logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 2

Terdengar suara bel tanda sekolah telah usai, para siswa berhamburan keluar seperti ayam yang dilepaskan dari kandang. Beberapa terlihat masih ada di dalam ruangan, mungkin jadwal tugas piket.
Erwin dan Rendy berjalan beriringan, menatap surat undangan untuk orang tua yang sedang dipegangnya. Otaknya berfikir keras bagaimana caranya agar tidak mendapatkan omelan dari papanya.
"Ini karena kamu, kalau saja tadi ga nonton film itu, kita ga bakalan nerima surat cinta ini. Sudah kubilang, hapus kebiasaan aneh kamu itu." Erwin yang masih kesal karena merasa ga ikutan tapi kena getahnya, ngomel sendirian.
"Halah. Kamu tadi juga nonton kan," timpal Rendy
"Dikit doang, tapi kan Kamu yang mulai."
"Ya sama aja, ngeles aja Kamu."
Ketika sampai di pintu gerbang, mereka dikejutkan 5 orang anak cowok yang sepertinya anak IPS. Semua melihat dengan pandangan yang tidak bersahabat. Satu diantara mereka menatap dengan dingin kemudian mendekatinya. Dia Tyo, sudah lama naksir Gita, tapi cintanya tak terbalas.
"Kamu yang namanya Rendy?" Tanyanya tepat di depan wajah Rendy yang hanya berjarak tak kurang dari 10 cm. "Kembalikan sepatu Gita. Mau kau apakan sepatu itu sampai kau bawa kabur? Jangan-jangan kau jadikan bahan coli." Suaranya terdengar penuh penghinaan, 4 orang temannya ikut tertawa merendahkan Rendy.
Buk !
Tubuh Tyo tersungkur disertai erangan terkena hantaman tinju Erwin, tangannya memegang bibirnya yang mengeluarkan darah. Tak disangka, dibelakang mereka sudah ada satu kompi anak IPS bersiap mengeroyok mereka berdua.
"Alamak, nih anak. Main jotos aja." Rendy terlihat panik melihat banyaknya siswa yang berlari ke arah mereka berdua.
"Cepet kabur!!" teriak Erwin. Bukannya lari, Rendy malah sempat melempar sepatu milik Gita ke arah Tyo yang disembunyikan didalam tasnya.
"Nih ambil saja kalau mau, di pasar banyak."
Plak !
Lagi, sepatu yang dilempar mengenai wajah Tyo dengan telak.
Mereka berpencar, Erwin ke arah terminal, Rendy ke arah pasar. Kebetulan ada pick up lewat dengan kecepatan sedang, segera Erwin melompat ke atas bak kosong yang terbuka.
Ia bernafas lega bisa lolos dari kejaran. Tak disangka ternyata banyak juga anggota kelompok Tyo. Terdiri dari anak jalanan yang masih mencari jati diri, dan sebagian besar dari teman sekolahnya. Tidak heran karena abang Tyo adalah preman pemegang wilayah sekitar itu. Mereka tergabung hanya karena ingin mendapat perlindungan daripada harus berurusan dengan preman setempat. Baru 10 meter berjalan, mobil tiba-tiba berbelok dan berhenti di Toko material.
Ciiit !
"Pak, kenapa berhenti?"
"Lah memang tujuan saya kesini, Dek."
"Sial," umpatnya.
Kemudian ia meloncat turun dan berlari menjauhi kejaran kelompok Tyo. Di depan ada truk Satpol PP yang baru saja berhenti lengkap dengan personilnya, otaknya berfikir cepat. Tangannya mengambil sebuah batu dan menggedor bak yang berbahan seng, tentu saja akan menimbulkan suara nyaring dan mengagetkan personil di dalam truk.
Dar ! Dar ! Dar !
Dibuangnya batu di depan pintu, sementara Erwin berbelok memasuki gang sempit lalu menghilang. Sekitar 8 orang Satpol PP turun dengan memasang wajah garang. Bermaksud mengejar tapi sudah jauh, lalu mengalihkan pada sekelompok anak yang berseragam sama dengan Erwin.
"Bocah tengik ! Kalian temannya anak yang menggedor pintu tadi?!" Tanpa menunggu penjelasan, beberapa personil mengejar kelompok Tyo. Mereka berlarian ke sembarang arah.
Erwin tersenyum puas setelah tahu rencananya berhasil. Ia kemudian keluar dari gang, menaiki tangga penyebrangan jalan lalu menuju jalan raya. Sambil menunggu angkot lewat ia menyandarkan tubuhnya di depan gerbang sebuah rumah besar. Saat masih mengatur irama jantungnya, ia dikejutkan suara klakson mobil sedan warna hitam hendak memasuki halaman. Jendela pintu belakang mobil itu terbuka, dan dari dalam keluar kepala seorang gadis berkaca mata bulat dengan rambut panjang terurai.
"Eh, Kamu temennya Rendy kan?! Jangan sampai dia kabur, Pak." Sopir sekaligus satpam itu dengan sigap mencekal lengan Erwin.
"Kembalikan sepatuku," kata Gita begitu turun dari mobil.
"Bukan sama saya," jawab Erwin sedikit malas.
"Mas. Tolong kerja samanya. Kembalikan sepatu Non Gita sekarang." Wajah Pak satpam menunjukkan ekspresi serius.
"Beneran, Pak. Bukan sama saya."
"Awas, ya, kalau bohong." Gita mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Erwin.
"Iya ! Ga percaya amat. Lagian, anak orang kaya sepertimu masa cuma punya sepatu sepasang."
"Ini bukan masalah sepatu, tapi saya masih kesal saja dengan tukang intip seperti kalian."
"Sudah kubilang, kami tidak mengintip ! Dasar Mak Lampir!"
"Apa?! Coba bilang sekali lagi." Gita mengambil sepatu dari dalam mobil yang tinggal sebelah dan mencoba menamparnya, tapi tidak jadi. Khawatir akan dibawa kabur lagi seperti yang dilakukan Rendy sebelumnya.
"Udah ah, aku mau pulang, capek debat sama Kamu. Lebih capek daripada dikejar debt kolektor. Pak, bisa dilepasin gak?" Pintanya.
"Gimana Non Gita?" Tanya Pak Satpam.
"Ya udah, Pak. Lepasin saja."
"Terima kasih, Pak. Dadah, Mak Lampir." Ia berlari sambil melambaikan tangan.
Kali ini Gita benar-benar melempar sepatunya, tapi Erwin berkelit. Malah ia menendang sepatu sampai masuk ke dalam selokan sambil cengengesan tanpa merasa bersalah.
"Monyeeeeet !"
Sementara itu, Rendy masih mencari tempat persembunyian. Ingin melawan tapi kalah jumlah, ia memilih untuk kabur di antara lapak yang berjejer di sepanjang lorong pasar. Ia melihat seorang ibu paruh baya menunggu dagangannya sendirian. Didekati ibu itu dan minta agar diijinkan sembunyi di dalam.
"Cepetan, masuk saja sampai situasinya aman." Beliau menyuruh Rendy bergegas.
Terdengar gerombolan anak IPS melewatinya, sebagian ada yang bilang Rendy lewat sini, sebagian ada yang bilang sedang bersembunyi.
"Silahkan, Mas. Dipilih bajunya, bagus dan pastinya murah." Tawar beliau sekedar basa-basi.
"Kami tidak cari baju, kami mencari anak SMA yang lewat sini. Ibu melihatnya ?" Tanya seorang dari mereka.
"Ya, lihat."
Deg ! Rendy terkejut mendengarnya, dia tidak percaya jika ibu itu memberi tahu dimana dia bersembunyi.
"Mana, Bu?"
"Ya Kalian ini, anak SMA kan?!" Merasa tersinggung, mereka meninggalkan tempat itu. Setelah dirasa aman, keluar juga Rendy dari persembunyiannya.
"Terima kasih banyak, ya, Bu atas bantuannya."
"Saya tidak sedang melindungi kamu, Ibu hanya tidak ingin ada keributan di sini."
"Walaupun begitu, saya tetap ucapkan terima kasih." Setelah itu Rendy pamit meninggalkan tempat itu. Masih merasa was-was, kepalanya melongok ke kiri dan ke kanan. Mungkin saja mereka belum jauh.
Baru saja keluar dari pasar, matanya menangkap sosok yang tidak asing. Gadis berambut panjang yang kemana-mana selalu memakai sweeter ukuran besar. Bagian lengannya panjang hingga menutupi telapak tangan, lengkap dengan wajah memelasnya seperti seorang anak yang sakit-sakitan. Siapa lagi jika bukan Reika. Bocah laki-laki itu mengikuti setiap langkahnya, sesekali bersembunyi di balik pohon sambil mengawasi seperti Polisi mengintai penjahat.
Gadis itu berbelok ketika di perempatan, dengan cepat ia mengejar karena tidak ingin kehilangan jejak. Tangannya meraih lalu memegang pundak Reika, tapi ekspresinya diluar dugaan. Lalu ia berteriak.
"Copeeeet!"

Book Comment (349)

  • avatar
    Abyy Akbar

    anak jujur dan baik pasti di sayang dan di percayai oleh papah dan ibunya 😇🤗🙏

    19/05/2022

      0
  • avatar
    EkaputriKarisma

    seru ceritanya ditunggu kelanjutannya ya👍🏻

    11/05/2022

      0
  • avatar
    Titan cameramen

    bagus

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters