logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Dewi Penolong

Tita menyeret dua koper dengan kedua tangannya, satu tas selempang kecil, satu tas di pundak dan sebuah tas ransel di punggung. Dia melangkah tanpa tahu arah hingga saat sadar sudah berada di persimpangan jalan yang sepi.
"Astaga, ini dimana?" Tita melihat kanan dan kiri. Dia benar-benar kehilangan arah. "Ah, sudahlah lanjut saja."
Baru selangkah dia melangkahkan kakinya sebuah mobil melaju kearahnya. Spontan saja dia menghindar dan memaki mobil yang hampir saja menabraknya. Ternyata mobil itu menabrak pembatas jalan tepat di depan mata Tita.
"Hah, kecelakaan!" seru Tita. Dia baru saja akan pergi namun hati kecilnya tidak tega. Dia berbalik ke arah mobil itu dan menggedor pintu mobil dengan kencang.
"Keluar!" teriak Tita.
Tidak ada suara.
Dengan kedua tangannya dia meletakkannya di kaca jendela mobil itu berusaha melihat ke dalam mobil. Pemilik mobil terlihat tidak bergerak di dalam sana.
"Apa dia mati?" Tita mulai panik, dan dengan sedikit memaksa dia membuka pintu mobil itu.
"Hei, bangunlah!" teriak Tita berusaha menyadarkan pria yang mengemudikan mobil tadi. Matanya terbuka sebentar, kemudian terpejam lagi.
"Aduh, kenapa malah pingsan lagi." Tita segera mengambil ponselnya kemudian menelpon ambulan dan membawa pria itu ke rumah sakit terdekat.
Merasa sudah cukup telah membawa pria itu kerumah sakit, Tita beranjak dari tempatnya.
"Tunggu, Nona!" seorang perawat menghentikan langkahnya.
"Ada apa?"
"Kami butuh tanda tangan Anda untuk tindakan lanjutan," terang perawat itu.
"Apa?" Tita tidak menyangka dia masih harus mengurus pria itu.
Dengan sangat terpaksa dia menandatanganinya supaya segera dilakukan tindakan. Mereka membawa pria itu ke ruang IGD. Dan dengan sangat terpaksa Tita menunggu di sana.
Satu jam kemudian mereka memindahkan pria itu ke ruang rawat. Tentunya Tita ikut ke tempat dia dirawat.
"Nona, silahkan diurus dulu administrasi pacarnya," ucap seorang perawat yang menunjukkan tempat pengurusan administrasi rumah sakit.
"Pacar? Mereka salah paham," batin Tita. Tapi apa yang bisa dia lakukan sekarang, pria itu bahkan belum sadar.
Dengan sisa uang yang dia miliki ia gunakan untuk membayar kamar rawat inap pria tadi.
"Mahal sekali semalam saja tiga juta," gerutu Tita dan dia melongo saat masuk ruang rawat inap pria yang baru saja dia tolong.
"Mbak, ruang apa ini?" tanya Tita kepada perawat.
"VIP, Nona," jawab perawat itu.
"V–VIP?" tanya Tita meyakinkan diri.
"Benar, kekasih Anda baik-baik saja lukanya tidak mengkhawatirkan," jelas perawat yang mengantar Tita ke ruang rawat inap pria itu.
Setelah perawat itu pergi, Tita mengamati pria yang menurutnya ugal-ugalan di jalan. Tapi, tidak ada tampang pria yang ugal-ugalan. Pria ini bisa dibilang cukup tampan, bahkan lebih tampan dari Tristan.
"Kenapa Tristan lagi, enyah kau dari kepalaku!" batin Tita menolak nama Tristan.
Dia mendekati pria itu ada gelang yang terpasang di sana. Dia membaca nama yang tertulis di gelang tersebut 'Kiano Zafran Sankara'
"Jadi namanya Kiano, hm, Sankara sepertinya pernah dengar," gumam Tita. Dia mengeluarkan ponselnya dan menekan mesin pencari dengan huruf G penuh warna. Dengan cepat dia mengetik nama Kiano Zafran Sankara, benar dugaannya gambar dan artikel pria yang terbaring di depannya tak salah lagi adalah dia yang namanya disebut dalam banyak artikel. Pengusaha muda dengan dua gelar lulusan dari luar negeri dan digadang-gadang berpenghasilan mencapai milyaran dalam satu bulan.
Bahkan gosip miring hubungannya dengan beberapa wanita juga mengisi kolom-kolom berita dari mesin pencari tersebut.
"Kenapa pria seperti ini mengemudikan mobil sendiri, di mana sopirnya?" pikir Tita yang merasa hal itu tidak masuk akal.
"Ergh," erang pria itu memegang kepalanya yang dibalut perban.
Matanya mulai terbuka dan mengerjap beberapa kali sebelum kata muncul dari mulutnya.
"Di mana aku?" tanyanya.
"Rumah sakit, kau pikir dimana, alam baka?" balas ketus Tita tanpa sedikit pun kelembutan dalam ucapannya sangat berbeda dengan paras cantik miliknya.
Pria itu menatap Tita dengan pandangan lembut dan tersenyum, senyuman yang tentunya akan membuat kaum hawa bertekuk lutut, tapi tidak dengan Tita yang baru saja diputuskan kekasihnya. Hatinya kini sekeras baja.
"Kurasa kau dewi penolongku yang dikirim khusus untukku saat ini," ucap pria itu.
"Hah?" balas Tita singkat dia pun duduk di kursi panjang yang ada.
"Sudahlah, aku lelah dan mau tidur, ada perawat di sini jadi minta saja pada mereka jika butuh sesuatu," ucap Tita bersiap untuk tidur.
Tita tidak punya tempat untuk ditinggali jadi tidur di ruang VIP rumah sakit adalah pilihan terakhir yang dia miliki saat ini..
"Hei, kau!" teriak pria yang baru sadar itu.
"Namaku Tita, Titania Felicia Putri. Dan panggil saja Tita." balas Tita kembali dengan tidurnya.
Pria itu memandangi Tita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya satu kata yang bisa dikatakan 'cantik'. Kemudian dia berusaha meraih ponselnya. Namun, kenyataan dirinya tidak bisa banyak bergerak membuatnya terpaksa memanggil gadis di yang tengah tidur.
"Tita … Tita," panggilnya.
"Kau mengganggu tidurku," gerutu Tita.
"Tolong ambilkan ponselku," pintanya mengatupkan kedua tangannya.
Tita dengan sangat terpaksa mengambilkan ponsel pria itu.
"Namaku Kiano ...," ucapnya seraya mengulurkan tangannya ke arah Tita.
"Ya, aku tahu tertulis di gelangmu," jawab Tita menunjuk gelang pasien yang melingkar di tangannya.
"Ah, bodohnya aku." Pria bernama Kiano itu tersenyum. Dia melihat tangannya yang terdapat nama lengkapnya di label yang melingkar.
"Ada lagi? Sebelum kau mengganggu tidurku lagi. Kau tahu hari ini hari terburuk dalam hidupku, kehilangan pacar, sahabat, pekerjaan bahkan tempat berteduh. Karena itu aku mau tidur saja di sini," ucap Tita kembali bergelung di kursi panjang kamar VIP itu.
"Hei …," Kiano tidak melanjutkan perkataannya. Percuma saja gadis itu sudah terlelap.
Dia membuka ponselnya lalu mengetik dengan cepat, sesaat kemudian dia menelpon seseorang.
"Albert lakukan seperti yang ada di pesanku, jangan lupa besok pagi kau ke sini," ucapnya pada seseorang yang sedang menerima panggilan darinya.
Menghela napas panjang dia kembali menjawab, "Aku tidak apa-apa, besok saja!"
Kiano menutup sambungan telepon yang baru saja dia lakukan.
Terdiam sebentar lalu dia kembali menggeser ponselnya menampilkan foto dirinya dan seorang wanita yang dulu adalah kekasihnya.
"Celine, kenapa kau pergi?" lirih Kiano yang terlihat berwajah sendu. Dia kembali teringat kenangannya bersama gadis itu dan semakin membuatnya sedih.
"Bukankah aku lebih baik dari gadis itu, setidaknya hanya kehilangan kekasih saja," gumamnya menertawakan dirinya sendiri yang begitu lemah sementara ada orang yang jauh lebih tegar meski ditimpa cobaan bertubi-tubi.
"Hei, dewi penolong aku pasti akan membalas kebaikanmu," lirih Kiano memandang Tita yang telah terlelap dalam tidurnya.

Book Comment (341)

  • avatar
    Nesya Servigia

    sumpahhh baguss bgt wee toppp si

    15/06

      1
  • avatar
    IrnawatiMurni

    alurnya jelas dan ringan

    09/05

      0
  • avatar
    TattooErick

    ceritanya bagus

    25/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters