logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 5 Mainan Baru Menangis lagi

Di bualan tepi merindu, mendidih perasaan cintaku pada Nenek. Ingin sekali aku memeluk, Nek setiap harinya. Bahkan ketika mataku menetes kan air matanya karena kerinduan ini terkadang aku tidak tahu. Nenek yang mengasuhku, membesarkan ku, segenap jiwa dan raga tanpa berpikir aku siapa.
Ain belum bisa membalas bekas kasih sayang mu padaku. Ternyata benar, Nek bahwa ketika Ain jauh dari Nenek, hari-hari Ain diliputi oleh perasaan yang berlebihan menahan beban rindu yang sebelumnya belum pernah Ain rasakan seperti ini.
"Kenapa jalan hidup Ain harus sesulit Tuhan ?.'' Bantu aku untuk menjadi Ain yang kuat dalam keadaan apapun. Rinduku pada Nenek adalah rindu seorang anak pada orang tuanya. Nenek selalu sehat ya !.
Darah dagingnya kah aku atau hanyalah anak yang singgah untuk sementara waktu dikehidupan Nenekku.
Aku akan pulang, Nek !. Ain sudah melihat Kota Selayar, Ain sudah mendaftar di sekolah, Ain ingin Nenek tahu bahwa harapan dan impian yang selalu Ain tanam ternyata sedikitnya sudah bersemi di taman masa depan yang masih jauh untuk kuperjuangkan.
Nenek pasti akan bahagia jika Ain menceritakan pengalamanku selama di Selayar. Aku bahagia, gembira, senyumku selalu aku kirimkan pada Nenek lewat do'a waktu yang mengitari dunia ini.
Ingin rasanya Ain secepatnya berada di kampung bertemu dengan Nenek. Ada kepenatan selama di Selayar walau situasinya berbeda dengan di kampung namun seindahnya, Ain merindu suasana kampung.
Baru saja kupikirkan suasana kampung. Diatas motor bersama Om Dimas, kami sedang memparkir motor di atas Dermaga Selayar. Tujuan kami datang ke dermaga adalah mencari tahu apakah ada kapal yang bisa kutumpangi ke kampung dalam waktu dekat ini.
Memang ada setelah Om Dimas mengecek setiap kapal yang datang dari pulau-pulau Selayar. Salah satunya adalah kapal yang pernah aku tumpangi baru saja sandar hari ini jam 04:45, sore ini. Kapal itu, dalam satu bulan terkadang tiga kali masuk Selayar dengan tujuan bongkar muatan Kopra dari Pasilambena.
Aku tidak sabar ingin mendengar kapan kapal itu bisa bertolak dari Selayar menuju kepulauan Selayar. Om Dimas berjalan kembali menemuiku diatas motor tapi wajahnya seakan tidak bahagia.
Setelah dekat denganku, Om Dimas mengatakan padaku bahwa kapal yang baru saja dia tanyakan akan berangkat sekitar emapt hari lagi menuju kepulauan.
Tapi, ada hal yang sulit dia ungkapkan kepadaku, aku melihat wajah berbeda sebelum dia bertemu ABK kapal tadi. Akhirnya kamipun pulang kerumah dengan membawa semangat, senyum, dan harapan menanti waktu keberangkatan itu sesegara mungkin tiba.
Di perjalanan, Om Dimas mulai bertanya-tanya akan informasi yang mungkin ingin dia tahu. Tapi aneh, kenapa sudah berapa hari ini, bahkan sudah mau satu bulan keberadaanku dengan Om dan istrinya, sore ini, baru kali ini dia bertanya seperti itu. Itupun dia tanyakan setelah dari dermaga, ada apa ya ?, kata hatiku.
Itukan ? apa yang tersirat dalam hatiku, sudah terbukti. Om langsung saja memberitahuku dengan kata sabar, apakah kejutan atau luka.
"Ain, kamu sabar ya !."
Aku kira kata sabar itu adalah pilihan bijak untuk sebuah waktu yang aku tunggu.
"Iya, Om" jawabku padanya mengacuhkan tanda tanya dalam hatiku.
"Ain, sebenarnya ada yang ingin Om sampaikan tapi Om mau nanya dulu. Waktu Ain berangkat ke Selayar bersama Istri Om, apakah Neneknya Ain sehat ?."
"Iya, Om. Nenek sehat-sehat waktu Ain berangkat bahkan Ain masih sempat juga memeluk Nenek dipinggir pantai. Emang kenapa Om nanya begitu ?."
"Tidak. Om kepengen tahu saja, kan tidak apa-apa kan kalau Om tanya soal itu. Lagian, Neneknya Ain sekarang juga bagian dari keluarga Om. Kan, Ain sudah jadi anak, Om. Jadi, apapun yang bersangkutan dengan Ain pasti juga berkaitan dengan Om."
"Iya, Om."
Masih dijalan, tetap saja seakan hatiku tertusuk bukan karena kepikiran bahasa Om yang tiba-tiba menanyakan kesehatan Nenekku tapi ada semacam fenomena bisikan angin yang menghembus masuk lewat telingaku.
Hingga jiwaku merasakan sebuah kepahitan yang sempat termotivasi oleh gairah keinginanku untuk pulang kampung. Masih dijalan, Om memberhentikan motornya tepat disebuah toko hp yang megah dan unik.
"Toko apa ini, Om" tanyaku padanya, karena selama Ain di desa belum pernah melihat toko yang berisi mobil-mobil kecil seperti itu.
"Ooo, ini toko hp, Ain, milik orang China. Ain kan sudah mau pulang kampung jadi Om beliin Ain hp agar dikmpung nanti, Ain tidak jenuh dengan keadaan yang jauh berbeda dengan di Selayar. Gimana Ain, maukan kalau Om belikan hp untukmu" kembali bertanya padaku.
"Ain kira, itu tadi Om mainan mobil-mobilan yang biasa Ain temukan dipinggir laut jika musim keras ombak."
Mendengar kataku bahwa hp itu adalah mainan mobil-mobilan. Om Dimas malah tertawa dengan lucunya.
"Haha... kamu ini ada-ada aja. Mana ada mainan mobil-mobilan seperti itu. Gini aja, Om beli dulu hp satu untukmu terus jika Ain mau lagi nanti Om cari mainan mobil-mobilan di toko sebelah. Gimana ? Ain maukan ?"
"Nah ! karena Ain tidak menjawab mau atau tidak sebaiknya yuk turun dari motor. Kita masuk kedalam toko baru Om pilihkan hp warna apa yang cocok untukmu."
Om Dimas mungkin orang yang baru aku kenal selama hidupku ini. Dia adalah sosok Ayah yang begitu sayang padaku. Aku tidak bisa membayangkan kasih sayang seperti apa yang akan dia berikan kepada anaknya bila Allah SWT mengaruniakannya keturunan. Sama aku saja, orang yang baru dalam hidupnya sama sekali tidak pernah memperlihatkan sifat amarahnya padaku. Om Dimas bahkan bagiku bukan hanya orang tua asuhku tapi lebih dari itu, aku merasa tenteram bila berada disampingnya setiap hari.
Kamipun turun dari atas motor menuju dalam toko. Saat kami hendak memasuki toko hp tersebut, aku menarik tangan Om Dimas hingga dia kaget dan langsung melihatku.
"Ada apa Ain menarik tangan Om ?."
"Om, ayok kita pulang, Ain tidak ingin pegang hp."
"Lah... tapi kenapa ? kan bagus kalau hp bisa jadi mainan Ain nanti selama dikampung nanti."
"Ain tidak tahu bagaimana cara hidupkan ya, Om."
"Oh, Om kira apa ? kalau soal hidup matikan nanti Om ajarin Ain, yang penting hpnya dibeli dulu baru belajar hidup matikan dan cara casnya."
Terpaksa aku mengikuti keinginan Om walau sebenarnya aku tidak mau punya hp. Bagiku hp adalah barang asing yang dari aku SD sampai selesai belum pernah aku sentuh. Tapi karena rejeki itu miliki bagi siapa saja, Alhamdulillah Ain harus menerimanya.
lanjut, kamipun masuk kedalam toko tersebut. Di toko itu, ada banyak merek hp yang bagus-bagus. Cuma karena aku baru saja melihat semua hp ini, aku melihat semuanya bagus tidak ada yang jelek.
"Sini mendekat ! panggil Om padaku. Tadi mau masuk kedalam, Ain kok malah dipojokan itu berdiri. Sini sama Om, biar kamu bisa pilih hp dan warna apa yang kamu suka."
Aku kesana menghampiri Om Dimas yang lagi pilih-pilih hp untukku. Disitu, aku diberitahu untuk memilih hp yang ada di dalam lemari kaca. Saat aku melihat-lihat hp yang ada didalam lemari kaca, Om Dimas malah asyik bercerita dengan pemilik toko ini.
Mataku tertuju pada hp realme tiga kamera. Entah berapa harganya, aku tidak tahu ! "Om, yang ini bagus." sambil menunjuk hp realme yang ada dilemari kaca tersebut.
"Yang mana ?" kata Om Dimas padaku.
"Yang ini, Om."
"Ain suka hp itu ?."
"Iya, Om."
Tanpa bertanya dan berpikir panjang lebar terkait harganya apakah mahal atau murah. Om Dimas meminta kepada pemilik toko untuk mengambil hp yang ada didalam lemari kaca itu.
Itukan ? yang benar saja, harganya mahal. Pemilik toko langsung memberitahukan harganya pada Om Dimas.
"Ini hp realme, harganya Pak, dua juta tiga ratus lima puluh" pemilik toko memberitahukan harganya pada Om Dimas
"Ok. Yang itu saja, Pak" jawab Om Dimas.
Baru kali ini, aku melihat uang merah banyak dan berlembar-lembar. Itupun keluar dari kantong Om Dimas. Selama ini, dikampung dan selama aku SD melihat saja uang seratus ribu belum pernah belum apalagi sampai melihat uang yang jumlahnya jutaan rupiah.
"Jangan, Om ! aku mencegahnya. Kasihan uang sebanyak itu dibelikan hp. Mendingan uangnya ditabung, Om."
"Emang kamu tidak suka ya ? tadi kamu bilang hp ini tapi sekarang tidak mau lagi. Ain kenapa ?."
"Bukan tidak mau Om tapi hp itu kemahalan. Biar hp yang murah saja, Om. Ain akan lebih beruntung jika uang sebanyak ini ditabung, Om."
"Ain, sekarang gini aja, hp ini kamu ambil dan untuk uang tabunganmu nanti Om pikirkan lagi gimana bisa nabung. kan sayang Ain, Om sudah punya rencana, niat mau beliin hp untukmu malah tidak mau di pakai. Diambil saja ya, lain waktu kalau Ain mau hp dan hari ini tidak mau ambil pasti kepikiran juga itu."
Daripada debat, aku nurut saja. Alhamdulillah, akhirnya aku punya hp.
Sekarang kami keluar dari dalam toko hp. Kali ini, Ain diajak masuk sebuah restoran yang jaraknya tidak jauh dari toko hp tadi. Cuma karena aku tidak ingin Om Dimas sibuk, aku memintanya untuk pulang.
Dijalan, saat kami mengendarai motor menuju rumah. Om Dimas selalu bertanya akan kondisiku saat ini. Terutama apakah aku senang punya hp ini atau tidak. Karena agak ribut dengan suara knalpot motor, ditambah lagi suara angin, jadinya aku tidak terlalu dengar pembicaraan Om Dimas.
Hanya ucapan terimakasih yang bisa aku ucapkan pada Om Dimas saat ini.
"Terimakasih Om sudah beliin Ain hp !."
"Ain bilang apa sama Om ? Om kurang dengar nih soalnya anginnya kencang."
"Terimakasih Om sudah beliin Ain hp."
"Sama-sama, Ain. Sebenarnya itu hajat Om. Om pernah bicara sama Istriku waktu dia pertama sekali mau mengajar dikampungmu. Om bilang kalau misal nanti ada anak dari tempatmu mengajar yang yatim piatu dan mau diajak ke Selayar maka Insya Allah, Om akan jadikan anak itu sebagai anak Om. Alhamdulillah anak itu ada dan dia adalah kamu. Jadi bentuk kesyukuran Om pada Allah adalah dengan membelikanmu hp. Kamu tidak keberatan kan kalau Om memanggilmu sebagai anakku."
Bingung ! aku mau menjawab apa ?. Di sisi yang lain, aku ingin punya orang tua tapi di sisi yang samapun aku masih punya Nenek dikampung yang selalu aku rindukan. Jika aku menjawab ia maka mungkin kepulanganku kali ini adalah yang pertama dan yang terakhirku melihat Nenekku dikampung.
Aku tidak mau berpisah dengan Nenekku apalagi sampai harus jauh darinya.
Kuutarakan kekalutan pikiranku pada Om Dimas terkait ya atau tidak aku jadi anaknya. Sementara Om sudah berharap begitu besar kepadaku untuk menjadi anaknya.
"Om, bisakah Ain diberikan waktu untuk berpikir memutuskan jawabannya ?."
"Om tidak memaksamu apalagi sampai harus menjawab sekarang. Om yakin pasti Ain mau jadi anak Om. Sesampai dirumah baru Ain pikirkan keputusan baiknya ya. Sekarang pegang erat-erat karena hari sudah mau gelap, kita kejar waktu sholat Magrib dirumah.
Disetiap jalan yang kami lalui begitu banyak pemandangan-pemandangan unik yang aku lihat. Melewati jalan pertigaan buah-buah masuk keatas dekat mesjid, disitu aku melihat patung buah yang jeruk yang sangat indah. Unik dan lumayan besar sampai aku bertanya pada Om Dimas siapa yang membuat patung itu.
Pas Adzan magrib, kami sampai dirumah. Om Dimas bergegas menuju kamar mandi dalam rumah untuk berwudhu sementara aku masuk kedalam kamar untuk menyimpan hp yang baru saja dibelikan oleh Om Dimas.
Ibu guruku yang saat itu sedang duduk diteras depan rumah setelah menyalami suaminya, dia mengikutiku masuk kedalam kamar tanpa sepengetahuan Om Dimas. Aku dicaci dengan kata-kata yang tidak enak aku dengar.
"Kamu ya, baru saja tinggal disini sudah menghabiskan uang suamiku. Gimana nanti sudah lama tinggal disini, pasti semua miliknya akan kamu habisi."
Aku diam ! dalam hatiku berkata, aku tidak memintanya untuk dibelikan hp.
"Ibu kalau mau ambil hp ini, ambil aja ! Ain memang tidak mau punya hp. Tadi, Om sudah aku beritahu untuk tidak beli hp tapi Om tetap saja mau beli untukku."
Suara panggilan dari Om Dimas terdengar. Dia memanggilku untuk sholat berjamaah dirumah, seperti katanya tadi.
"Ain..., sini yuk, shalat !."
Sahutku dari dalam kamar sambil bergegas menuju Om Dimas, "Iya, Om."
Aku meninggalkan Ibu guruku didalam kamar sendirian.
Om Dimas sudah melantunkan Adzan, sholat sudah mau dimulai. Lantaran istrinya belum juga datang, akhirnya dia memanggil istrinya.
"Mah..., cepat dong !."
Tidak lama, Ibu guru sudah ada. Sholat pun dimulai. Beberapa menit sudah berlalu, kamipun sudah selesai sholat. Aku menyalami kedua tangan orang yang menyayangiku disini.
Disaat ini, Om Dimas baru mengatakan yang sebenarnya padaku terkait pertanyaan-pertanyaan tentang Nenenkku.
"Ain, sebenarnya ada yang ingin Om sampaikan kepadamu sejak masih dijalan tadi. Cuma Om tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya padamu. Ain ingat tidak saat Om mengatakan tadi dijalan "sabar ya."
"Ia, Om. Ain ingat !. Memangnya Om mau mengatakan apa ?."
Teka-teki ini susah aku tebak. Serasa diantara dua pengetahuan yang sulit aku jawab. Namun dari wajah Om Dimas terlihat sebuah masalah yang sulit aku terima jika dia katakan.
"Katakan, Pah" sahut istrinya padanya.
"Mah, Ain, jangan kaget ya. Khususnya untuk Ain sabar ya. Tadi, sewaktu di dermaga ketika Om menanyakan informasi kapal yang baru saja tiba kapan balik kepulau, Om dikabarin oleh ABK kapal yang berasal dari kampungnya Ain. Dia bilang bahwa Neneknya Ain sudah satu minggu meninggal."

Book Comment (116)

  • avatar
    LUTFHI

    waw bagus

    5d

      0
  • avatar
    GirlApril

    baguss

    15d

      0
  • avatar
    ramdaniDani

    sangat baik

    23d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters