logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7 - Rencana Bimbel

“Sudah selesai makannya?” tanya Leo begitu kembali dari pertemuannya dengan seseorang.
Melihat kedatangan Leo yang tiba-tiba, Nadia buru-buru mengambil potongan daging ayam terakhir yang masih berada di piring saji berbentuk daun dan melahapnya. Sedang yang lain memusatkan tatapan mereka ke arah Leo.
“Udah, Pa.” Val menjawab setelah mengedarkan pandang, memastikan bahwa makanan yang dia pesan bersama teman-temannya telah habis disantap.
“Makasih banyak ya, Om? Kita kenyang banget.” Nadia berkata dengan pipi menggembung karena sedang mengunyah daging ayam.
Leo mengangguk sebentar, lalu duduk di sebelah Val setelah anak gadisnya itu menggeser posisi duduknya. “Sama-sama. Sudah benar-benar kenyang atau masih mau tambah? Atau mau pesan lagi untuk dibungkus dan dibawa pulang juga boleh.”
Vivian tidak sengaja bersendawa dan dengan malu-malu dia menutup mulut dengan kedua tangan. “Maaf, kelepasan,” bisiknya sambil meringis.
“Kami udah kenyang banget, Om. Enggak kuat kalau mau nambah lagi,” timpal Maya. “Makan di sini juga udah cukup, Om. Enggak perlu bungkus dan bawa pulang,” lanjutnya.
“Kenapa, May? Enggak usah malu kalau emang mau nambah, enggak apa-apa, kok.” Val ikut berbicara.
“Udah, Val. Kita udah kenyang banget,” timpal Nadia yang tadi paling semangat menghabiskan makanan.
“Apa kamu sudah bayar?” tanya Leo pada Val yang sedang menyeruput sisa-sisa es lemon tea-nya dengan sedotan.
Val menggeleng sebelum menjawab, “Belum, Pa. Kita barusan banget selesai makan. Jadi Val belum sempet buat bayar.”
“Oke, kalau gitu biar papa yang bayarkan,” kata Leo sembari memanggil pelayan dengan gayanya yang elegan dan tampak berkelas. “Saya minta bill, ya?” ucapnya kepada seorang pelayan yang datang.
“Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar,” pinta pelayan tersebut dengan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat.
Val menyerahkan kembali kartu kredit yang tadi Leo berikan padanya. “Karna Papa udah balik, jadi Val minta tolong kalau Papa aja yang bayarkan, gimana?” tanya Val dengan hati-hati, takut Leo akan menolak permintaannya.
“Boleh, dong. Pakai kredit card papa aja. Yang itu kamu yang pegang, ya? Misal butuh apa-apa, kamu bisa belanja pakai kartu itu,” jawab Leo sembari mengeluarkan dompet dari saku celananya.
Tak lama, pelayan datang dengan membawa bill beserta alat untuk melakukan pembayaran menggunakan kartu. Leo pun segera melakukan menggesek kartu pada mesin mini tersebut.
“Pa, kredit card ini Papa aja yang bawa. Val bakal minta ke Papa seandainya ada kebutuhan mendesak,” Val memaksa untuk mengembalikan kredit card milik Leo. Sejak kecil, dia terbiasa meminta uang seperlunya saja dari Rania. Karena itu, Val merasa tidak enak jika harus menerima kredit card dari sang ayah.
Teman-teman Val sama-sama mengarahkan pandangannya kepada Val. Dan tentu saja dengan membatin seandainya mereka yang berada di posisi Val, sudah pasti akan menerima kredit card tersebut dengan senang hati.
“Enggak Sayang, papa mau kamu yang pegang kartu ini karna papa memang membuatnya untuk kamu,” tolak Leo mentah-mentah.
Val mengamati sahabatnya satu per satu. Semua mata seolah mengatakan padanya, ‘Terima aja, Val!’ Maka Val pun terpaksa menerima kredit card tersebut.
“Thanks Pa,” bisik Val dengan senyum tipis menghias wajahnya.
Selesai melakukan pembayaran, Leo segera mengantar para sahabat Val kembali ke sekolah. Sedangkan dia akan kembali ke kediamannya bersama anak gadisnya tercinta.
***
“Guys, kalian ada yang kenal enggak, sama murid teladan di sekolah kita? Paling teladan, paling pinter, yang terbaik deh siswa atau siswi terbaik gitu.”
Suasana kantin mulai sepi karena waktu istirahat hampir selesai. Dan Letta teringat dengan wejangan Siska yang mengatakan bahwa dirinya harus bisa mengalahkan Val dalam hal prestasi akademik. Tentu saja semua itu harus dilakukan Letta demi perhatian Leo supaya nantinya lebih fokus terhadapnya, tidak melulu hanya memerhatikan Val saja.
“Oh ya, selain Uma. Gue enggak mau pakai dia lagi. Lagian sekarang udah susah banget bujuk dia. Emang pembangkang tuh anak,” sambung Letta dengan sedikit geram karena Uma sudah tidak mau lagi menjadi backingannya dalam hal prestasi akademik.
“Kenapa emangnya? Kenapa buru-buru banget mau ganti otak atas prestasi yang lo dapet?” Yasinta yang penasaran sontak menoleh ke arah Letta.
“Nyokap bilang, gue harus bisa ngalahin Val. She’s a smart girl, you know? Dan tentu aja gue enggak boleh kalah dari dia. Bisa-bisa gue enggak bakal dapet perhatian dari bokap sama sekali,” ujar Letta berapi-api.
“Murid teladan, ya? Kalau setahu gue, murid yang dapet juara umum tahun ini tuh si Reza,” timpal Dania.
“Reza? Jangan dia lah. Dia kan cupu. Ganti, ganti! Gue enggak suka!” Letta mendelik.
“Ya justru itu, Letta. Karna dia cupu, jadi bakal lebih mudah buat lo manfaatin dia. Tinggal deketin aja, paling udah meleleh. Apalagi yang deketin dia adalah Princess Letta,” timpal Sabira.
“Are you kidding me? Dia bukan tipe gue. Kenapa juga gue harus deketin dia?” sungut Letta.
Yasinta dan juga Dania terkekeh mendengar ide gila Sabira.
“Kenapa kita enggak belajar aja sih?” celetuk Tiara dengan polosnya, membuat semua mata tertuju padanya. “Kita bisa belajar sama kakaknya Sabira, kan? Kak Jordi. Bukannya dia tutor di salah satu bimbel ternama? Kak Jordi juga jadi asdos di kampusnya. Keren, kan?” lanjutnya masih dengan nada yang cukup santai.
“Kakaknya Sabira?” Kedua netra Yasinta tampak berbinar-binar mendengar nama Jordi disebut.
“Kak Jordi emang tutor. Tapi males ah! Kenapa harus Kak Jordi? Bisa-bisa gue diharuskan ikut bimbel dia tiap hari dan enggak bakal dibolehin main lagi dengan bebas,” protes Sabira.
“Yah ... gue maulah, kakak lo kan ganteng,” celetuk Yasinta tiba-tiba.
“Ya ampun, Yas. Fix deh, kalau kita belajar sama kakaknya Sabira, yang ada lo enggak akan fokus belajar,” tebak Dania.
“Gue pikir-pikir dulu deh,” ujar Letta yang diam-diam juga mengagumi kakak Sabira.
“Maksudnya?” tanya Sabira yang belum paham dengan maksud Letta. Pasalnya, mereka baru saja menanggapi ucapan Yasinta, tapi tiba-tiba saja Letta ikut nimbrung.
“Ya ... gue pikir-pikir dulu buat belajar bimbel sama kakak lo. Kayaknya sih boleh juga.”
Mendengar ucapan Letta yang sepertinya akan setuju jika melakukan bimbingan belajar dengan kakak Sabira, membuat teman-temannya tercengang. Letta yang pada dasarnya pemalas dan suka memerintah, entah kenapa mulai berpikir akan menyetujui saran Tiara untuk ikut bimbingan belajar di tempat Jordi bekerja. Tentu saja dalam hal itu, Sabira yang sangat keberatan.
“Letta, lo serius mau ikut bimbel?” Dania keheranan.
“Enggak ada salahnya kalau Letta mau ikut bimbel, kan?” timpal Yasinta yang sebenarnya juga mengagumi Jordi.
“Menurut gue, itu malah bagus daripada Letta minta orang yang kerjain tugasnya.” Tiara ikut berpendapat dengan kepolosannya.
Sabira mendecak pelan. “Siap-siap deh, gue bakal kena imbasnya kalau Letta beneran ikut bimbel di tempat kerja Kak Jordi,” katanya sembari mendengkus kesal. “But, it’s okay. I surrender,” lanjutnya.
Tidak ada ekspresi apa pun yang ditunjukkan Letta. Gadis itu hanya terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tak lama bel sekolah berbunyi, menandakan pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.
“Masuk yuk, masuk! Jangan sampai kita telat. Nanti kena damprat lagi,” seru Dania sambil berdiri mendahului. Yang lain buru-buru beranjak, dan mereka pun menuju kelas dengan tergesa.

Book Comment (635)

  • avatar
    cantikayang

    menarik aplikasi ini banyak cerita yang di dalam buku ini

    15h

      0
  • avatar
    intanfebiola07

    bagus

    19h

      0
  • avatar
    RamadhanGustian

    lipayan lahhhh

    1d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters