lima tahun yang lalu. Begitupun dengan rasa kasih sayang yang lama tak menjamah, sudah ia lupakan bagaimana bentuknya.
Ia sebatang kara dan hanya berdiri sendiri. Lalu apa yang ia sesalkan?
Ia memang tidak memiliki keluarga sejak lama, tapi ketika seseorang menawarkannya untuk menjadi bagian dari keluarganya. Ini seperti mimpi.
Keluarga...
Bukankah itu terdengar hangat...
Padahal baru lima bulan Kenneth tinggal bersama mereka, tapi rasanya... ia benar benar dihargai.
Di dalam kelas, tepat di ujung sebelah kiri barisan, Kania terus melihat ke arah Kenneth yang sedang berdiri siaga didepan pintu.
Lelaki itu memang benar benar melakukan tugasnya, dia memang sepatuh itu.
Kalau saja Kenneth menempuh ujian Paket C, dia pasti sudah didalam kelasnya sekarang, duduk disebelah kirinya, menangkis cahaya matahari yang biasa mengenai dirinya, menjadi narasumber contekannya, menjadi tukang pijit dadakannya, menjadi teman makan kuacinya setelah Gina, menjadi sumber perhatian ia dan seisi kelas.
Ah tidak, bahkan tanpa masuk ke dalam kelas pun dia sudah menjadi sumber perhatian.
Dia memberi radiasi bagi seluruh siswa dan tampak begitu menyilaukan hingga tidak ada satupun gadis yang tidak menjadikan pemandangan adem didepan sebagai tontonan.
Apalagi tingkah Rini yang membuat hati para siswa laki laki merasa gelay, alay, jijay. Lihat saja sekarang, dia sedang bertopang dagu seraya membidik ponselnya ke arah Kenneth.
Dia berniat memotret lelaki itu dari kejauhan, dasar cewek gatel! Dia itu kuman yang harus dibersihkan sebersih-bersihnya dengan wipol!
Kania merasa ilfeel, ia pun segera berbisik pada gadis yang duduk disebelah kanannya.
Gadis bermata empat yang sangat jangkung bahkan setinggi monas, langganan kejedot atas pintu, hingga siapapun yang duduk dibelakangnya merasa terganggu dan rasanya ingin mengantungi saja kepala gadis itu.
Tidak usah berlama lama, namanya adalah Elsa dan dia si kutu beras eh kutu buku dikelasnya ini.
"El, kamu tahu enggak sih rumus aljabar yang diajarin kemarin?" tanya Kania. Elsa menaikkan kacamatanya yang turun.
"Kenapa emang?" tanya Elsa.
"Itu coba kamu lihat kerjaannya si Keyra deh, kayaknya dia udah ngerjain bagian yang susah itu." ucap Kania.
"Aku udah selesai ngerjain sih." ucap Elsa.
"Y-ya coba kamu liat hasil kerjaannya si Keyra, barangkali kan dia hasil jawabannya beda?" ujar Kania. Setelah menimbang, Elsa pun segera menuruti perkataan Kania, ia bawa sebuah buku dan menanyakan sesuatu pada Keyra yang duduk didepan sana searah dengan berdirinya Kenneth saat itu.
Setelah beberapa saat bertanya, Elsa pun segera mengambil kursi dari tempat duduknya lalu duduk didepan bersama Keyra.
Menghalangi jelas Rini, Vega maupun beberapa temannya yang sedang asyik menonton Kenneth.
"Ngapain sih ni tiang bendera!" keluh Vega.
"Woi lah itu kepala apa bakso." keluh siswi dibelakang.
"Kantongin lah kepalanya." keluh siswi dibaris kanan.
Elsa membalas mereka dengan muka kecut. "Apaan si, kantongin. Emangnya permen." gerutunya seraya menaikkan kacamatanya yang turun.
Tak lama, seorang guru pun masuk ke dalam kelas. Dia adalah Pak Yanto. Ia melihat betapa setianya Kenneth berdiri didepan kelas.
"Ken, kenapa kamu enggak masuk aja?" tanya Pak Yanto.
"Tidak apa-apa, Pak. Ini sudah tugas saya berdiri disini." ucap Kenneth yang langsung membuat meleleh banyak siswi disana, berbanding terbalik dengan siswa yang melihatnya.
Mereka langsung muntah-muntah mendengarnya, tak lebih karena respon alay para siswi.
Beberapa siswi berkata.
"Kapan sih gue punya pengawal pribadi kayak Kenneth? Huwa gua pengen jadi anak orang kaya!" pekik Rini.
"Males banget gue dengernya. Mendingan denger kambing ngegosip dibanding harus denger ciwi pada alay." ucap Rendi
Pak Yanto masih merasa tidak nyaman dengan ini.
"Tapi kamu pasti pegal menunggu disana terus, mending kamu masuk deh, sambil ikut belajar." ucap pak Yanto.
Kenneth melihat dari kejauhan, Kania yang terus melambai-lambaikan tangannya menyuruhnya untuk segera masuk.
Kenneth merasa tidak memiliki pilihan, ia pun mengikuti apa yang dititah, ia masuk ke dalam ruang kelas 2F lalu mencari kursi kosong untuk ia duduki.
Kania secepat mungkin menyediakan kursi kosong untuk Kenneth, bahkan sebelum itu ia duluan mengancam siswa yang duduk dibelakangnya agar segera pindah ke kursi kosong dipaling pojok, bertukar tempat dengan Kenneth.
Siswa itu adalah Tono, tak lain ia adalah siswa yang paling suka mengumpulkan barang antik sama seperti bapaknya. Maka dari itu ia pun memanggut saja karena sogokan batu yang diambil Kania.
Hanya karena Kania mengiming-imingi jika batu itu adalah batu langka, padahal kenyataannya itu batu yang sering dipakai Kania ketika sedang menahan buang air besar.
Kania merasa amat senang dan berkali kali melihat ke belakangnya, memastikan jika Kenneth memusatkan perhatian ke arahnya.
Kenneth bahkan bisa melihat betapa seringnya Kania menoleh ke arahnya. Tertawa riang bahkan hingga menggoyang-goyangkan tubuhnya diatas kursi.
Dia selalu tampak bersinar, bahkan kini ditimpali oleh sinar matahari dikiri jendelanya. Dia memang selalu seperti itu...entah sampai kapan ia akan merasa lelah dengan semua tingkahnya itu.
Sepanjang belajar, Kenneth terus melihat ke arahnya, kadang mencoret-coret belakang bukunya, menggambar rumah atau ayahnya, mendengar penjelasan Pak Yanto, menguap, turun naik kepalanya karena mengantuk, lalu pulas dan akhirnya dijawir oleh Pak Yanto.
Kenneth tak berekspresi melihatnya, meskipun barusan ia sempat mencolek-colek gadis itu saat ketahuan Pak Yanto, namun sayangnya Kania keduluan pulas bahkan sampai ngiler.
Ditambah Kenneth merasa tidak enak membangunkan, itu terbukti saat Gina coba membangunkan Kania, Kenneth menghalaunya.
Dan kini Kania pun meringis kesakitan karena dijawir.
"Dududu... ampun aw.. Pak. Ampun." ringis Kania. Kenneth merasa cemas melihat hal itu, ia berniat menghentikan Pak Yanto, namun Pak Yanto keburu memberi ketegasan.
"Dia ini bandel Ken, masa Bapak lagi menerangkan malah asyik-asyikan tidur. Kamu tahu sendiri kan Ken, kalau perbuatan Kania ini sangat tidak patut dicontoh?" tanya Pak Yanto, Kenneth terdiam, menunduk. Secara otomatis ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Yanto.
"Kamu juga Kania, jangan dikit-dikit Kenny, ngandelin Kenny terus. Kalo kamu salah maunya dibela sama dia. Itu enggak baik Nak." ucap Pak Yanto melepas jawirannya.
"Iya Pak, maaf." ucap Kania menunduk malu. Namun ia berbalik kesal saat melihat Rini dan Vega tampak puas melihatnya ditegur seperti itu.
Kania menawarkan kepalan tangan pada mereka dengan pelototan mata, lain hal dengan Rini yang tidak merasa takut dan malah memelet lidah.
Setelahnya Pak Yanto pun kembali menjelaskan materi pelajaran Fisika, kemudian memberi mereka soal. Pak Yanto ijin keluar, setelah memberikan para muridnya waktu untuk mencari jawaban yaitu dalam waktu singkat dua puluh menit.
Saat itu semua pun rusuh, mencari teman pintar atau sasaran contekan untuk diburu. Lain hal dengan Kania yang sibuk menggambar sesuatu dibelakang kertas bukunya.
Gina melihat betapa santainya temannya itu, ia pun geleng-geleng.
"Orang mah pada sibuk ngedeketin murid pinter, lah elu Kan.. malah ngegambar. Itu apaan coba yang digambar? sapu lidi?" keluh Gina. Kenneth memperhatikan mereka dengan wajah datar, tak beremosi.
Sejujurnya sejak tadi dirinya sangat ingin menanyakan apakah Kania memerlukan bantuannya atau tidak untuk mengerjakan soal tersebut.
"Ini tuh orang, kamu aja yang enggak tahu seni!" ucap Kania.
"Apaan sih, seni mana ada yang kayak gitu?! masa orang kayak sapu lidi gitu? itu maksudnya siapa sih? kasihan banget digambarnya kayak gitu? jelek banget sumpah." ucap Gina serius.
"Agh! bawel banget sih! ini tuh papaku, aku sama Kenny." ucap Kania bangga, Gina mengusap wajahnya tidak habis pikir.
"Kasihan Kan, Kenny sama papa lo itu ganteng masa digambarnya kayak gitu. Nanti kalo jadi orang beneran gimana, kayak di upin ipin? nanti dia berubah jadi.... manusia lidi huwaaa!" ucap Gina dengan nada menyeramkan di akhir.
"Ya habis aku ngapain coba selain ngegambar? liatin meja? liatin pot?" tanya Kania.
"Ya kerjain tugasnya." ucap Gina, Kania menggeleng menatap Gina sebal.
"Kamu sendiri kenapa enggak ngerjain tugas aja? kenapa malah nyuruh aku?!" tandas Kania.
"Y-ya karena gue pengen nyontek sama lu Kan." ucap Gina nyengir. Kania ikutan nyengir.
"Dasar anak pintar. Gina anaknya siapa sih kalo boleh tau?" tanya Kania.
"Anak Kania." ucap Gina masih nyengir. Kania langsung bertandas.
"ANAK GAK DIAKU!" semprotnya

Book Comment (68)

  • avatar
    Yunitafr

    500

    17d

      0
  • avatar
    SeptyanRafif

    mantap bgt

    26d

      0
  • avatar
    Balz Epep

    Sangat menarik

    04/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters