logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 4

Benar saja, dilihatnya Reika membuka pintu gerbang setelah turun dari mobil yang mesinnya masih menyala. Penampilannya rapi dengan memakai setelan hitam, kontras dengan kulitnya yang putih. Rambut diikat dibelakang dengan memakai pita biru muda. Membuatnya tampak bercahaya, seperti mentari pagi yang malu-malu mengintip di ufuk timur. Dihampirinya kemudian diajaknya berbincang.
"Hai, Reika. Mau pergi ke mana sepagi ini?"
"Mau ke gereja." Jawabnya singkat tanpa ekspresi. Ia masih berdiri di samping gerbang, memberi jalan agar mobil papanya bisa keluar kemudian menutupnya kembali dan tak lupa menguncinya.
"Kamu temannya Reika? Siapa namamu?" tanya papa Reika dari balik kaca jendela pintu yang perlahan terbuka. Rambutnya klimis, mengenakan kemeja putih dan dibalut dengan setelan jas warna hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu.
"Benar, Pak. Saya satu sekolahan dengannya. Kenalkan, nama saya Rendy." Jawabnya sambil mengulurkan tangan.
Diraihnya jabatan tangan Rendy. "Saya Johannes, papanya Reika." Kuat juga genggaman anak ini, batinnya.
"Kami berangkat dulu ya, Nak Rendy. Sudah agak siang," pamit Johannes diiringi dengan senyumnya yang ramah.
"Sikahkan, Pak. Hati-hati di jalan."
Perlahan mobil silver itu melaju ke arah yang berlawanan dengan tujuan Rendy. Jalanan masih sepi, belum banyak kendaraan melintas. Hanya ada beberapa sepeda yang berjalan santai beriringan.
Udara dingin yang sejak subuh menyelimuti kota, mulai menghilang seiring datangnya sinar mentari. Namun, karena sekarang masih bediding, terlebih hari minggu, membuat orang-orang enggan keluar rumah dan masih setia bergelut dengan selimut.
Diteguknya air mineral yang sedari tadi ada digenggaman, sekedar menghilangkan rasa kering di kerongkongan. Ia melanjutkan lari pagi yang sempat terhenti, menuju taman kota yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.
Sesampai di taman, ia bertemu Tyo dengan gerombolannya bermain bola. Tingkah mereka sangat arogan, mereka tidak peduli bahwa itu adalah tempat umum. Seolah tempat itu adalah miliknya.
"Tyo !" Mereka menoleh dari mana suara itu berasal.
"Weee ... coba lihat siapa yang datang. Ada perlu apa ?!" Tanya Tyo dengan sebelah kakinya nangkring di atas bola.
"Aku mau minta maaf soal di sekolah kemarin."
"Maaf ?" Tyo menunjuk bibirnya sendiri, "kau lihat ini? karena ulahmu aku mendapatkan ini, dan kau datang dengan entengnya minta maaf. Memang bukan kamu yang memukulku, tapi sama saja. Jika tukang intip tidak berulah, ini semua gak pernah terjadi."
"Ya, maka dari itu. Aku minta maaf."
"O, gak bisa Men ! Semua ada konsekuensinya." Tyo mulai meradang.
"Tidak masalah. Asalkan setelah ini semuanya selesai, aku tidak mau ada masalah lagi."
"Jadi, Kau mengerti maksudku." Rendy mengangguk dan mengatakan ya dengan tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.
Tiba-tiba saja Tyo melayangkan pukulan ke pelipis Rendy sampai tersungkur. Darah mengucur ke pipi, tak berhenti di situ mereka mengeroyok sampai tidak bisa berdiri. Bukannya Rendy tidak berani atau tidak mau membalas, tapi sesuai dengan niat awalnya kalau ia akan menyelesaikan permasalahnnya dengan Tyo secara baik-baik. Namun, ternyata reaksinya sangat berlebihan.
"Sudah cukup, Yo. Kita sendiri yang repot jika sampai mati." Salah seorang mereka menyadarkan Tyo yang sudah kalap. Tyo melemparkan 5 lembar ratusan ribu ke tanah, dengan senyum sinisnya dia mengatakan ke Rendy untuk biaya berobat. Mereka meninggalkan bocah itu begitu saja. Banyak sekali pasang mata yang melihatnya, tapi tidak ada yang menolong ataupun melerai. Seolah sudah hilang rasa empati orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Mereka sudah bosan dengan perkelahian atau tawuran antar pelajar, yang seringkali terjadi di kota Surabaya ini.
Matahari semakin meninggi. Di atas lapangan paving blok, masih tergeletak anak muda yang menahan sakit di sekitar perut, kaki, dan juga kepala. Perlahan bangkit berusaha duduk di bangku taman, dengan kaki sedikit pincang ia melangkah gontai sembari tangannya meraih sesuatu untuk dijadikan pegangan. Mata terasa perih, terkena peluh dan keringat yang bercampur jadi satu. Direbahkan tubuhnya di atas bangku hingga ia terlelap.
Silau matahari yang hampir di atas kepala menerpa wajah membuat anak itu terjaga lalu bangkit dari tidurnya. Badan terasa sakit semua setelah perkelahian tadi.
Dari balik belakang kemudi, seorang pria paruh baya melihat anak remaja pria sedang duduk dengan pelipis dan bibir berlumur darah. Ia terkejut melihat anak itu ternyata adalah Rendy, yang tadi pagi sempat berkenalan dengannya. Serta merta pria itu keluar dari mobil dan menghampiri bangku kayu yang sudah tidak kosong lagi.
"Astaga, Rendy ! Apa yang terjadi ? Saya antar ke Rumah Sakit." Tanpa menunggu jawabannya, Johannes membopong tubuh pria kecil itu masuk ke mobil di jok belakang. Tidak ada kesulitan yang berarti mengingat tubuh papa Reika yang memang tinggi besar.
"Jangan, pak. Nanti papa tahu saya habis berkelahi," cegah Rendy menahan sakit.
"Piye kon iki. Kan malah bagus papamu tahu, nanti bakal diproses ke kantor polisi. Biar ... "
"Jangan, pak. Tolong, saya mohon," pinta Rendy memotong perkataan Johannes, ia tidak mengerti jalan pikiran anak ini.
"Ya sudah, kamu saya bawa ke rumah dulu. Biar nanti mama Reika membersihkan dan mengobati lukamu. Kali ini kamu jangan menolak." Rendy mengangguk lemah, matanya terpejam. Di dalam benaknya ia heran, keluarga ini baik sekali padahal baru kenal. Mama Reika membantunya melepas hoodie yang masih menempel ditubuh Rendy. Ada bercak darah di bagian dada kiri, bagian perut robek seperti terkena benda tajam.

Book Comment (349)

  • avatar
    Abyy Akbar

    anak jujur dan baik pasti di sayang dan di percayai oleh papah dan ibunya 😇🤗🙏

    19/05/2022

      0
  • avatar
    EkaputriKarisma

    seru ceritanya ditunggu kelanjutannya ya👍🏻

    11/05/2022

      0
  • avatar
    Titan cameramen

    bagus

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters