logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6. Bimbang

Bunda masih terus menatapku menanti jawaban, tapi sebagai gadis menggemaskan. Tentunya aku hanya senyum-senyum balik menatap beliau.
"Bunda ... Mau tahu saja atau tahu banget?"
"Nih anak kayanya ada yang salah deh," kata Bunda menempelkan tangannya ke keningku.
"Dedek ga sakit, Bun," kataku cepat-cepat menyingkirkan tangan beliau.
Kenapa sih tega sekali berpikir kalau anaknya ini tidak sehat, jadi ingat cowok pakistan tadikan.
"Terus kenapa aneh?" tanya Bunda masih ingin tahu.
"Kalau ga aneh berarti bukan Dedek dong," jawabku bangga. "Bunda," lanjutku.
"Hmm."
"Dedek punya cerita yang keren. Bunda, mau dengar ga?"
Bunda hanya menoleh sekilas, tapi dari matanya terlihat sekali kalau beliau penasaran. "Ciee kepo," kataku sambil berlari ke kamar.
Terdengar suara Bunda memanggilku dengan kesal, tapi tak kuhiraukan dan langsung lanjut lagi rebahan. Mending tidur deh, lagian asar masih lumayanlah lama.
Baru saja hendak memejamkan mata suara notifikasi pesan masuk menggangguku, tapi dengan cepat kumatikan data dan lebih pilih bobo cantik.
***
Aku terbangun ketika Bunda memanggilku dengan keras, pasalnya pintu kamar tadi tidak sengaja terkunci. Sambil menahan rasa kantuk kubuka pintu kamar. "Kenapa, Bun?" tanyaku dengan nada khas orang bangun tidur.
"Lihat jam, Dek. Sholat!"
"Hem," jawabku masih tetap denganata terpejam.
Mendengar jawabakku terdengar langkah Bunda menjauh, karena masih mengatuk tidurpun berlanjut lagi. Tapi, kok rasa seperti hujan, ya?
"Bangun!" Ternyata Bunda bukan hanya berteriak saja, beliau juga menyiramku dengan air.
"Huaaa ... Bunda!"
"Mandi," tegasnya hanya mampu kuangguki dari pada nanti diceramahi.
Kesadaranku masih belum penuh hingga rasanya kamar mandi terasa jauh, mungkin karena kesal Bunda langsung menuntutku dan menyiram lagi dengan air. Mata ini terbuka dengan cepat, ternyata beliau sudah berdiri dan menatapku tajam membuat jantung seperti melompat.
"ALLAHUAKBAR. Mak Lampir."
Teriakanku yang spontan membuat Bunda mendelik dan langsung menyuruh cepat mandi dan sholat, akhirnya ritual menjadi cantik dan mandi lama pun di mulai. Dingin dan segar membuatku tenang, tenang sekali rasanya ketika air dingin yang sejuk menyentuh kulit.
***
Usai salat sebagai perempuan tentunya aku harus membantu Bunda, tidak perlu waktu lama makanan untuk nanti malam sudah siap. Sekarang hanya perlu menunggu Ayah pulang, karena pekerjaan dapur sudah beres Bunda masuk ke ruang kerja sembari menunggu Ayah pulang.
Sedangkan memilih ke kamar dan melihat-lihat desain agar bisa kukolaborasikan dengan ide yang ada di kepala.
Tring!
Terpaksa kuhentikan mencari model baju terbaru, mengganggu saja yang mengirim pesan.
[Dek, angkat telpon Kakak.]
Singkat, padat dan jelas perintahnya. Mau apa lagi Kak Deva, tidak lama kemudian panggilan suara masuk. Mau tidak mau akhirnya kuangkat juga, setelah mengucapkan salam dia bertanya kenapa menuduhnya berhubungan dengan Kak Jesi.
"Zia, tidak menuduh lagian itu fakta."
"Dek, Kakak sama dia memang pernah dekat. Saat itu dia menolakku."
Dih, tadi siang bilang tidak mencintai, dengan cepat kutawakan saja perkataannya.
"Dek, Kakak serius," ujarnya lagi.
"Sudahlah, Kak tidak usah dibahas, lagian buat apa Kakak ingin menjelaskan semua pada Zia."
"Kakak, tidak mau kamu salah paham."
Jantung ini rasanya berdebar kencang mendengar pernyataannya, apa itu artinya dia mencintaiku juga? Untuk sesaat rasanya bahagia, tapi dengan cepat kutepis perasaan ini. Tidak boleh! Perasaan ini harus hilang.
"Tidak akan ada yang akan salah paham," tegasku.
"Kamu marah dengan Kakak, Dek?"
"Tidak," tegasku lagi. "Lagian buat apa marah, kalau Kakak suka Kak Jesi ya so atuh mangga."
"Dek, apa kita bisa bertemu?"
"Untuk apa?"
"Ada yang ingin Kakak sampaikan."
"Nanti, Zia kabari."
Usai mengatakan itu aku izin menutup panggilan suara, mood untuk mencari ide buat desain hancur sudah. Buat apa lagi dia mengajak bertemu, kata-kata Kak Deva yang tidak ingin membuat salah paham hadirkan kembali debar di hati.
Rasanya hati ini sudah lelah sekali, di mana dia mengatakan jangan cuek. Nyatanya dia sendiri cueki diriku, terkadang hati sadar kalau dia datang pasti karena satu hal. Entah hal apa itu, yang jelas saat Kak Deva mengirimi pesan pasti mengatakan aku ada hubungan dengan yang lain.
Entahlah, apa mau dia sebenarnya.
"Kalau memang hanya ingin main-main jangan buatku terlalu berharap, Kak."
Kutatap fotonya di album HP, foto saat pertama kali dia mengajak ngedatelah bisa dibilang gitu. Saat itu dia belum tahu tentang identitasku dan Ayah.
Wajahnya yang tampan dengan kulit kecokelatan khas orang Indonesia Timur, dengan hidung mancung. Saat kami berfoto dia memakai baju kemeja putih dipadukan dengan celana dasar yang seperti levis. Di sana dia tersenyum dan aku berdiri di sampingnya dengan memakai kemeja putih dan rok hitam serta jilbab yang senada. Saat itu kami dikira pasangan, padahal bukan.
Seharian kami keliling bersama temannya yang membawa pasangan juga, tapi aku lupa siapa namanya. Kami berkeliling kota Palembang dan mencoba kuliner yang tersedia sepanjang jalanan.
Lagi-lagi hanya dengan menatap foto saja, semua kisah yang pernah kami lewati bersama teringat. Bagai kaset yang memutar ulang semuanya.
"Jujur, Zia sayang, Kakak. Tapi, kenapa, Kakak tipu, Zia? Kenapa Kakak tidak jujur kalau Kak Jesi adalah masa lalu, Kakak."
"Arghh!"
Hati ini seketika diliputi rasa amarah dan kesal, dengan kesal aku pun bangun dan dengan kasar memukul dinding kamar. Rasa sakit di tangan sama sekali tidak kurasa, dengan tergugu kuhentikan aktivitas menyiksa diri ini.
Kutarik napas menenangkan diri dan berulang mengucap istighfar. "AstaghfiruLLAH, Ya ALLAH. Baru tadi siang aku berjanji tidak akan menangis hanya karena hambamu, tapi sekarang kulanggar janji itu."
"ALLAH." Berulang kali kusebut Sang Maha Kuasa.
Setelah sedikit tenang segera kuambil air wudhu, katanya bisa memadamkan amarah. Tetesan air yang mengalir saat berwudhu luruh bersama isak tangisku, yah kali ini sepertinya patah hati yang sangat dalam.
Usai berwudhu kuambil Al-Quran di atas meja, ayat demi ayat surat Fusillat satu sampai sepuluh. Di mana setiap ayat yang kubaca memberikan efek tersendiri. Maha Benar ALLAH dengan segala firman-Nya.
Tanganku yang tadi memukul dinding mulai terasa sakit, tiba-tiba sesal menyusup ruang hatiku. Kenapa bisa seceroboh ini melampiaskan emosi. Saat sedang berusaha mengatur emosi, tiba-tiba nada dering menandakan pesan masuk menggangguku.
"Siapa sih ganggu saja?"
Jarak HP dari tempatku membaca Al-Quran agak jauh, mau tidak mau membuatku bangun dan kembali lagi rebahankan.
[Can i get to know you more?]
Nih, orang kenapa harus pake Bahasa Inggris sih? Sudah tahu aku bukan orang yang begitu fasih berbahasa inggris, tapi ya udahlah tidak apa-apa. Hitung-hitung belajar siapa tahu nanti dapat suami orang luar. Jangan protes, ya. Lagian halukan sebagian dari doa. Jadi kalian para kaum halu, berhalulah yang baik siapa tahu malaikat lewat dan meng-Aamiini haluan itu.
Eh, ini kok malah ngajak halu, ya? Maafin, Zia. Kabur!

Book Comment (92)

  • avatar
    XieYueLan

    Wehehe gak bisa bayanginnya punya suami orang Pakistan. Putri Yue udah hadir disini. hayo ingat gak aku siapa?

    14/08/2022

      0
  • avatar
    Noordiana Binti Abdullah

    so good

    4d

      0
  • avatar
    Budi Mahesa

    good

    14d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters