logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 7 Yatim Piatu yang Tidak Aku Harapkan

Sejak lahir sampai detik ini, aku sudah merasakan bagaimana hidup dalam berbagai kondisi. Ada banyak teman dan mereka yang lain yang sayang padaku, terkadang memandangku penuh rasa kasihan, terkadang kebalikannya. Aku pengen, seperti mereka juga yang saat bersedih, meminta sesuatu selalu bisa dipenuhi. Aku bahkan belum pernah meminta gula-gula lolipo dari orang tuaku apalagi Nenekku. Setiap ada sesuatu yang aku inginkan maka Nenek hanya bisa memberiku hiburan dan berkata "Ndok, Nenek hanya punya sentuhan lembut untukmu."
Aku seperti pohon tumbuh yang kering yang berdiri kekar tapi mati dari dalam. Akar-akar subur berupa kasih kedua orang tuaku, hanya dalam kandungan aku merasakan itu semua. Saat awal aku lahir kedunia ini, aku belum pernah tahu bahwa aku adalah anak yatim piatu yang aku tahu dan pahami kebahagiaan adalah milikku. Aku tidak memikirkan itu walau sering kudengar dari teman-temanku di SD yang kerap memanggilku sebagai anak tanpa orang tua.
Saat-saat itu dan sekarang ternyta sama bahkan lebih perih dan parah dari keadaan sebenarnya. Mereka mengejekkupun, aku masih bisa kuat karena yang kupikirkan, ada sosok penghibur di kala Ain benar-benar tersungkur kedalam lubang hinaan hitam. Kumotivasi diriku dengan kekuatan yang tidak pernah diberikan oleh orang tuaku.
Kali ini, aku betul-betul merasakan yang namanya kesepian. Emang, kekuatan diriku ada namun tidak lebih dari hidup sebatang kara membuatku harus kuat menerima segala embel-embel hidup ini. Sudah tidak pernah lagi terpikirkan olehku untuk melanjutkan sekolah. Impian itu telah kukubur bersamaan dengan perginya Nenekku untuk selamanya. Kepada siapa lagi kuharus mengais kasih sayang. Adakah orang yang mau merawatku ?.
Hari ini, besok atau lusa, aku masih sama sebagai anak yatim piatu yang hanya berharap secercah bantuan dari orang untuk melanjutkan hidupku dan berdoa agar kejamnya dunia bisa aku lalui dengan ikhlas.
Sama saat pertama aku dipanggil ke Selayar oleh ibu guruku. Aku ikhlas, waktu itu dipikirkanku ialah hanya untuk melanjutkan sekolah. Ada pandangan besar yang aku lihat diujung langit, menggantung tanpa tali, aku ingin meraih dan mengikatnya sekuat-kuatnya di tanganku hingga tidak bisa lepas. Demi apa ? demi mereka yang selalu memandangku kecil, remeh, dan rendah.
Ternyata sebelum aku sampai disana, akupun jatuh lebih dalam dari yang sebelumnya.
"Kuatlah Ain !" kumotivasi diriku sendiri. Kamu harus kuat ! kalau bukan dirimu sendiri, siapa lagi yang akan menguatkan dirimu. Jangan memandang dunia ini kejam sementara dunia ini tidak seperti apa yang kamu bayangkan."
Kuhibur diriku, kubenturkan pikiran baik buruk kedalam pikiranku sendiri agar setidaknya aku bijak memahami proses hidup yang menimpaku. Namun, jiwaku masih labil untuk sebuah ujian sebesar ini.
Dalam kenangan yang kukenang dirumahku, saat kusisir bekas-bekas tempat yang pernah diduduki, dibaringi Nenekku, air mataku tidak pernah berhenti. Masih segar seperti dinginnya air, aku melihat sarung leja yang biasa di pakai Nenekku tergantung di tali jemuran dalam rumah. Sakitku melebih saat pertama kali aku mendengar kabar kematiannya.
Aku harus kemana untuk mengobati perih luka sayatan duka ini. Kuambil sarung leja itu, kubolak-balik menciumnya, bau Nenekku masih melekat disarung ini. Aku berlari turun dari rumah dengan tangisku, suaraku tidak bisa lagi aku bendung hingga tetangga-tetangga sekitar melihatku menuju kuburan Nenekku.
Diatas pusarannya, aku memanggilnya, diatas pusarannya kakiku menggaruk tanah, diatas pusaranya kedua tanganku meraihnya dibawah sana, diatas pusaranya air mataku kulap dengan pasirnya, aku tidak henti memanggil Nenek..., Nenek, Cuk ada disini, Nek. Bangun Nek, Cuk ada disini !.
Tidak ada suara apa-apa yang bisa aku dengar selain lelahku memanggilnya. Sampai aku tertidur diatas pusarannya ditemani sehelai kain kaffan yang terikat di nisannya.
Apakah Tuhan sudah tidak mendengar jeritan anak yatim piatu ini. Apakah Tuhan memang ingin melihat anak yatim piatu ini hidup tanpa arah diusia kecilnya ini.
Sampai aku bermimpi dalam tidurku. Ada hidup ada mati, ada bahagia, ada senyum, ada duka dan ada tawa. Aku melihat sebuah cahaya kecil yang mendatangiku, lelahnya jiwa yang Tuhan inginkan, Cuk, sebenarnya adalah cintaNya kepadamu.
Nenekku datang melalui mimpiku membawa pesan itu, melambai tangannya penuh harapan padaku. Saat aku bangun, banyak wajah yang aku lihat di sekitarku, mereka menatapku penuh kasih.
"Apa yang kamu lakukan di kuburan Nenekmu sampai kamu tertidur disana sampai malam" mereka menanyaiku ramai-ramai.
"Kamu jangan menangis lagi. Kalau kamu rindu sama Nenekmu, kamu bisa kerumahku" kata Ibu Rita padaku.
Aku masih belum bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku masih larut dalam diam yang tidak bisa menolongku keluar dari duka ini.
Wajah-wajah yang aku lihat sungguh beruntung sekali. Mereka memang kebanyakan adalah orang tua tapi mereka tidak sepertiku yang dari lahir sudah merasakan apa itu duka, apa itu sakit, apa itu kecewa. Ditambah lagi dengan kepergian Nenekku seperti langit menindisku, arahku bukan lagi ingin hidup, aku ingin mati saja.
Hanya dengan mati, aku baru bisa tenang. Hanya dengan mati, aku baru bisa bertemu Nenekku. Hanya dengan meninggalkan masalahku di muka bumi ini, menitipkannya pada rumahku, baru bisa aku bahagia.
"Ingat !" hatiku masih sempat juga menguatkanku sementara laksana buih yang terpelentang diombang-ambing oleh derasnya arus ujianNya.
"Ingat !" telingaku menerima bisikan baik yang mengarahkanku pada arti mimpiku tadi.
"Jangan berputus asa atas duka laramu. Cobalah tanyakan kepada yang hadir mengelilingimu, apakah mereka pernah juga merasakan kesakitan yang kamu rasakan. Memang, sepintas kamu melihat, mereka baik-baik saja. Mereka seakan tidak memilik masalah tapi yakinilah satu hal, setiap manusia didunia ini mempunyai dan memiliki masalah yang berbeda-beda. Hanya ketabahan dan keikhlasan yang membuat manusia bisa melewati segala masalah yang menimpanya. Jadi jangan bertputus asa, putus asa itu adalah hasutan setan pada setiap jiwa yang lemah. Jika putus asa maka setan menang mengajakmu untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan."
Suara itu hilang ketika aku benar-benar ingin mengetahui siapa yang sebenarnya berbicara padaku saat aku tidak perduli lagi dengan semangat hidupku sendiri.
Aku berusaha membangunkan tubuhku yang remuk seperti habis dipukul-pukul. Diantara mereka yang mengelilingiku, mataku mencari suara orang yang berbisik tadi. Tidak kutemukan selain mereka yang ada di dekatku.
Sampai aku bertanya pada mereka yang masih menemaniku dalam ibanya melihatku.
"Apakah menjadi anak yatim piatu begitu sakit ?."
Hanya beberapa orang yang memberiku semangat jawabannya.
"Tidak !. Justru anak yatim lebih disayangi Tuhan."
"Aku baru saja mendengar suara yang berbisik di telingaku untuk tidak menyerah dengan yang kualami saat ini."
"Ain, harus kuat !. Malam ini, kami tidur disini menemani Ain. Besok malam, Ain bisa memilih sendiri untuk tidur dirumah siapa dulu" kata Ibu Egy hingga semua ikut merespon niat baik itu.
Aku mau kemana lagi setelah semua yang hadir disini, di masa mendatang melihatku sebagai orang asing dalam hidup mereka.
Tuhan, Yatim Piatu ini mau kemana lagi ?. Tuhan, tolong ! cukup aku saja yang tidak memiliki orang tua dan Nenek. Jangan Engkau biarkan anak-anak lahir kedunia ini sama seperti nasib yang aku alami.
Piluku hanya mengangguk-anggukan kepalaku mengiayakan niat baiknya Ibu Egy padaku.
Segalanya begitu sakit bagiku !.

Book Comment (116)

  • avatar
    LUTFHI

    waw bagus

    5d

      0
  • avatar
    GirlApril

    baguss

    15d

      0
  • avatar
    ramdaniDani

    sangat baik

    23d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters