logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6 - Pengobat Rindu

“Waktu itu papa makan sama Mama kamu di sana.”
Val tersenyum sendiri mendengar cerita singkat ayahnya. Dari situ, dia tahu bahwa ayahnya masih menyimpan rasa terhadap sang ibu. Namun, yang membuat Val tidak habis pikir adalah kenapa mereka bercerai dan memilih untuk menjalani hidup masing-masing. Dia bahkan tidak mengerti kenapa ayahnya menikah lagi sementara di dalam hatinya masih tersimpan nama ibunya.
‘Seandainya aja mama masih ada dan Val minta kalian bersatu kembali, apakah mungkin hal itu akan terjadi?’ batin Val sembari menatap kosong, mengingat sosok ibunya yang selalu merawatnya dengan baik meski tanpa Leo di sisinya.
Tanpa menunggu lama, Leo membawa Val beserta teman-temannya menuju restoran yang mereka inginkan. Sesampainya di tempat yang dituju, Val dan rombongannya memilih duduk di saung yang lumayan luas. Dari sana, selain mereka bisa menikmati udara segar, mereka juga bisa menikmati pemandangan di sekitar yang begitu menyejukkan indra penglihatan.
“Kalian mau makan apa tinggal pesan aja, ya? Enggak perlu sungkan,” ujar Leo yang membuat Val dan yang lainnya menjadi semangat untuk membuka dan melihat-lihat daftar menu yang tersedia.
“Thanks, Pa.” Val menyunggingkan senyum penuh arti yang membuat Leo diam-diam menyesal karena seharusnya dia bisa sering-sering datang. Mendekatkan diri dengan Val dan mengajaknya berjalan-jalan seperti sekarang ini.
“Sementara kalian makan di sini, papa mau keluar sebentar, enggak masalah kan, Sayang? Papa ada janji temu dengan teman lama,” ujar Leo sembari memusatkan pandangannya ke arah Val.
“Mau ketemuan di mana sama temen Papa?” tanya Val iseng, bukan karena penasaran.
“Cuma di daerah sini juga. Enggak jauh dari restoran ini.” Leo menjawab pertanyaan sang anak. Laki-laki itu mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya dan menyerahkannya pada Val. “Kalau papa belum datang, nanti kamu bayar pakai ini, ya?” titahnya.
Val hanya mengangguk sembari menerima benda mirip kartu identitas itu dari sang ayah. “Oke, Papa hati-hati, ya?” serunya kemudian.
“Pasti,” balas Leo, lalu melangkah dengan cepat meninggalkan Val bersama kawan-kawannya.
“Papa kamu mau ke mana, gitu?” tanya Vivian yang terlihat ingin tahu.
“I don’t know,” jawab Val sambil mengangkat bahu.
“Lagian kamu jadi orang enggak usah kepo gitu kenapa sih?” seloroh Nadia dengan santainya tanpa mengalihkan tatapannya dari buku menu yang dipegangnya.
“Udah, udah. Bahas apaan sih?” Maya menyahut pembicaraan teman-temannya.
Beberapa saat kemudian Maya mengeluarkan kotak berukuran sedang yang terbungkus kertas kado bermotif bunga Daisy dari dalam tasnya.
“Val, sorry, ya? We can’t give you anything valuable. Tapi, kita berharap ... semoga aja benda ini bisa jadi pengobat rindu di saat kamu inget sama kita-kita,” ujar Maya.
Vivian dan Nadia manggut-manggut bersamaan. Val pun menerima bingkisan itu dan langsung memasukkannya ke dalam tas. “Thanks, ya?” balasnya dengan haru.
“Tapi, setelah ini kita beneran bisa meet up lagi kan, Val?” tanya Nadia dengan raut penuh rasa ingin tahu.
“Aku kan udah bilang kalau kita pasti bakal ketemu lagi. Cuma, aku belum tahu kapan bakal balik ke sini.” Val tersenyum simpul, menghalau rasa sedih dalam hatinya karena harus berpisah dengan para sahabatnya.
Vivian mengelus dada karena merasa lega saat Val menyatakan bahwa mereka tentu masih bisa bertemu kembali.
“Jadi kapan nih kita pesen makanan? Keburu papaku balik, nih. Enggak lucu kan, kalau Papa balik duluan tapi kita belum jadi makan,” ucap Val sambil kembali membuka-buka buku menu.
“Eh, iya. Sebenernya aku enggak begitu laper. Tapi, karena ini hari perpisahan kita, boleh enggak sih kalo aku makan banyak?” Nadia buru-buru mengikuti Val meneliti buku menu, hendak memesan makanan apa saja yang dia inginkan.
“Kalau enggak laper ya jangan makan banyak-banyak. Kamu enggak takut tambah gendats nanti?” seru Vivian.
“Gendats enggak apa-apa yang penting sehat. Ya kan, Nad?” timpal Maya.
Semua terkekeh mendengar penuturan Maya.
“Kenapa pada ketawa? Emang lucu, ya?” tanya Maya dengan tatapan bingung.
“Enggak. Tumben aja kamu bener.” Nadia terkekeh. “Thanks ya, kamu udah dukung aku buat makan banyak,” serunya sembari mencubit pipi Maya.
“Ya ampun, aku enggak dukung juga. Kalau makan ya cukup sampai kenyang aja,” balas Maya yang langsung membuat Nadia melengos dengan lirikan tajam.
Val dan Vivian terkekeh geli melihat tingkah Maya dan Nadia yang konyol.
Setelah fix dengan menu yang dipilih, mereka pun segera memesan makanan. Dan tentu saja, mereka harus melahap habis semua yang mereka pesan sebelum Leo datang.
***
“What’s wrong with you, Letta? Gue perhatiin dari pagi, lo tuh aneh banget enggak kayak biasanya,” seloroh Yasinta sesaat setelah Letta dan kawan-kawannya tiba di kantin.
“Are you in trouble?” tanya Sabira menimpali.
Sementara Dania dan Tiara hanya diam menyimak pembicaraan teman-temannya.
Letta membuang napas kasar. “Kesel aja sama bokap,” dengkusnya. “He woke up too early. Bangunin gue juga di pagi buta, cuma karna bokap mau jemput Valetta! Kan ngeselin banget!” gerutunya.
“Wah, bad news nih!” celetuk Dania.
Tiara ternganga. Mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. “Valetta? Who’s she?” tanyanya dengan tampang culun khas dirinya.
Tanpa aba-aba, Dania menoyor dahi Tiara. Gadis culun itu selalu saja lambat berpikir, membuat teman-temannya menjadi gemas.
Tiara mengusap-usap dahi dengan bibir manyun seperti ikan mujair. “Gue kan enggak tahu, makanya nanya,” celotehnya tanpa merasa berdosa.
Dania dan Yasinta menggeleng-geleng sementara Sabira terkekeh kecil.
“Valetta itu saudara kembarnya Letta, dodol!” seru Dania.
“Tahu, nih! Udah dikasih tahu sejak kapan tapi enggak nyambung ternyata. Telat mikir kok dipiara. Kucing atau anjing tuh yang lebih cocok dipiara!” omel Yasinta.
Letta berdecak kesal. “Bantu gue siapin surprise buat dia,” titahnya.
“Surprise?” Sabira menoleh dan menatap tak percaya pada Letta.
“Yup! Kita harus siapin kejutan buat dia. Kalau perlu, yang setimpal.” Dania menimpali.
“Emangnya dia bakal sekolah di sini? Satu sekolah sama kita?” tanya Tiara dengan raut innocent. Dahinya mendadak mengerut.
“Lo tuh ... ampun deh, Tiara! Kenapa sih lo terlahir begini amat? Gue heran deh. Nyokap lo ngidam apa waktu hamil anak macam lo?” Yasinta mulai geram.
Tiara mendadak tersenyum semringah. Dia berbeda dari yang lain. Tiara justru terlihat senang karena baru saja menyadari bahwa Valetta akan bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka.
“Kenapa malah senyum-senyum? Aneh banget sih, lo,” seloroh Sabira sembari meneliti kalau-kalau ada yang salah dengan Tiara.
Senyum Tiara mendadak pudar. “Loh, bukannya kita harus seneng ya, kalau saudara kembar Letta bakal satu sekolah sama kita?” ujarnya polos. “Kan keren banget tuh, kalau nantinya Valetta gabung sama kita,” lanjutnya.
Kantin semakin ramai. Tapi suasana di sekitar Letta mendadak hening saat semua menatap wajah innocent Tiara dengan tatapan setajam elang.

Book Comment (635)

  • avatar
    cantikayang

    menarik aplikasi ini banyak cerita yang di dalam buku ini

    17h

      0
  • avatar
    intanfebiola07

    bagus

    21h

      0
  • avatar
    RamadhanGustian

    lipayan lahhhh

    1d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters